TintaSiyasi.id -- Sejumlah dana sebesar Rp 300 triliun hilang dari APBN 2025 karena tindakan pengemplangan pajak. Pemerintah baru pun telah mengusut kasus ini. Seperti yang diungkap Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra Hashim S Djojohadikusumo, yang juga adik Presiden Prabowo Subianto, menegaskan, Prabowo akan mengejar 300 pengusaha yang terlibat dalam pengemplangan pajak yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 300 triliun. Bahkan, Kejaksaan Agung pun tengah melakukan penyelidikan terkait kasus korupsi dalam tata kelola perkebunan kelapa sawit dari tahun 2005 hingga 2024. Hingga kini, belum ada tersangka yang berhasil ditetapkan (antaranews.com, 23/10/2024)
Menurut, Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran Dradjad Wibowo, para pelanggar kewajiban pajak telah dikalahkan oleh Mahkamah Agung, namun mereka tetap enggan memenuhi kewajiban pajak mereka sesuai dengan putusan tersebut. Jumlah pajak yang harus dibayarkan diketahui sangat besar dan masih belum diselesaikan selama 10 tahun, bahkan ada yang belum dilunasi selama lebih dari satu dekade (cnbcindonesia.com, 9/10/2024).
Sebenarnya, sejak 2025, negara berusaha mengusut kasus korupsi tapi tak ada hasil. Ini mengungkapkan kelalaian dalam tata kelola keuangan di lingkungan pemerintahan. Pasalnya, ketika situasi mendesak, barulah upaya untuk menemukan akar permasalahannya dilakukan. Padahal, kasus-kasus semacam ini tidak hanya merugikan negara, tetapi juga masyarakat secara luas. Besarnya jumlah dana yang disalahgunakan sungguh tidak terbayangkan.
Masyarakat kecil selalu didesak dengan slogan ‘Orang bijak taat bayar pajak’, sementara para pengusaha, pemilik modal yang jelas memiliki kekayaan, diperlakukan dengan begitu ringan dan dimanjakan seolah-olah seperti anak kesayangan. Seharusnya lebih mudah untuk memungut pajak dari individu yang memiliki kelebihan harta daripada dari rakyat yang sudah berkecukupan.
Padahal, berbagai kebijakan pajak hingga saat ini terus merugikan dan menyulitkan masyarakat. Rakyat diperas habis-habisan dengan pajak-pajak yang diterapkan, beberapa di antaranya hanya digunakan untuk menutupi defisit pembangunan. Pembangunan seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk mempermudah kebutuhan rakyat. Yang pastinya, pengemplangan pajak, keniscayaan di sistem kapitalis.
Wajah sistem kapitalis memang menghilangkan peran negara terhadap rakyatnya. Bahkan menjauhkan agama dari kehidupan, hingga tidak merasa apa yang dilakukan hari ini akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Yang terpenting bagi kapitalisme adalah materi yang tak terbatas. Selama menguntungkan, ia akan terus berlanjut, meskipun melanggar batas syariat.
Islam selalu memandang pemerintah adalah pelayan rakyat bukan penjual seperti di sistem kapitalis saat ini. Dalam permasalahan tata kelola keuangan negara Islam memiliki seperangkat aturan yang menjamin kesejahteraan rakyatnya.
Dalam Khilafah untuk melaksanakan pembangunan negara, sumber penerimaan atau pendapatan negara ada 3 bagian sesuai dengan jenis hartanya yakni bagian fa'i dan kharaj, bagian kepemilikan umum dan bagian shadaqah (sumber, Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Negara Khilafah).
Jika kas baitul mal kurang atau bahkan kosong, pada saat tersebut tanggung jawab ini dialihkan kepada umat Muslim, terutama dalam bentuk pajak (dikenakan hanya pada mereka yang kaya di antara kaum pria, mereka yang memiliki kelebihan dari kebutuhan pokok dan kebutuhan sekunder) atau pun pinjaman (dalam Islam, memberikan pinjaman dipandang sebagai aktivitas saling tolong menolong. Dalam hal ini, tidak ada tambahan seperti bunga atau unsur tambahan lainnya).
Dalam sistem Islam, pemerintah bertanggung jawab menjalankan kewajibannya dalam mengelola kebutuhan masyarakat dengan mengoptimalkan pendapatan dari ketiga sumber di atas, bukan dari pajak yang notabene malah mempersulit kehidupan rakyat.[]
Oleh: Siti Sri Fitriani
Anggota KMM Depok