TintaSiyasi.id -- Kriminalitas semakin menjadi-jadi. Berita kejahatan semakin marak disiarkan mulai dari kejahatan ringan hingga kejahatan berat. Bahkan akhir-akhir ini sering kita dengar kasus pembunuhan yang semakin sering terjadi, bahkan bukan lagi terjadi antara dua orang dewasa yang tidak ada hubungan darah dan kerabat, melainkan dilakukan oleh orang terdekat.
Terkini, warga Jl Sepakat RT 46 Kelurahan Baru Tengah, Kecamatan Balikpapan Barat digegerkan dengan kasus pembunuhan. Diberitakan, seorang ibu bernama Hj RK meninggal secara tragis dibunuh oleh anak kandungnya sendiri bernama AR. Pelaku diduga mengalami gangguan jiwa, hingga tega menebas leher ibunya menggunakan parang. (Prokal.co, 24/08/2024)
Tidak hanya itu, ada juga pembunuhan yang dilakukan seorang anak terhadap ayahnya bahkan dilakukan ibu kepada anaknya. Sungguh miris! Berita seperti saat ini seolah tak asing lagi parahnya hal tersebut dianggap hal yang biasa, na'udzubillah.
Apa yang sebenarnya terjadi di tengah keluarga saat ini? Sudah hilangkah hati nuraninya? Ke manakah cinta dan perlindungan orang tua kepada anak-anaknya yang dikenal sepanjang masa? Padahal keluarga seharusnya menjadi lingkup terkecil yang menjadi support sistem di tengah masyarakat. Alih-alih memberikan kemanan dan kasih sayang keluarga saat ini justru menjadi sebuah ancaman.
Nampaknya, telah terjadi pergeseran nilai yang dianut oleh sebagian keluarga. Keluarga tidak lagi dibangun berdasarkan dengan pondasi yang benar. Jika pun berdasarkan cinta, tidak ada kesadaran akan peran masing-masing. Hanya bersama untuk kesenangan. Ketika ada kesulitan dalam kehidupan, maka tidak lagi ada alasan untuk bertahan. Terlebih, tidak ada lagi alasan untuk berbuat baik. Sehingga seorang ibu mampu menganiaya anaknya, pun sebaliknya, seorang anak mampu menyakiti, hingga membunuh ibunya, atau bapaknya.
Hal ini tak bisa dilepaskan dari pandangan hidup kapitalisme sekuler yang diadopsi oleh masyarakat dan negara saat ini, yang memisahkan kehidupan dengan agama. Masyarakat dalam sistem ini akan menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan materi yang diinginkannya.
Begitu pun dalam lingkup keluarga, keluarga sekuler tidak akan memiliki tujuan yang jelas, masing-masing anggota keluarga hanya akan disibukkan dengan materi semata, sehingga wajar banyak yang mengabaikan perannya. Cinta yang ada dalam keluarga semacam ini hanyalah berdasarkan nafsu, untuk kesenangan semata, hanya akan bisa bertahan selama kesenangan itu ada.
Hal ini berbeda dengan keluarga islami, yang memiliki standar halal-haram dalam setiap aktivitasnya, hal ini dikarenakan tujuannya adalah meraih keridaan Allah SWT. Cinta yang dimiliki oleh keluarga yang beriman, bukanlah cinta yang berdasarkan hawa nafsu semata,melainkan lahir darindorongan keimanan. Orang percaya kepada Tuhan Yang Maha Menciptakan, cinta yang tumbuh dalam kebaikan, akan bisa bertahan walau diterjang badai rumah tangga. Seorang ibu akan menyadari perannya. Betapa mulia ia dengan segala kesulitannya dalam mengandung, menyusui, mendidik anaknya. Maka ia tidak akan tega menyakiti anak yang merupakan amanah, titipan, bukan miliknya sendiri yang bebas ia perlakukan semaunya. Seorang anak yang mengenal dirinya adalah makhluk ciptaan, yang dilahirkan melalui pengorbanan ibunya, akan sangat menghormati orang tuanya. Menaatinya, berbuat baik kepadanya.
Sayangnya, nilai-nilai ketuhanan ini semakin tergerus oleh hasutan duniawi. Bahagia diartikan memiliki banyak harta. Keberadaan Tuhan hanya diibaratkan pelengkap dalam hidup. Bukan sebagai menu utama dalam kehidupan. Tergantikan dengan Uang, ketenaran, memiliki banyak benda berharga. Begitulah kapitalisme sekuler.
Kesadaran akan keberadaan Tuhan sebagai Pencipta, yang tidak ditanamkan dan dimasukkan ke alam bawah sadar setiap manusia, melalui pendidikan sejak dini, menjadikan manusia bertindak semaunya. Inilah buah dari sistem rusak sekularisme. Ditambah kapitalisme yang menguasai alam semesta saat ini, menjadikan tolok ukur kebahagiaan adalah uang, materi. Sehingga manusia kehilangan kemanusiaannya. Begitulah jika kita menolak aturan dari yang Maha Mengatur.
Sejatinya, Islam hadir bukan sebagai hiasan, bukan sebagai pelengkap, yang hanya memenuhi kebutuhan manusia akan Tuhan. Tapi Islam hadir untuk menjadikan manusia sebagai manusia. Karena sungguh, Islam adalah agama dari Sang Maha Pencipta. Sehingga tolak ukur dalam perbuatannya adalah apa yang diatur dalam Allah SWT. Tidak akan berani seorang Muslim, yang telah memahami Islam, untuk melanggar aturan dari Sang Maha Pengatur.
Bagaimana menjadikan Islam bisa dipahami dan diterapkan dalam kehidupan? Satu-satunya cara adalah dengan mempelajarinya, menerapkannya untuk diri sendiri, keluarga, bahkan dijaga penerapannya oleh negara. Tanpa negara, tidak akan ada kurikulum pendidikan yang memanusiakan manusia. Semua akan sibuk mengatur, walau pengetahuannya terbatas.
Media sosial, dipakai untuk menanamkan nilai-nilai moral dan kebaikan. Siapa yang mengawasi dan mengaturnya jika bukan negara? Negara apa yang bisa mengatur media sosial masyarakatnya? Negara apa yang peduli pada kenyamanan dan ketentraman rakyatnya?
Demokrasi yang sudah diterapkan puluhan tahun lamanya, terbukti malah semakin menyebabkan kerusakan. Maka kembalilah wahai manusia ciptaan Tuhan, kembalilah kepada jalan Tuhanmu yang menciptakanmu. Kembalilah kepada Islam dan terapkanlah Islam dalam hidupmu, niscaya kebahagiaanmu akan abadi, standar baikmu akan jelas, ketakutanmu akan pasti, hanya kepada Allah SWT.
Setiap manusia akan berlomba dalam kebaikan, karena yakin pada perkataan yang Menciptakannya, bahwa hidup, bukan hanya di dunia. Dunia tidak akan menyilaukannya, karena tujuan hidupnya hanyalah untuk beribadah. Baik untuk diri sendiri, masyarakat, bahkan dunia. Beribadah dalam bernegara, mengatur kepentingan, kebutuhan serta menyamankan rakyat selama hidup dunia, membawa rakyat bahagia sampai ke akhirat. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Zulfiqi Hikmah
Ibu Peduli Generasi