Tintasiyasi.ID -- Menanggapi ditandatanganinya PP No. 28 Tahun 2024 oleh Presiden Joko Widodo bulan lalu, Pakar Parenting Islam Iwan Januar menegaskan bahwa kebijakan tersebut batil.
"Jelas kebijakan ini batil. Maka pemerintah harus
mengklarifikasi dan segera merevisi. Jangan ditambah kata-kata penyediaan alat
kontrasepsi bagi remaja. Cukup edukasi, konseling, atau pemeriksaan kesehatan. Edukasi
remaja jangan sampai jatuh pada perbuatan zina. Tapi kalau masih seperti ini,
harus ditentang oleh setiap Muslim," ungkapnya di kanal YouTube Guru Muslim
Inspiratif dalam Podcast “Sepulang Mengajar”: Kacau! Peraturan
Pemerintah Pelegalan Alat Kontrasepsi, Sudah Sah?, Ahad (11/08/2024).
"Kalau di luar negeri seperti Amerika sudah
terang-terangan. Bukan hal aneh anak sekolah SMA, masuk sekolah atau main di
malam hari, selain bawa buku pelajaran juga ada alat kontrasepsi. Karena bagi mereka
itu hak asasi," tambahnya.
“Sekarang di minimarket banyak dijual. Ada cerita seorang
kawan, di satu acara remaja terlihat orang-orang antre beli alat kontrasepsi dengan
tampang-tampang usia muda, bukan pasangan suami istri. Sang kasir mengatakan, ‘Kalau momen begini biasa laris
penjualan alat kontrasepsi karena lagi Valentine’s Day. Malah dulu ada satu paket dengan coklat’,"
kisahnya.
Ia menambahkan, tidak tahu operasionalnya, apakah ada counter
atau klinik yang ditunjuk pemerintah, selain konseling, pemeriksaan kesehatan,
juga disediakan alat kontrasepsi untuk remaja usia subur berisiko tinggi.
Karena usia se-SMA itu subur, tapi high risk, karena mereka bisa
gonta-ganti pasangan.
Ia khawatir, nanti operasionalnya seperti itu. Misalkan
konseling, "’Saya dengan pacar biasa hubungan badan sekian kali.’ Lalu ada keluhan begini dan begitu.
Petugas menyarankan, sebaiknya menghentikan. Tapi kalau masih juga, lalu
dikasih alat kontrasepsi, itu sangat mungkin.”
"Di kalangan dunia medis seperti tenaga medis dokter,
atau konsultan kesehatan ada yang setuju dengan pemberian alat kontrasepsi
untuk kalangan pelajar, karena melihat fakta banyak remaja sudah berhubungan di
luar pernikahan, daripada kebablasan, hamil, penyakit kelamin, mending di
edukasi, dikasih konseling dan alat kontrasepsi," ujarnya.
Ia mengatakan, tidak sedikit tenaga medis dan dokter yang
secara pemikirannya ke arah sana. Mereka mengadopsi solusi yang ditawarkan oleh
PBB, dan negara-negara Barat yang prinsipnya ABC (abstinence, be faithful (setia pada pasangan untuk hubungan
badan), C-nya kondom) dan diadopsi oleh negara. Karena mayoritas Muslim jadi enggak terlalu vulgar mengampanyekan.
Negara penganut paham demokrasi seperti Indonesia, kebebasan
mengekspresikan dorongan seksual merupakan hak asasi warga negara, enggak boleh
dilarang dan dipaksa. Negara melindungi dan menjamin hak mereka termasuk
ekspresi perilaku kebebasan. Indonesia agak berat, karena mayoritas Muslim, dan banyak tokoh dan ormas Islam, para guru yang terus mengampanyekan
jangan sampai remaja (secara kultur) masih ada rasa malu, tuturnya.
Walaupun di kampung-kampung pun terlihat mulai adaptasi dan
menganggap normal hubungan di luar nikah di kalangan remaja,
apalagi di perkotaan. Di
enggak terlalu vulgar kalau dibanding luar negeri, misal APC itu jadi program
terbuka mereka. Bahkan Valentine disebutnya condom weeks,
pekan tebar kondom. Karena pemerintah Amerika tahu, masa Valentine banyak terjadi hubungan luar nikah.
Maka untuk pencegahan dikampanyekan menggunakan alat kontrasepsi, imbuhnya.
Dampak
"Indonesia yang mayoritas muslim, sudah kenal dengan
haramnya perzinaan, seharusnya diedukasi, dicegah, di bimbing, jangan sampai
jatuh dalam zina. Konsekuensi selain dosa, ada dampak bawaannya bisa merusak
satu generasi, bahkan beberapa generasi," ungkapnya.
Risiko penularan penyakit kelamin, kehamilan tidak diinginkan, pada remaja
perempuan pasti menimbulkan depresi secara psikologis. Karena masih sekolah,
masih ingin punya pendidikan tinggi, malu ketemu orang tua, teman-teman, merasa
terkucilkan, tidak siap sebagai ibu. Yang laki-laki juga tidak siap menafkahi,
masih ingin sekolah, kuliah. Dua-duanya mengalami depresi, akhirnya memutuskan
aborsi atau buang bayi. Jika melahirkan, enggak siap sebagai ibu, karena
pikirannya masih ingin main, kuliah, berkarir. Sementara punya anak menjadi
tambahan beban, bagi orang tuanya juga, tambahnya.
Pencegahan
"Para guru bisa mengilustrasikan agar anak-anak bisa
berpikir panjang, dan menanamkan akidah iman, bahwa zina adalah dosa besar,
jangan sampai enggak bisa menjaga diri, hubungan dengan lawan jenis, sampai
kebablasan. Selain dunia rugi, akhirat juga. Tambah lagi terkena risiko penyakit menular seksual.
Mungkin perempuannya belum pernah hubungan badan, tapi yang cowoknya nakal.
Dengan perempuan lain, bahkan juga dengan dunia prostitusi. Maka risiko penularan penyakit kelamin
menjadi sangat tinggi di kalangan remaja," paparnya.
Ia menyarankan, guru-guru harus bisa mengusahakan pencegahan
dengan mengingatkan tentang agama, bagaimana Al-Qur’an, besarnya dosa zina. Memberi
gambaran dampak negatif yang akan dirasakan. "Depresi, stres karena hamil
tidak diinginkan, kemudian aborsi. Perempuan yang mengaborsi kandungan tak
sedikit yang mengalami depresi, karena ada perasaan bersalah. Kemudian juga
bisa timbul gangguan kesehatan pada
rahim akibat aborsi,” jelasnya.
Menurutnya, dinas terkait seperti Dinas Kesehatan harus berani menyampaikan
suara dan pandangan Islam terkait undang-undang ataupun PP (peraturan pemerintah).
"Jangan menerima karena takut jabatan hilang, atau disanksi segala macam. Harus speak up
berani menyampaikan, karena ini bisa multitafsir, kalau sudah multitafsir nanti bisa disalahgunakan,” pungkasnya.[] Tari Handrianingsih