TintaSiyasi.id -- Direktur Institut Literasi Khilafah dan Indonesia (ILK) Septian AW mengatakan, masalah Timur Tengah adalah masalah yang terkait dengan Islam, letak strategis, negara Yahudi, penjajahan, dan minyak.
"Jadi, masalah Timur Tengah adalah masalah yang terkait dengan Islam, letak strategis, negara Yahudi, penjajahan, dan minyak," ungkapnya dalam keterangan yang diterima TintaSiyasi.Id, Ahad (8/9/2024).
Ia menjelaskan bahwa masalah tersebut sangat penting, tidak hanya untuk penduduk kawasan Timur Tengah dan kaum Muslim saja, melainkan juga untuk seluruh dunia. "Adapun Islam, ia telah dan senantiasa menjadi bahaya besar atas AS dan Barat. Hizb ut-Tahrir, Mafahim Siyasiyya Li-Hizb Ut-Tahrir (1969)," ungkapnya.
Ini karena, Timur Tengah terletak di rute terpendek melalui laut yang menghubungkan Eropa dengan Asia Selatan dan Tenggara dan mengekspor sebagian besar minyak dan gas alam yang mendorong ekonomi industri dunia. Segera setelah Perang Dunia II (1939–1945) dan saat Perang Dingin dimulai, Teluk mulai memproduksi sebagian besar minyak dunia.
Kawasan Timur Tengah kata Septian, menjadi wilayah yang sangat menarik bagi Amerika Serikat (AS) sejak Perang Dunia II. Meskipun minat AS di Timur Tengah dapat ditelusuri ke tahun-tahun awal republik Amerika, kawasan ini telah menjadi fokus utama kebijakan luar negeri AS sejak Perang Dunia II. Investasi minyak dan hubungan khusus AS dengan Israel adalah alasan utama keterlibatan AS dalam bidang konfrontasi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet selama Perang Dingin.
Ia menjelaskan hubungan Awal AS-Timur Tengah dimulai sekitar tahun 1800 di Afrika Utara. Pasukan angkatan laut AS mengalahkan bajak laut Barbary pada tahun 1816, tetapi sebagian besar hubungan di abad kesembilan belas bersifat pendidikan dan komersial. Misionaris Protestan mendirikan beberapa sekolah, fasilitas medis, dan perguruan tinggi di Mesir, Turki, Suriah, dan Lebanon,.
"Keterlibatan Amerika di Timur Tengah sangat terbatas sebelum Perang Dunia II. Pembuat kebijakan Amerika menganggap Timur Tengah sebagai wilayah Inggris dan biasanya mendukung kebijakan Inggris di sana. Inggris adalah yang pertama mengembangkan minyak Teluk Persia di Iran. Setelah Perang Dunia I (1914–1918) Amerika Serikat menuntut kebijakan pintu terbuka bagi perusahaan minyaknya, dan pada awal 1920an Perusahaan Minyak Irak (IPC) dibentuk dengan partisipasi Inggris, Amerika, dan Prancis," sambungnya.
AS baru menjadi kekuatan utama di Timur Tengah setelah Perang Dunia II, sebagian besar disebabkan mundurnya Inggris. Inggris menarik diri dari Teluk Persia pada tahun 1971 karena sisa koloninya Bahrain, Qatar, dan Uni Emirat Arab merdeka," ungkapnya.
"AS mendukung dan kemudian meniru strategi pascakolonial Inggris dalam mempertahankan hegemoni di Timur Tengah melalui perjanjian pertahanan & pakta keamanan regional seperti aliansi Pakta Baghdad (CENTO) pada 1955. Pada 1953, CIA membantu kudeta Shah Muhammad Reza Pahlavi yang menjadikannya sekutu terpenting," tambahnya.
Ia mengungkapkan bahwa AS menjadikan Iran dan Arab Saudi sebagai sekutu yang dapat menjaga stabilitas regional. Keduanya menerima pelatihan senjata dan militer. Di Kawasan Teluk, AS berusaha untuk memblokir ancaman dari sekutu Soviet. Dengan restu AS, Iran membantu pemberontakan Kurdi di Irak utara (1972-1975) yang melemahkan rezim Baath dan mengirim pasukan ke provinsi Dhofar Oman, di perbatasan dengan Yaman, untuk memadamkan pemberontakan Marxis.
Kemudian ia menambahkan, kebijakan ketiga negara ini di Timur Tengah tidak selalu sejalan namun juga tidak selalu berpisah. "Meskipun semuanya didasari kepentingan masing-masing. Dalam menyikapi Krisis Suez misalnya. Krisis Suez (Perang Sinai) adalah serangan militer Inggris, Prancis dan Israel terhadap Mesir yang dimulai pada 29 Oktober 1956. Serangan ini dilancarkan karena pada 26 Juli 1956, Mesir menasionalisasikan Terusan Suez setelah tawaran Inggris dan AS untuk mendanai pembangunan Bendungan Aswan dicabut," terangnya.
Menanggapi ini AS bersebrangan dengan Inggris dan sejalan dengan Soviet. Meskipun Eisenhower bersebrangan dengan Gamal Abdul Nasir (yang menentang Pakta Baghdad, mendukung netralitas, dan menerima senjata blok Soviet.) Namun, dia percaya bahwa serangan terhadap Mesir adalah bencana, AS justru bergabung dengan Soviet dalam menuntut gencatan senjata dan penarikan penjajah.
Perang 1956 telah mengubur pamor Inggris di Kawasan Timur Tengah sekaligus juga membuat Amerika Serikat sebagai kekuatan utama. Soviet pun diuntungkan yang memperoleh pijakan lebih kuat di Mesir. Perang telah mengubah Nasir menjadi pahlawan pan-Arab. Gelombang sentimen nasionalis Arab dan Nasirisme pecah. Pada 1958, tujuan nasionalis Arab untuk persatuan politik dapat dicapai.
"Pada Februari, Suriah dan Mesir menandatangani pakta persatuan, membentuk Republik Persatuan Arab (UAR) di bawah kepemimpinan Nasir. Kemudian pada bulan Juli, monarki Irak digulingkan oleh para perwira yang menggunakan retorika revolusioner dan nasionalis. AS dan Inggris menanggapi dengan mengirimkan pasukan ke Lebanon dan Yordania. Namun, momok persatuan Arab ternyata hanya itu. Dalam beberapa bulan, rezim Irak dan Mesir saling menyerang, dan tiga tahun kemudian UAR dibubarkan," ungkapnya.
AS Dukung Israel
Meskipun demikian, lanjutnya, terlihat bahwa AS secara konsisten mendukung Israel. Aliansi politik-militer yang erat hanya diperkuat setelah Perang Enam Hari Juni 1967. Sementara itu, sebelumnya Prancis adalah sumber utama peralatan militer Israel.
Geopolitik Perang Dingin menarik AS lebih dekat ke Israel setelah sejumlah negara Arab menjadi sekutu bagi Soviet. Israel adalah penyeimbang bagi negara-negara ini. Sebuah hubungan strategis termasuk pasokan senjata berat mulai berkembang antara AS & Israel setelah 1956. Kemenangan Israel pada perang 1967 dirayakan di AS sebagai kemenangan sekutu melawan proksi Soviet.
"AS menjadi pelindung utama Israel. Kebijakan AS adalah memastikan bahwa Israel mempertahankan keunggulan dalam senjata konvensional. Pada bulan November 1967 Amerika Serikat telah mensponsori Resolusi Dewan Keamanan PBB 242, yang meminta Israel untuk menarik diri dari wilayah (tidak ditentukan) yang diduduki dalam perang baru-baru ini," paparnya.
Sejarawan itu, mengungkapkan bahwa pada 1973 pasokan minyak AS diboikot. Penyebabnya AS menyuplai senjata pada Israel. Arab Saudi dan Kuwait menanggapi dengan menyatakan boikot penjualan minyak ke AS. Pada tahun 1980-an hubungan strategis antara AS dan Israel semakin dalam. Israel mencaplok Yerusalem Timur (1981) dan berupaya menguasai Lebanon (1982-84).
"Pada 1990-an AS mengambil peran aktif dalam mempromosikan negosiasi Israel-Palestina melahirakan Oslo Accords pada 1993. Antara tahun 1970an dan 2000an konflik Arab Israel berubah dari konflik antar negara dalam konteks Perang Dingin menjadi perjuangan asimetris antara Israel dan Palestina untuk memiliki wilayah pendudukan," ungkapnya.
Empat peristiwa pada 1979 membentuk kebijakan AS seperti sekarang ini. Pada April, Mesir menjadi negara Arab pertama yang menormalkan hubungan dengan Israel. Hal ini memungkinkan AS untuk mengembangkan aliansi strategis dengan Mesir. Dua bulan sebelumnya Ayatollah Ruhollah Khomeini kembali ke Iran pada puncak revolusi rakyat yang menggulingkan Shah. AS kehilangan sekutu terkuatnya di Teluk Persia.
"Pada saat yang sama, AS melakukan intervensi terhadap Soviet di Afghanistan. Bahkan sebelum invasi Soviet, AS dan sekutunya, Pakistan dan Arab Saudi, telah mendukung pejuang mujahidin antikomunis di Afghanistan. Selama perang Iran-Irak (1980–1988) pemerintahan Reagan membantu Irak, menilai rezim revolusioner Iran menimbulkan bahaya besar. Bantuan ke Irak ditingkatkan pada 1982," paparnya.
Namun satu dekade berlalu kebijakan berubah. Presiden George H. W. Bush membentuk koalisi pasukan yang luas untuk mengusir Irak dari Kuwait pada Februari 1991. Koalisi tersebut memiliki mandat PBB untuk membebaskan Kuwait.
Penempatan pasukan Amerika di tanah Saudi selama dan setelah perang Kuwait, memunculkan Gerakan Osama bin Laden dan Islamis radikal lainnya yang mengartikulasikan tujuan mendirikan kekhalifahan baru. Pada Maret 2003, AS menginvasi Irak dengan dukungan internasional yang jauh lebih sedikit, menuduh bahwa Saddam masih memiliki senjata pemusnah masal.
"Selain menginvasi dan menduduki dua negara di Irak dan Afganistan, Bush memperkenalkan dua gagasan kebijakan luar negeri yang baru. Pada Januari 2002 ia mengumumkan kebijakan perang preventif untuk mencegah musuh mengembangkan kapasitas yang menimbulkan ancaman. Perang Irak dibenarkan, terutama, atas dasar itu. Gagasan lain, yang diajukan sebelum dan sesudah perang, adalah promosi demokrasi dan pasar bebas, yang dia kaitkan dengan perdamaian dan pembangunan. Encyclopedia of Western Colonialism since 1450, hlm. 1106," pungkasnya. [] Alfia Purwanti