TintaSiyasi.id -- Penghianatan yang dilakukan oleh para penguasa negeri-negeri Muslim, seperti Arab yang membisu dan tidak bertindak serius meneyelesaikan genosida di Palestina, menurut Analis Mutiara Umat Institute, Nahdoh Fikriyyah Islam, adalah bukti nyata pentingnya kesatuan umat Islam dan hadirnya institusi politik Islam yang disebut khilafah.
Pertolongan terdekat hakikatnya bisa saja dilakukan oleh para penguasa Muslim jika mereka mau. Salah satunya dengan mengirimkan pasukan militer atau tentara dari negerinya masing-masing untuk melawan dan menghadapi Israel. Hingga entitas Yahudi terusir dari tanah Palestina. Namun miris, tidak ada satu negara Muslim pun yang mau melakukan langkah tersebut.
“Peristiwa genosida yang menimpa tanah Palestina dan penghianatan para penguasa Muslim jadi bukti dan penguat kita bahwa pentingnya kesatuan umat Islam di bawah satu institusi politik, khilafah. Karena nantinya, Khalifahlah yang akan mengirimkan tentara ke sana untuk mengusir Zionis penjajah,” ujarnya dalam Kritik # 26, berjudul, Memandang Palestina, di YouTube Tintasiyasi Channel, Sabtu (15/06/2024).
Maka katanya, tidak ad acara lain untuk memperjuangkan tegaknya institusi politik Islam atau khilafah, kecuali dengan dakwah seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW
Sekalipun kondisi sekarang membuat umat Islam hanya mampu berdakwah secara lisan, akan tetapi tidak bisa dianggap sepele.
“Jangan dianggap sepele dakwah lisan itu, justru itu sangat menakutkan bagi para penguasa Barat. Lihat saja di Inggris, Amerika, mereka menangkapi orang-orang yang bersuara, kan? Karenanya, jangan takut untuk memperjuangkan Islam dan menyampaikan situasi Palestina walaupun hanya dengan ngomong,” imbaunya.
Tawaran Solusi Oleh Amerika dan PBB Tidak Sungguh-Sungguh
Meskipun dukungan masyarakat dunia internasional terhadap Palestina masih terus mengalir, akan tetapi kata Nahdoh, isu Palestina juga tidak lepas dari playing victim dan fitnah keji dari sebagian permainan narasi media-media mainstream sekuler.
Mereka menyebut, bahwa situasi Palestina kini bukanlah genosida melainkan hanyalah sebuah serangan pertahanan diri oleh entitas penjajah Yahudi, sebagai balasan serangan Hamas tanggal 7 Oktober tahun lalu.
“Amerika jelas menyatakan posisinya mendukung Israel seperti kata Biden, We stand with Israel. Dan saya sepakat kata mbak Ika tadi, bahwa permaian playing victim media-media mainstream sekuler, yang mengatakan bahwa serangan Israel hanyala self defence pada tanggal 7 Oktober lalu. Dan media mereka menyebut Hamas sebagai teroris,” lanjutnya lagi.
Namun, akibat desakan masyarakat global, Amerika dan PBB mencoba memberikan dua solusi terhadap kedua belah pihak. Baik Israel maupun Palestina. Pertama adalah solusi casfire permanen. Lalu kedua, solusi dua negara (two states solution).
Hanya saja katanya, kedua solusi tersebut adalah murni keinginan Amerika atau ambisi peribadi penguasa adidaya itu.
“Two State Solution hanyalah hasrat atau ambisi pribadi Amerika sesungguhnya, bukan keingingan Israel. Karena dengan solusi dua negara, Amerika ingin memastikan posisi negara-negara Arab (Timur Tengah), memantaunya, dan melanjutkan hegemoninya di sana. Jadi, ya penting sekali israel itu bagi Amerika dalam menguasai dunia Islam. Israel-Palestina kan juga disebut Konflik Arab oleh Amerika,” ungkap Nahdoh.
Oleh karena itu jelas Nahdoh, sikap penguasa negeri-negeri Muslim, terkhusus negara-negara Arab yang diam dan menyerahkan persoalan Palestina ke meja PBB yang dipimpin oleh Amerika dan sekutunya, ibarat sedang menyerahkan leher saudara sendiri kepada musuh.
Meskipun latar belakang lahirnya LBB (Liga Bangsa-Bangsa) yang berganti nama menjadi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dilatarbelakangi oleh kesepakatan menghentikan perang dunia karena melanggar hak-hak asasi manusia (human rights), tetapi seperti tidak berlaku jika menimpa umat islam seperti di Palestina, Uygur, Rohingya, Yaman, dan lainnya.
“Barat terus menggaungkan hak asasi manusia dan anti kejahatan perang kemanusiaan. Namun, saat itu terjadi di Palestina sekarang dan juga di Uygur, Rohingya, Kashmir, dan Yaman yang juga tidak kalah menyedihkan, pembelaan hak-hak asasi itu tidak berlaku, Ini membuktikan bahwa solusi-sulosi yang ditawarkan Amerika maupun PBB yang tak berkuku itu, tidak akan berpihak kepada kaum Muslim,” tegasnya.
Genosida yang terjadi di Palestina kini memasuki delapan bulan. Dan gelombang seruan pembebasan Palestina dari penjajahan Israel terus mengalir dari berbagai masayarakat dunia. Tidak hanya dari kalangan umat Islam, tetapi juga berbagai kelompok, agama, dan negara melalui aksi-aksi protes turun ke jalan dan mendatangi kanntor-kantor pemerintahan.
Menurut Nahdoh, fenomena tersebut sebenarnya telah memberikan satu fakta bahwa Palestina telah menjadi isu global saat ini.
“Satu hal yang harus kita pahami dari fenomena aksi-aksi yang menyerukan dukungan terhadap Palestina atau tuntutan terhadap Zionis Israel, adalah bukti situasi yang terjadi di sana saat ini telah menjadi isu global atau dunia internasional,” katanya lanjut.
Ia mengungkapkan, beberapa masyarakat dari berbagai negara telah melakukan aksi protes untuk menuntut penguasa mereka mengambil tindakan dan tidak mendukung genosida yang dilakukan oleh entitas penjajah Yahudi Israel.
Aksi-aksi protes yang terjadi meliputi masyarakat dari berbagai negara-negara di dunia seperti Pakistan, para pemuda di Banglades, dan Maldives hingga pemerintahnya sendiri membekukan turis berpapor Israel. Karena ternyata selama ini, turis terbanyak ke Maldives berasal dari negara Zionis Israel. Begitu juga di Maroko tidak ketinggalan.
Masyarakat di Indonesia juga tidak tinggal diam. Berbagai elemen masyarakat, ormas, tokoh, dan kalangan intelektual Muslim, melakukan aksi di depan Kedubes AS pada tanggal 6 Juni 2024 lalu.
“Kita juga tidak tinggal diam dengan genosida yang terjadi di Palestina. Kemarin berbagai kalangan telah melakukan aksi protes terhadap genosida di Palestina di depan kantor Kedubes AS di Jakarta, tanggal 6 Juni kemarin,” tandasnya.
Dan ternyata lanjutnya, aksi dukungan terhadap Paletina juga terjadi di negara Barat, baik Eropa dan negara jantung kapitalisme, yaitu Amerika. Gelomnbang protes di Barat seperti negara Inggris dilakukan oleh masyarakat kota London, Manchester, Inggris Utara, Edinburg, Glasgow di Skotlandia. Termasuk juga di benua Australia, seperti Sydney.
"Amerika sebagai negara jantungnya kapitalis, juga menggelar aksi protes turun ke jalan oleh mahasiswa Universitas Kolombia. Meskipun setelah aksi, banyak pelaku demo yang diamankan atau ditangkap oleh aparat kepolisian setempat. Aksi protes terjadi di beberapa kota seperti Washington DC, Dearborn, Michigan, New York, dan Los Angles," tutupnya. []Nabila Sinatrya