TintaSiyasi.id -- Wacana reformulasi perhitungan mandatory spending untuk pendidikan menunjukkan kondisi sistem pendidikan di Indonesia makin ke sini makin abai dan culas. Dikutip dari bbc.com (9-9-2024), Kementerian Keuangan mewacanakan mengubah pengaloakasian anggaran pendidikan nantinya diambil dari pendapatan negara, bukan lagi masuk dalam belanja negara. Namun, sejumlah pihak mengatakan cara ini bisa menyusutkan anggaran untuk pendidikan sekitar Rp100—150 triliun.
Sri Mulyani mengangkat gagasan itu dalam rapat kerja pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR pada Rabu (04-09-2024). Menurut mantan managing director Bank Dunia itu, pihaknya sudah membahas bagaimana anggaran wajib atau mandatory spending pendidikan yang dialokasikan sebesar 20% belanja negara cenderung membuat dana pendidikan menjadi berubah-ubah.
Menurut Sri Mulyani, caranya mengelola APBN tetap comply atau patuh dengan konstitusi, yakni 20% diambil dari pendapatan negara untuk pendidikan. Kalau 20% dari belanja negara, dalam belanja itu banyak ketidakpastian, itu anggaran pendidikan jadi kocak, naik turun, kata Sri Mulyani. Hal ini langsung mendapatkan penolakan dari DPR RI.
Dalam rapat kerja dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) di DPR pada Jumat (06-09-2024), Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda mengatakan pihaknya menolak “usulan utak-atik” anggaran 20% dari Menkeu. Dikutip dari Tempo.com, yang disampaikan Ibu Sri Mulyani yakni ingin mandatory [spending] [anggaran wajib] 20% berbasis pada pendapatan dari APBN, bukan dari belanja APBN. Karena itu, Syaiful sekali lagi dalam forum yang baik ini kami menyatakan pada posisi menolak.
Memang alasan Sri Mulyani dalam reformulasi mandatory spending supaya dana pendidikan itu efektif, hanya saja jika usulan Sri berpotensi mengikis anggara pendidikan, hal inilah yang makin mengukuhkan bentuk pengabaian negara terhadap penyelenggaraan pendidikan. Wajah kapitalisme yang culas tampak sekali dan sistem pendidikan kapitalisme.
Menyoal Wacana Kemenkeu tentang Reformulasi Perhitungan Mandatory Spending untuk Pendidikan
Mandatory spending adalah belanja atau pengeluaran negara yang sudah diatur oleh undang-undang. Tujuan mandatory spending ini adalah untuk mengurangi masalah ketimpangan sosial dan ekonomi daerah. Mandatory spending dalam alokasi wajib minimal 20% dari total belanja di APBN untuk anggaran pendidikan diatur dalam Pasal 31 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal itu berbunyi: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah”. Sementara Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) adalah aturan turunan dari Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 itu.
Menkeu Sri Mulyani memberikan wacana reformulasi anggaran pendidikan karena beberapa hal. Pertama, untuk efektivitas anggaran. Karena anggaran pendidikan yang diambil dari anggaran belanja jadi kocak naik-turun. Jika anggaran tersebut diambil dari anggaran pendapatan, itu pasti. Pendapatan negara sebesar ini dan 20 persen dialokasikan untuk pendidikan.
Kedua, persiapan anggaran makan siang gratis untuk pelajar. Jika program ini berjalan dan diambilkan dari APBN belanja negara, maka akan membebani keuangan negara. Diduga usulan anggaran pendidikan dari pendapatan APBN supaya pendidikan dikelola berdasarkan dengan dana yang didapatkan dari APBN.
Ketiga, beban utang luar negeri. Dikutip dari bi.go.id (15-8-2024), posisi ULN Indonesia pada triwulan II 2024 tercatat sebesar 408,6 miliar dolar AS, atau tumbuh sebesar 2,7% (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan sebesar 0,2% (yoy) pada triwulan I 2024. Peningkatan tersebut bersumber dari ULN sektor publik maupun swasta. ULN pemerintah benar-benar membebani negara.
Mengomentari hal tersebut, pertama, alasan efektivitas dan kualitas anggaran pendidikan menunjukkan adanya potensi penyelewengan anggaran pendidikan dihabiskan tidak pada tempatnya. Selain itu, wacana pengubahan anggaran pendidikan 20% dari belanja ke pendapatan APBN, sebenarnya kita dihadapkan dengan perolehan dana sekian, cukup atau tidak cukup, dana itulah yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan. Di sinilah banyak penolakan, karena tampak begitu egois, abai, dan culas pengelolaan sistem pendidikan yang bernafaskan kapitalisme hari ini.
Berdasarkan perhitungan Irhamna, apabila skenario Rancangan APBN 2025 untuk belanja pendidikan saat ini dipatok pada Rp722 trillion, maka alokasi ini akan berubah menjadi Rp599 triliun apabila mengikuti proposal Kemenkeu.
Ekonom Indef, Ariyo DP menambahkan seharusnya Kementerian Keuangan memberikan solusi untuk mendorong perbaikan efektivitas dan kualitas belanja fungsi pendidikan, bukan malah mengajukan reformulasi perhitungan mandatory spending untuk pendidikan yang mengurangi jumlah alokasi untuk pendidikan.
Kedua, tampak sekali negara terbebani menyelenggarakan program makan siang gratis yang selama ini digembar-gemborkan penguasa. Sebenarnya tanggung jawab negara adalah menyelenggarakan pendidikan berkualitas secara gratis, karena ini bentuk tanggung jawab negara. Negara harus fokus ke sana, terkait anggaran makan siang gratis tidak mengapa setelah penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas dan gratis terwujud. Seolah-olah pemerintah memaksakan diri untuk menyelenggarakan makan siang gratis di kala masalah pendidikan masih karut marut.
Pada pidato sidang Paripurna DPR pada 16 Agustus, Presiden Jokowi juga mengatakan program makan bergizi gratis (yang diusung penerusnya, Prabowo Subianto) dilakukan secara bertahap mulai tahun depan dan dananya akan diambil dari alokasi belanja pendidikan yang totalnya mencapai anggaran pendidikan dialokasikan sebesar Rp722,6 triliun.
Ketiga, banyak utang telah membuat pemerintah putar arah, pangkas sana-sini perihal anggaran. Jumlah utang yang besar dan bunga yang tinggi membuat penguasa membuat anggaran yang makin hari makin membebani rakyat. Tanggung jawab mereka sebagai penyelenggara negara mulai dikikis, sehingga mereka berlepas tangan atas pengelolaan rakyat. Alasannya karena utang yang tinggi.
Pengubahan anggaran pendidikan dari belanja ke pendapatan APBN telah menunjukkan abainya pemerintah dalam menyelenggarakan. Mereka berusaha mengurangi porsi anggaran karena mereka ingin berlepas tangan dari tanggung jawab pendidikan. Sebenarnya adanya kapitalisasi dan swastanisasi pendidikan telah menunjukkan pelepasan tanggung jawab negara menyelenggarakan pendidikan, dan sekarang ditambah lagi terkait porsi pengubahan anggaran pendidikan.
Dampak Utak-atik Dana Pendidikan terhadap Aspek Politikus, Ekonomi, dan Pendidikan
Dampak yang tampak dari pengubahan anggaran pendidikan dari belanja ke pendapatan APBN adalah berkurangnya porsi anggaran pendidikan. Berdasarkan perhitungan ekonom Indef, Ariyo DP Irhamna, apabila skenario Rancangan APBN 2025 untuk belanja pendidikan saat ini dipatok pada Rp722 trillion, maka alokasi ini akan berubah menjadi Rp599 triliun apabila mengikuti proposal Kemenkeu.
Ariyo mengatakan, anggaran yang tidak efektif dan berkualitas salah satunya terlihat dari sebesar Rp111 triliun atau setara 16% anggaran pendidikan pada 2023 tidak terealisasi dari pagu APBN Tahun Anggaran 2023. Terpisah, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Ubaid Matraji, mengatakan pemerintah sibuk dengan angka 20% dan melupakan apa saja dan berapa kebutuhan pendidikan.
Dalam pandangan ekonomi, tentunya pengubahan tersebut berpengaruh makin sedikitnya anggaran untuk pendidikan dan hal itu menguntungkan dari pihak keuangan karena tidak membebani negara. Namun, dalam aspek pendidikan, tentunya banyak porsi anggaran pendidikan yang terpangkas karena usulan ini. Inilah yang menjadi alasan penolakan wacana tersebut.
Seperti lemahnya pengawasan pendistribusian anggaran pendidikan juga menjadi salah satu kekurangan dalam pemerintahan demokrasi. Potensi korupsi, kolusi, nepotisme, atau dana tidak terdistribusi dengan baik akan terjadi dalam pengelolaan anggaran dalam sistem demokrasi kapitalisme hari ini.
Dampak dalam aspek politik adalah makin ke sini, negara makin berlepas tangan dalam penyelenggaraan pendidikan. Sekalipun ada tetapi itu belum bisa menutupi masalah pendidikan. Dana menjadi komponen utama untuk menyelenggarakan pendidikan dari gaji, fasilitas, hingga sarana dan prasarana membutuhkan dana yang cukup banyak. Wajar jika pendidikan membutuhkan dana yang cukup fantastis.
Kekurangan dalam pengelolaan pendidikan di sistem kapitalisme, sumber pendapatan anggaran dana selain dari negara juga dari swasta dan itulah yang menjadi akar masalah biaya pendidikan yang mahal hari ini. Andai pemerintahan kapitalisme lama-lama mengurangi anggarannya dengan berbagai alasan yang mereka sampaikan, tentunya ke depan biaya pendidikan akan makin mahal, potensi rakyat mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan layak jauh panggang dari api.
Strategi Islam dalam Mengelola Pendanaan dalam Sistem Pendidikan
Dalam Islam sangat jelas, pendidikan, kesehatan, dan keamanan wajib diselenggarakan negara untuk menjaga jiwa dan akal rakyat senantiasa dalam ketaatan. Dalam pandangan Islam, keuangan negara dikelola oleh baitulmal. Sumber pendapatan baitulmal adalah fai’, khumus, kharaj, usyur, jizyah, ghanimah, dan tentu saja, zakat.
Hal tersebut disampaikan dalam kitab Al Amwal fi Daulah Khilafah karangan Abdul Qadim Zallum yang ada di Suaraislam.id. Sejumlah pos penerimaan negara dan alokasi pendistribusiannya seperti harta kepemilikan umum, fai’, khumus, kharaj, usyur, jizyah, ghanimah, zakat, bahkan daribah.
Soal harta kepemilikan umum. Harta milik umum (milkiyah amah) adalah harta yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah bagi kaum muslim dan menjadikan harta tersebut sebagai milik bersama umat Islam. Individu-individu diperbolehkan untuk mengambil manfaat dari harta tersebut, tetapi tidak diperbolehkan untuk memilikinya secara pribadi.
Harta kepemilikan umum mencakup tiga jenis, yaitu: (1) Sarana-sarana umum yang diperlukan oleh seluruh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari, seperti air, padang rumput (hutan) dan api (sumber energi); (2) Harta-harta yang keadaan asalnya terlarang bagi individu untuk memilikinya, seperti jalan umum, kereta api, PAM, dsb; (3) Barang tambang (SDA) yang jumlahnya tidak terbatas, seperti tambang minyak bumi, gas alam, nikel, batu bara, emas, tembaga, uranium, dan sebagainya.
Semua jenis harta ini dikelola sepenuhnya oleh negara untuk kesejahteraan rakyat. Individu maupun swasta, apalagi swasta asing (seperti Shell, Chevron, Exxon Mobil, Newmont, Freeport), dilarang untuk mengelola apalagi memilikinya. Berkebalikan dengan sistem kapitalisme, justru harta kepemilikan umum dikelola swasta asing. Negara bertumpu pada penerimaan pajak dan utang luar negeri, inilah yang menjadi sumber malapetaka keuangan di negeri ini. Apabila negara ingin menyelamatkan pendidikan dan pendanaannya harus ada upaya untuk mengembalikan pengelolaan negara kepada Islam secara sempurna yakni dalam bingkai Khilafah Islamiah.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Pengubahan anggaran pendidikan dari belanja ke pendapatan APBN telah menunjukkan abainya pemerintah dalam menyelenggarakan. Mereka berusaha mengurangi porsi anggaran karena mereka ingin berlepas tangan dari tanggung jawab pendidikan. Sebenarnya adanya kapitalisasi dan swastanisasi pendidikan telah menunjukkan pelepasan tanggung jawab negara menyelenggarakan pendidikan, dan sekarang ditambah lagi terkait porsi pengubahan anggaran pendidikan.
2. Dampak yang tampak dari pengubahan anggaran pendidikan dari belanja ke pendapatan APBN adalah berkurangnya porsi anggaran pendidikan. Berdasarkan perhitungan ekonom Indef, Ariyo DP Irhamna, apabila skenario Rancangan APBN 2025 untuk belanja pendidikan saat ini dipatok pada Rp722 trillion, maka alokasi ini akan berubah menjadi Rp599 triliun apabila mengikuti proposal Kemenkeu.
3. Semua jenis harta ini dikelola sepenuhnya oleh negara untuk kesejahtaraan rakyat. Individu maupun swasta, apalagi swasta asing (seperti Shell, Chevron, Exon Mobil, Newmont, Freeport), dilarang untuk mengelola apalagi memilikinya. Berkebalikan dengan sistem kapitalisme, justru harta kepemilikan umum dikelola swasta asing. Negara bertumpu pada penerimaan pajak dan utang luar negeri, inilah yang menjadi sumber malapetaka keuangan di negeri ini. Apabila negara ingin menyelamatkan pendidikan dan pendanaannya harus ada upaya untuk mengembalikan pengelolaan negara kepada Islam secara sempurna yakni dalam bingkai Khilafah Islamiah.
Oleh. Ika Mawarningtyas (Direktur Mutiara Umat Institute)
MATERI KULIAH ONLINE UNIOL 4.0 DIPONOROGO. Rabu, 11 September 2024. Di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum. #Lamrad #LiveOpperessedOrRiseAgainst