Tintasiyasi.id.com -- Telah terjadi serangan udara yang dilakukan Isrewel, di Kota Beit Lahia, Gaza Utara dengan korban [MD] 87 orang, pada Ahad (20/10). Meskipun demikian, IDF menggunakan dalil bahwa yang ditargetkan adalah Hama (Antara, 20/10/24).
Sejak Badai Al-Aqsa per 7 Oktober 2023, setidaknya sudah lebih dari 42 ribu nyawa syahid akibat genosida yang dilakukan Isrewel. Serangan ini menyasar kepada warga sipil, korban didominasi mayoritas perempuan dan anak-anak.
Isrewel melakukan genosida dengan membabi buta, menyatakan dengan alibi diduga markas Hamas, sungguh pecundang bersembunyi dengan menyebarkan narasi kebodohan dan penyesatan.
Mau sampai kapan dunia hanya mampu mengecam? Bersembunyi dibalik humanity, yang nyatanya menyaksikan penjajahan diatas dunia.
Sejatinya negeri ini hilang arah, dan terlihat gundah. Satu sisi tidak membenarkan kebiadaban den kebengisan Isrewel, di sisi lain hanya mencukupkan free Palestine, donasi, boikot, doa bersama, bahkan selevel tetangga Palestina yaitu negeri-negeri Muslim, mengirim bantuan kain kaffan dan obat-obatan.
Miris sangat tragis, sangat berlawan arah, ketika AS secara terang-terangan menggirimkan bantuan militer dengan suplay senjata yang lengkap dan dalam jumlah melimpah. Sungguh AS menempuh langkah stategis yang nyata dalam konteks keberpihakan, mendukung, serta totalitas ketika selevel negara benar-benar mendukung kawan.
Ironisnya, AS loyalitas terhadap penjajah. Lantas kenapa negeri-negeri Muslim tidak berkoalisi menjadi satu dalam rangka mengusir penjajah, dengan menurunkan militer terbaiknya, menyatukan pemikiran, dan perasaan sehingga bergerak dengan aturan serta komando yang sama.
Permasalahannya, sekarang umat memiliki paradigma berfikir yang sama dengan memandang Isrewel itu sebagai common enemy saja masih sulit, masih sibuk dengan asumsi liar bahwa negeri ini memiliki masalah kompleks yang menjadi prioritas utama.
Bahkan argumen, memandang Palestina berdasarkan agama saja dipeributkan, merasa agama tidak pantas dibawa ke ranah ini. Menggngap menyandarkan solusi kepada PBB masih sangat relevan. Artinya berharap kepada para sekutu itu lebih nyata, daripada berharap jihad fisabilillah dalam bingkai Khilafah diklaim uforia.
Sejatinya kita harus bisa memiliki pandangan utuh menyikapi Isrewel sebagai common enemy sehingga wajib diusir. Untuk membuat persatuan yang kuat dalam misi besar ini, kita membutuhkan pandangan common goals.
Relate ketika tahun 1998, Indonesia jumud sama orde baru, semuanya bersatu karena ada common enemy.
Mau mahasiswa, politisi, bahkan cendikiawan bersatu untuk mengusir musuh. Sayangnya karena hanya didasari common enemy tanpa common goals yang menggerakkan, alhasil setelah ujungnya runtuh, malah sibuk sendiri karena tidak ada common goals.
Agar misi tujuan perdamaian dunia terwujud, haruslah membangun korelasi antara common enemy dan common goals. Kedua elemen tersebut harus ada, sehingga kita satu langkah di depan musuh, dalam pembebasan Baitul Maqdis jauh lebih nyata dan efektif.
Tentunya common enemy dan cammon goals akan terealisasi dalam wadah yang sama, yaitu aturan yang menggerakkan manusia dengan standar Sang Pencipta akan mewujudkan persatuan, dan menyatukan pemikiran banyak orang sampai menyatukan satu visi misi dalam mengakhiri kedzaliman, kebiadaban Isrewel, bahkan melanjutkan kehidupan Islam.
Wallahu'alam Bishshowwab.[]
Oleh: Novita Ratnasari, S. Ak., (Penulis Ideologis)