TintaSiyasi.id -- Rumahku nerakaku. Mungkin ini kalimat yang tepat untuk menggambarkan suasana kelam pada sebagian keluarga di negeri ini. Betapa tidak? Keluarga yang seharusnya memberi rasa tenang dan nyaman, berubah menjadi biang petaka. Alih-alih menyayangi, sebagian penghuninya malah bertindak sadis pada orang terdekat.
Sungguh miris! Tragis! Mendapati kisah pembunuhan yang terjadi di lingkar keluarga inti. Terbaru, anak bunuh ayahnya di Deliserdang karena tak rela ayahnya pindah rumah karena tidak tahan hidup dengan pelaku yang mengkonsumsi sabu-sabu (okemedan.com, 6/9/2024). Sementara itu, seorang pemuda bunuh ayah di Cirebon setelah pertengkaran keduanya dan pelaku terpengaruh minuman alkohol (detik.com, 28/8/2024). Ada pula, seorang pria bunuh ibunya di Balikpapan yang baru pulang shalat Isya dari masjid (detik.com, 25/8/2024).
Adapun anak bunuh ibu di Sukabumi karena akumulasi rasa kesalnya (antaranews.com, 15/5/2024).
Tega! Ibu di Kediri menyabet dua anaknya dengan parang hingga meninggal dunia, diperkirakan gangguan kejiwaan (jawapos.com, 6/9/2024). Adapun seorang ibu di Bekasi menusuk anaknya sebanyak 20 kali hingga tewas (detik.com, 10/3/2024). Ada pula Ayah cekik bayinya hingga meninggal di Pekalongan, berdalih anak rewel dan ia teler karena miras (detik.com, 22/8/2024). Sementara ayah bunuh anak di Berau, Kaltim, akibat cemburu pada istri yang diduga selingkuh (detik.com, 11/7/2024).
Penyebab Pembunuhan dalam Keluarga Inti Marak Terjadi di Tengah Masyarakat Sekuler Kapitalis
Maraknya kasus pembunuhan dalam lingkar keluarga inti menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga dan pertikaian internal kian merajalela. Bila kita telisik penyebabnya, setidaknya kita bisa memetakan secara mendasar ada dua yaitu faktor internal (di dalam keluarga itu sendiri) dan faktor eksternal (sistem hidup yang melingkupi).
Faktor pertama, dari sisi internal yaitu hancurnya fungsi keluarga. Keluarga sebagai miniatur kecil dalam masyarakat memiliki delapan fungsi, yakni reproduksi, ekonomi, edukasi, sosial, proteksi, rekreasi, afeksi, dan religiusitas. Delapan fungsi tersebut dapat berjalan lancar apabila terjadi sinergi antara seluruh anggota keluarga, baik orang tua maupun anak.
Sayangnya, dalam kasus pembunuhan ini, semua fungsi tersebut tidak berjalan sempurna, kecuali fungsi reproduksi. Fungsi ekonomi di sebagian keluarga tidak berjalan mulus. Keluarga juga tidak mampu menjadi tempat edukasi terbaik karena sang anak suka membangkang bahkan ayah yang harusnya jadi teladan malah suka miras.
Fungsi proteksi jelas tidak bisa diberikan. Bagaimana mungkin, seorang ibu justru melukai bahkan membunuh anaknya padahal dialah yang melahirkan dan harusnya merawat buah hati dengan kasih sayang? Fungsi sosial hilang, tidak ada bonding (ikatan emosional) antara anak dengan orang tua. Pun sulit membentuk pola komunikasi yang baik. Hanya satu bahasa komunikasinya yaitu amarah atau kekerasan fisik.
Selain itu, tidak berjalannya fungsi religiusitas membuat anggota keluarga jauh dari agama. Ini dapat kita lihat dari keseharian anak atau sikap orang tua yang tidak mampu mengontrol emosi dalam menghadapi perilaku penghuni rumah lainnya.
Faktor kedua, rusaknya sistem hidup yang melingkupi individu dan keluarga. Hari ini kita tinggal di negara yang menerapkan sistem sekularisme kapitalistik liberalistik. Sekularisme adalah paham yang mengandalkan akal manusia dan meniadakan peran agama dalam kehidupan. Paham ini menggempur setiap sendi kehidupan, bahkan ke dalam keluarga.
Fungsi religiusitas rusak karena sekularisme. Keluarga yang jauh dari agama membuat mereka melakukan hal-hal yang tidak benar karena memang tidak mengerti mana yang benar dan salah. Mereka juga memenuhi kebutuhan dengan cara apa saja, walau dengan mencuri, misalnya. Jika ada masalah, mereka akan menyelesaikan dengan gegabah, emosi tidak terkontrol, bahkan menuruti hawa nafsu semata. Kalau fungsi religiusitas telah rusak, fungsi yang lain bisa ikut rusak.
Penerapan kapitalisme dalam kehidupan bernegara juga membuat si kaya makin kaya dan si miskin makin miskin. Penderitaan orang miskin ini membuat mereka sulit memenuhi kebutuhan. Akhirnya, fungsi ekonomi dalam keluarga menjadi tidak berjalan. Pun memicu emosi hingga kekerasan mudah terjadi.
Liberalisme juga membuat manusia cenderung bebas mengekspresikan kemarahan lewat tindakan kekerasan. Bahkan hingga kepada orang terdekat, darah dagingnya sendiri. Dengan demikian, tak hanya karena faktor individu yang rusak. Banyaknya kasus pembunuhan dalam lingkar keluarga inti juga disebabkan oleh penerapan sekularisme yang memang cacat sejak kelahirannya.
Dampak Pembunuhan dalam Lingkar Keluarga terhadap Keutuhan dan Kesejahteraan Bangsa
Kasus pembunuhan dengan korban yang masih satu keluarga akhir-akhir ini marak terjadi. Kriminolog dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Yesmil Anwar, menjelaskan, kasus-kasus tersebut menandakan bahwa kejahatan saat ini tidak hanya di luar rumah. Secara umum, ia menilai terjadi dehumanisasi (penurunan nilai-nilai kemanusiaan) sehingga kasus pembunuhan dalam keluarga marak terjadi (okezone.com, 27/6/2014).
Bila tragedi ini terus terjadi, dimungkinkan akan berdampak terhadap keutuhan dan kesejahteraan bangsa. Mengingat keluarga merupakan institusi terkecil pembangun negara. Dampak tersebut antara lain;
Pertama, ketahanan bangsa rapuh. Bila ketahanan keluarga terkikis tersebab anggotanya sering berselisih hingga terjadi tindak kekerasan bahkan pembunuhan, maka ketahanan bangsa juga runtuh.
Kedua, menurunnya kualitas wanita sebagai tiang negara. Wanita adalah tiang negara. Bila wanitanya baik, negara juga baik. Pun sebaliknya. Bila fungsi pendidik sang ibu luntur, bagaimana mampu menyiapkan generasi terbaik demi masa depan bangsa?
Ketiga, hilangnya generasi penerus bangsa. Kondisi anak dan remaja hari ini sungguh memprihatinkan. Terjebak dalam aneka kasus kenakalan dan kejahatan. Miras dan narkoba memicu ketidakwarasan dan sulit mengontrol emosi. Hingga mudah bertindak kekerasan dan membunuh orang tua sendiri.
Keempat, kesejahteraan bangsa sulit teraih. Bila kondisi internal keluarga banyak yang tidak harmonis, bagaimana akan mewujudkan kesejahteraan? Secara akumulatif, tentu akan berdampak lebih luas pada kesejahteraan bangsa.
Dengan demikian, problem pembunuhan dalam keluarga ini akan berdampak buruk bagi ketahanan dan kesejahteraan bangsa. Maka butuh perhatian sungguh-sungguh dari semua pihak, khususnya para pemimpin negara untuk mampu menyelesaikannya.
Strategi Membentuk Keluarga Damai Sentosa dalam Peradaban Bangsa yang Mulia
Paham sekularisme kapitalisme yang memiliki daya rusak terhadap manusia tentu sangat berbeda dengan Islam sebagai ajaran yang berasal dari Allah SWT, Tuhan Semesta Alam. Sekularisme merusak fungsi keluarga, sedangkan Islam menjaganya.
Maka strategi membentuk keluarga damai sentosa dalam peradaban bangsa yang mulia, tak lain dan tak bukan adalah kembali pada ajaran Islam. Islam mengajarkan agar setiap Muslim menjadikan Islam sebagai landasan hidup yang akan menuntun kaum Muslim menjadi pribadi yang beriman dan bertakwa kepada Allah Taala.
Dalam keluarga, Islam menjadi panduan utama mengelola berbagai urusan di dalamnya. Dari mendidik anak hingga membangun relasi suami istri. Orang tua dan anak akan memahami segala tanggung jawabnya dan saling membantu dan memahami satu sama lainnya. Dengan begitu, delapan fungsi keluarga akan berlangsung dengan lancar dan ideal.
Adapun negara yang bersedia menerapkan Islam akan menjalankan strategi sebagai berikut;
Pertama, sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Anak didik harus terlebih dahulu memahami agamanya untuk bisa menjalani kehidupan dengan benar. Dengan begitu, akan timbul motivasi belajar yang berdasarkan ruhiah. Inilah yang akan menjadikannya kuat dari sisi syakhsiyah (kepribadian) Islam.
Kedua, sistem ekonomi dalam sistem Islam akan menjadikan rakyat sejahtera. Para ayah dimudahkan untuk mencari nafkah dan para ibu akan fokus menjadi ummun wa robbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga). Inilah yang menjadikan anak- anak kenyang dengan kasih sayang sebab para ibu akan optimal.
Ketiga, sistem sanksi Islam pun sifatnya menjerakan. Islam memberlakukan qishas bagi pelaku pembunuhan. Qishas adalah pembalasan hukum setimpal kepada pelaku pidana. Qishas umumnya diterapkan dalam kasus pembunuhan dan penganiayaan.
Keempat, sistem politik dalam Islam yang menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam negara sehingga menjadikan kebijakan negara sejalan dengan syariat. Para penguasanya fokus menjadikan rakyatnya bertakwa dan terpenuhi seluruh kebutuhannya.
Sistem sekuler kapitalistik telah nyata menjadi akar persoalan runtuhnya bangunan keluarga. Hanya dalam sistem Islam yang mampu menjamin terwujudnya maqasid syariah, yakni terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Hubungan manusia dengan manusia akan harmonis, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Oleh karena itu, hanya Islam yang mampu memberikan penjagaan terhadap fungsi keluarga. Apabila kita tidak ingin masalah yang sama kembali terjadi, hanya satu caranya, yakni kembali kepada Islam secara totalitas.
Berdasarkan pembahasan di atas, penulis mengajukan kesimpulan sebagai berikut:
1. Penyebab Pembunuhan dalam keluarga inti marak terjadi adalah hilangnya delapan fungsi keluarga serta rusaknya sistem hidup yang melingkupi yaitu penerapan sistem sekularisme kapitalistik liberalistik.
2. Dampak pembunuhan dalam lingkar keluarga inti terhadap keutuhan dan kesejahteraan bangsa yaitu; ketahanan bangsa menurun, kehilangan wanita sebagai tiang negara, generasi penerus bangsa tidak ada, serta kesejahteraan bangsa tidak terwujud.
3. Strategi membentuk keluarga damai sentosa dalam peradaban bangsa yang mulia ialah secara mendasar kembali pada pengaturan Islam. Baik dalam kehidupan berkeluarga maupun bernegara. Dalam keluarga, mendasarkan Islam untuk mendidik anak hingga membangun relasi suami istri. Pun negara menerapkan Islam dalam menjalankan sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem sanksi, dan sebagainya.
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)
#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst