Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

10 Tahun Kepemimpinan Jokowi: The Thinnest Rule of Law

Rabu, 30 Oktober 2024 | 19:43 WIB Last Updated 2024-10-30T12:44:10Z
TintaSiyasi.id -- Mengkritisi aspek penegakan hukum sepanjang dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Suteki menilai, rule of law (supremasi hukum) Indonesia berada pada level paling tipis.

"Kita masih sebagai rule of law dalam arti yang paling tipis, yaitu the thinnest rule of law," tuturnya di kanal YouTube Media Umat: Rezim Baru Harapan Baru, Ahad (13 Oktober 2024).

Ia menerangkan, sebuah negara hukum terkategori memiliki supremasi hukum paling tipis (the thinnest rule of law) ketika pemerintahannya menggunakan hukum sebagai sarana untuk melegitimasi kekuasaan. Level berikutnya (middle rule of law), hukum digunakan untuk lebih pada persoalan-pemenuhan pemenuhan hak-hak dasar, seperti hak asasi manusia dan sebagainya. Sedangkan pada level tertinggi (the thickest rule of law), lanjutnya, adalah ketika hukum untuk untuk mencapai social welfare (kesejahteraan sosial).

Prof. Suteki menilai, penegakan hukum selama sepuluh tahun kepemimpinan Jokowi terbilang rendah hingga tergolong dalam the thinnest rule of law. Terkait persoalan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90 tahun 2023, misalnya, menurutnya penambahan frasa pada syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden hingga memunculkan peluang bagi anak Jokowi, Gibran Rakabuming Raka yang usianya belum genap 40 tahun bisa ikut kontestasi pemilu, menunjukkan bahwa hukum itu terkesan kuat hanya sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan. Ia menyebutkan, seolah-olah ada kesan mengabaikan persoalan moral maupun keadilan. 

"Kalaupun ada peraturan yang menghambat hilangkan dulu. Kalau Belum ada, bagaimana menciptakan yang baru. Nah, itu saya katakan ini sebagai alat betul, ya. Jadi, hukum itu sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan atau melegitimasi tindakan-tindakan pemerintah. Apa pun, baik benar maupun salah. Apalagi dalam hal ini yang keliru terkait prinsip-prinsip hukum yang betul, yang sudah ada maupun dari prinsip moral," terangnya.

Sementara itu, dalam proses pemilu yang ada, di masa 2 periode kepemimpinan Jokowi, kata Prof. Suteki, ada yang menyebutnya sebagai electoral authoritarianism (pemilihan otoritarianisme). Sedangkan dalam aspek penggunaan hukum, lanjutnya, autocratic legalism. 

"Sebenarnya tanda-tanda yang semacam ini menunjukkan bahwa kita itu masih berada di ranah namanya rule of law yang paling tipis atau disebut dengan the thinnest rule of law," tukasnya.

Jokowi Jilid Dua

Berkaca dari 10 tahun kepemimpinan Jokowi yang semacam itu, Prof. Suteki memprediksi pemerintahan berikutnya (Prabowo-Gibran) akan menjadi pemerintahan Jokowi jilid kedua.

"Prediksi saya ini adalah pemerintahan Jokowi jilid kedua," ujarnya.

Ia melihat, hukum masih akan dipakai sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan. Sebab, misalnya, pada KUHP yang baru yang mulai diberlakukan tahun 2026 mendatang, menurutnya ada pasal-pasal karet yang juga akan sangat berpotensi untuk diberlakukan dengan alasan dalam rangka memelihara stabilitas nasional. Dengan begitu, lanjutnya, kemungkinan politik yang akan terjadi adalah soft autoritarianism dalam memberangus suara-suara sumbang ataupun oposisi.

"Itu prediksi saya ya, berdasarkan atau berbasis pada modal yang sudah ada. Di situ saya masih berpendapat bahwa 5 tahun ke depan ini tidak akan mengubah sesuatu apa pun yang lebih signifikan dalam arti perbaikan-perbaikan dalam hal hukum dan hal penegakan hukum. Karena, hukum hanya akan dipakai sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan," ujarnya.

Terkait produk-produk hukum yang selama ini ditentang oleh banyak kalangan, seperti Omnibus Law dan lainnya, menurutnya juga tidak akan diubah di masa Prabowo-Gibran.

"Kalau ini nanti adalah spirit kedua dari pemerintahan Jokowi, ya Omnibus Law enggak akan diubah. Undang-undang cipta kerja ya tetap akan berjalan. Kemudian, yang sudah ada misalnya dari sisi perpolitikannya, terutama terkait dengan oposisi tadi, itu yang sudah misalnya dibekukan atau mungkin sudah dicabut badan hukumnya, enggak bakal dihidupkan lagi," prediksinya.

Di sisi lain, ia menambahkan, jika dilihat dari pernyataan-pernyataan Prabowo, perbaikan-perbaikan yang akan dilaksanakan menunjukkan tidak akan banyak perubahan. "Itu menunjukkan bahwa tidak akan banyak perubahan dari sisi hukum maupun politik nanti di periode 5 tahun ke depan," pungkasnya.[] Saptaningtyas

Opini

×
Berita Terbaru Update