TintaSiyasi.id -- Berita hari ini bikin ngelus dada, bagaimana tidak, setiap hari terjadi kasus pembunuhan, baik yang dilakukan karena motif dendam, rebutan harta warisan, gengster yang meresahkan, bullying, dan lainnya.
Kalau dulu pembunuhan dilakukan oleh orang dewasa, kini anak-anak bisa melakukannya, astagfirullah. Mengapa manusia hari ini makin berani melakukan kriminalitas? Apakah dia tidak takut akan hukuman (penjara) atau pun azab Allah di akhirat?
Adapun sanksi dunia (penjara) nyatanya tidak membuat kasus pembunuhan ini meredup, yang ada makin meningkat. Kasus nyawa tidak berharga ini bukan hanya terjadi di Indonesia, negara Barat yang katanya maju dalam hal teknologi pun tidak luput. Kebebasan kepemilikan senjata tajam membuat orang bebas melakukan apa saja.
Dilansir dari suara.com (17/9/2024). Seorang anak laki-laki berusia 11 tahun di AS yang diduga membanggakan banyaknya senjata yang dimilikinya dan berencana untuk mengeksekusi "daftar pembunuhan" di dua sekolah berbeda telah ditangkap.
Dalam sebuah unggahan Facebook pada hari Senin, Sheriff Volusia County Mike Chitwood mengatakan bahwa polisi menyita sejumlah senapan airsoft, pistol, dan amunisi palsu beserta pisau, pedang, dan senjata lainnya setelah anak laki-laki berusia 11 tahun tersebut, yang diidentifikasi sebagai Carlo "Kingston" Dorelli, menunjukkan video persenjataannya kepada teman-teman sekelasnya dan mengancam akan melakukan kekerasan.
Sebenarnya mereka manusia atau hewan? Manusia yang diciptakan sempurna ada akal untuk berpikir namun bertindak seperti binatang. Yang katanya negara maju, namun warganya senggol bacok, mudah tersulut emosi, bersumbu pendek. Inilah akibat dari ketiadaan iman pada diri masing-masing individu, mudah emosi.
Apakah ini dampak dari diterapkannya sistem demokrasi, yang katanya bebas berperilaku dan berpendapat asalkan tidak merugikan orang lain? Faktanya sistem demokrasi ini tidak memberikan rasa aman dan nyaman dalam menjalani kehidupan.
Maraknya kasus pembunuhan yang terjadi diberbagai negara membuktikan sistem demokrasi gagal dalam mengatur kehidupan, artinya manusia membutuhkan sistem yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman.
Berbeda jika kehidupan ini diatur dengan Islam, jelas sanksi yang diberikan jika seseorang melakukan pembunuhan maka sanksinya nyawa dibalas dengan nyawa. Jika melakukan penganiayaan secara sengaja seperti mencongkel mata, maka mata dibalas mata. Jika keluarga korban memaafkan tetap terkena sanksi yakni membayar diyat, yang mana 40 ekor sapi sedang bunting.
Sanksi dalam Islam akan memberikan efek jera bagi pelaku. Kemudian, kasus pembunuhan ini juga bukan semata karena emosi, bisa juga karena tayangan yang dilihat mengandung kekerasan sehingga membuat orang lain melakukannya. Dalam Islam, negara berperan untuk menyeleksi tayangan yang baik untuk masyarakat. Bukan seperti sekarang, orang-orang mabuk informasi, mereka tidak mampu memfilter tayangan yang baik dikonsumsi ataupun dibuang.
Selain itu, negara sangat berperan penting dalam menjaga ketakwaan individu, jangan sampai individu melakukan kemaksiatan yang merugikan dirinya dan orang lain. Kemudian masyarakat dibiasakan melakukan amar makruf nahi mungkar baik kepada sesama masyarakat ataupun penguasa.
Lalu tidakkah kita menginginkan kehidupan yang aman dan nyaman? Kehidupan seperti itu tidak bisa didapatkan dalam sistem demokrasi yang rusak dan merusak ini. Oleh karenanya kita harus mengubah sistem kehidupan ini beralih ke sistem Islam kaffah.
Oleh: Alfia Purwanti
Analis Mutiara Umat Institute