TintaSiyasi.id -- Baru-baru ini kita dihebohkan dengan beredarnya video yang menayangkan adanya produk dengan nama-nama yang kontroversial. Mereka membuat nama-nama produk yang aneh untuk menarik para pelanggan, seperti tuyul, tuak, beer, dan wine. Namun sungguh disayangkan, produk-produk tersebut mendapatkan sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama. Padahal dari lembaga sebelumnya yakni Majelis Ulama Indonesia (MUI) sangat ketat dalam mengeluarkan sertifikat halal. Sebagai contoh pada Mi Gacoan yang awalnya memiliki menu yang bernama mi setan dan mi Iblis yang saat ini telah diubah namanya setelah mendapatkan sertifikat halal MUI.
Merespon video viral tersebut, BPJPH menegaskan bahwa polemik yang terjadi di media sosial saat ini hanya berkaitan dengan penamaan produk saja, bukan soal kehalalan produknya. Mamat Salamet Burhanudin selaku Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH mengatakan produk tersebut telah melalui proses sertifikasi dan mendapatkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal sesuai mekanisme yang berlaku.
Namun, pihak dari MUI membantah hal tersebut. Pihak MUI mengatakan tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan produk tersebut, karena tidak sesuai dengan standar fatwa MUI. Produk-produk yang disebutkan tadi ternyata memperoleh sertifikat halal itu melalui jalur Self Declare tanpa audit Lembaga Pemeriksaan Halal serta penetapan kehalalan melalui Komisi Fatwa MUI.
Self Declare adalah pengajuan permohonan bagi pelaku usaha untuk mendapatkan sertifikat halal melalui BPJPH di Indonesia. Kebijakan ini dikeluarkan oleh Kemenag dan mulai berlaku pada 2021. Tujuannya adalah untuk memudahkan para pelaku usaha, terutama UMKM dalam mendapatkan sertifikat halal.
Sertifikasi halal pada produk-produk yang menggunakan nama untuk menununjukkan penyebutan sesuatu yang tidak halal memang kini menjadi perbincangan. Mirisnya, hal tersebut dianggap aman dan tidak masalah karena zatnya halal. Apalagi ada model self declare yang merupakan klaim halal dari perusahaan itu sendiri yang berlaku seuumur hidup. Tentu hal ini akan menimbulkan kekhawatiran atas jaminan kehalalannya.
Inilah model sertifikasi halal dalam sistem sekularisme kapitalisme. Nama produk tidak menjadi asas kehalalan produk. Tak masalah ketika menggunakan nama-nama yang kontroversial asalkan dzat yang terkandung di dalamnya adalah halal. Padahal, hal ini sangat berpotensi menimbulkan kerancuan yang dapat membahayakan. Seperti penamaan produk dengan kata beer, wine dan sebagainya yang penyebutannya sudah jamak dipakai dengan produk yang tidak halal yang masih beredar di pasaran saat ini.
Fenomena seperti ini bukanlah sesuatu yang aneh pada negara yang tegak atas asas sekularisme yakni pemisahan agama dengan kehidupan. Negara telah abai dalam menjaga akidah rakyatnya terkhusus bagi kaum Muslimin. Jangankan masalah penamaan makananan yang disamakan dengan makanan yang haram, produk-produk harampun masih dibiarkan beredar di pasaran. Negara hanya mencukupkan diri pada penyediaan layanan sertifikasi halal berbayar untuk membantu umat Islam membedakan produk yang halal dengan yang haram, itu pun diserahkan kepada produsen jika mereka mau dan sanggup untuk membayar. Mereka bisa menggunakan layananan tersebut untuk mendapatkan sertifikat halal. Namun, jika mereka tidak sanggup untuk membayar meskipun produknya halal sampai kapan pun mereka tidak akan mendapatkan sertifikat halal.
Adapun terkait konsumsi, negara menyerahkan kepada masing-masing konsumen Muslim. Tidak ada hukum yang mengatur bagi Muslim yang mengonsumsi produk yang haram ataupun produk yang tidak bersertifikat halal. Semua ini menjadi bukti nyata bahwa negara yang menerapkan kapitalisme sekularisme telah gagal dalam menjamin kehalalan sebuah produk yang dikonsumsi oleh rakyatnya. sebaliknya, justru negara memanfaatkan sertifikat halal ini sebagai ladang bisnis karena munculnya permintaan yang cukup besar dari kalangan Muslim untuk memastikan kehalalan produk yang mereka konsumsi.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dahulu bertugas sebagai penyedia layanan sertifikat halal kini telah diambil alih oleh pemerintah. Sebab, tidak dipungkiri sertifikasi halal adalah ladang cuan. Mengingat prosesnya yang harus dilakukan secara berkala bukan di awal saja. Artinya, pemerintahan dalam sistem kapitalisme sekularisme yang memberikan sertifikat halal pada suatu produk sejatinya tidak didorong keimanan oleh Allah SWT. Tapi, karena faktor ekonomi dan materialistik. Alhasil, hadirnya negara yang berasaskan sekularisme ini jelas sangat merugikan kaum Muslim.
Islam Menjamin Produk Halal
Berbeda dengan negara yang menjadikan Islam sebagai akidahnya. Negara Islam yakni khilafah akan menjalankan semua hukum-hukum yang terkandung di dalam al-qur’an dan as-Sunnah secara menyeluruh termasuk menjamin kehalalan sebuah produk yang beredar di masyarakat.
Negara sebagai pelaksana syariat akan berperan pentig dalam menjaga dan melindungi rakyatnya dari segala perbuatan yang haram ataupun produk-produk yang diharamkan. Islam memiliki aturan rinci tentang benda atau zat mana yang boleh dikonsumsi (halal) dan mana yang tidak boleh dikonsumsi (haram). Halal dan haramnya suatu benda berdasarkan dalil-dalil syariat bukan pada akal manusia, kemanfaatan, hawa nafsu atau materi semata.
Sebagai penjaga akidah umat negara Islamlah yang memiliki kewajiban menjamin kehalalan produk-produk, sehingga hanya yang halal saja yang boleh beredar di pasaran, sementara yang haram tidak boleh beredar sama sekali. Jadi dalam khilafah tidak dibutuhkan lagi sertifikasi halal apalagi harus mengerok kantong yang cukup dalam.
Begitu juga khilafah akan memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk memulai usahanya, jika tidak mampu maka negara akan memberikan pinjaman cuma-cuma atau bahkan gratis tanpa perlu diganti sebagai kewajiban negara mengurusi rakyatnya.
Negara akan menugaskan qadhi hisbah sebagai pengawas pasar untuk rutin melakukan pengawasan setiap hari ke pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan ataupun pabrik. Para qadhi bertugas mengawasi produksi dan distribusi produk untuk memastikan kehalalan produk juga tidak adanya kecurangan dan kamuflase.
Jika terjadi peredaran barang haram di pasaran, baik pelakunya Muslim maupun non muslim maka negara akan memberlakukan sanksi ta’zir kepada mereka. Adapun bagi ahli dzimmah (kafir dzimmi) negara membebaskan mereka untuk mengkonsumsi makanan atau minuman menurut agama mereka. Namun, produk-produk tersebut hanya boleh diperjualbelikan diantara mereka bukan ditempat umum baik toko ataupun pasar umum.
Begitulah cara Islam dalam menjamin kehalalan produk yang dikonsumsi oleh kaum Muslimin. Sungguh, penerapan syariat Islam oleh negara yang berparadigma Islam akan memberikan rasa tenang didalam jiwa seluruh rakyat. Sebab, umat Islam dijamin keterikatannya dengan syariat Islam kaffah oleh negara. []
Oleh: Aqila Deviana, Amd.Keb.
Aktivis Muslimah