TintaSiyasi.id -- Pada masa awal reformasi tuntutan kaum pergerakan agar negara membangun kembali industri melalui agenda Industrialisasi nasional telah menggema. Dasar tuntutan ini jelas, Indonesia sangat kaya akan sumber daya alam. Dengan modal ini maka dapat dibangun industri yang pengolahan yang seluas luasnya, mulai dari pengolahan hasil-hasil pertanian, perikanan, kehutanan, pertambangan, energi serta seluruh komoditas yang ada. Inilah stategi dasar memutus rantai ekonomi kolonial.
Mengapa? Selama ratusan tahun Indonesia diletakkan sebagai penyedia bahan mentah dalam rantai perdagangan global. Investor asing menguasai SDA, mengekspor bahan mentah besar besaran, menempatkan devisa hasil ekspor di luar negeri. Para analis menyebutnya sebagi investment colonial model, atau model investasi seperti jaman penjajahan dulu.
Kondisi ini berlanjut di zaman reformasi, bahkan keadaan industri nasional makin parah. Indonesia mengalami de Industrialisasi yakni penurunan kontribusi sektor industri terhadap ekonomi (Produk Domestik Bruto) yang menurun secara terus menerus dan berlangsung dalam dua dekade. Akibatnya luas, kesempatan kerja menjadi sedikit, pendspatan negara dalam tax revenue menurun dari di atas 21 persen menjadi hanya kurang 10 persen dari PDB. Padahal jumlah SDA yang diekspor tidak berkurang, bahkan bertambah ratusan persen.
Desakan bagi Industrialisi nasional mendapatkan mementum dengan disyahkan Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. UU ini mewajibkan kepada semua perusahaan dalam sektor pertambangan mineral untuk melakulan pengolahan di dalam negeri. Caranya dengan membangun smelter dan hasilnya dapat diekspor. Larangan ekspor bahan mentah dilakukan. Banyak perusahaan tambang tutup karena tidak sanggup. Mungkin cara mendapatkan ijin tambang nya kurang benar.
Pemerintah memberi kesempatan bagi perusahaan melalukan ekspor melalui relaksasi, dengan pertimbangan bahwa perusahaan memperlihatkan progres mereka dalam membangun smelter. Namun ada juga perusahaan yang tidak membangun smelter dengan alasan macam macam. Mereka juga terus melakukan penambangan. Namun peraturan harus tetap ditegakkan. Jika aktifitas mereka melanggar UU maka tentulah itu adalah perbuatan pidana, ekspor mereka ilegal, uang mereka adalah uang kotor.
Sebentar lagi pemerintahan baru akan terbentuk. Prabowo Gibran datang dengan program prioritas hilirisasi sumber daya alam. Program ini adalah memperkuat yang sudah ada dalam UU Minerba. Prabowo Gibran akan memperluasnya, tidak hanya di sektor minerba, namun lebih luas lagi meliputi 21 komoditas sumber daya alam strategis yang diproduksi Indonesia. Semuanya tidak boleh diekspor dalam bentuk bahan mentah, namun harus diolah menjadi produk yang bernilai tambah tinggi.
Sumbawa Barat Satu yang Berhasil
Tambang emas Batu Hijau sumbawa barat patut menjadi contoh sukses usaha serius membangun industri pengolahan emas. Tambang emas terbesar di Indonesia ini dulu dikuasai oleh Newmont Corp sebuah perusahaan tambang asal Amrika Serikat. Melalui proses yang panjang sekarang tambang ini telah berpindah ke tangan swasta nasional. Terakhir dimiliki oleh PT Amman Mineral Internasional (AMI) anak perusahaan Medco (tahun 2016).
Sejak saat itu proses pemangunan smelter mulai serius, didukung oleh regulasi, dukungan perbankkan serta sektor keuangan nasional, investasi smelter mulai berjalan. Senilai 1,6 miliar dolar atau sekitar 25 triliun rupiah uang dibawa ke Sumbawa Barat, sebuah kabupaten dengan penduduk kurang lebih 100 ribu jiwa. Investasi yang sangat besar untuk ukuran wilayah di luar Jawa dan investasi tersebut adalah investasi untuk membangun industri pengolahan, bukan sekedar mengeruk SDA.
Sangat besar uang yang telah diinvestasikan dalam usaha ini. Investasi membangun smelter memang mahal, itulah tujuan dari UU Minerba yakni menyatakan bahwa kekayaan alam Indonesia memang mahal dan pantas diperlakukan secara mahal, dengan investasi dalam industri pengolahanya. Ini akan memperluas manfaat langsung dan manfaat tidak langsung pertambangan terhadap perekonomian nasional dan perekonomian daerah.
Tahun 2025 nanti smelter ini akan mulai beroperasi, menghasilkan jutaan gram emas batangan, membuktikan bahwa hilirisasi tambang dapat dilakukan dengan dukungan regulasi dan kebijakan yang baik, dukungan kuat dari perbankkan dan sektor keuangan nasional. Pencapaian ini menginspirasi semua pihak, meyakinkan semua stakeholder bahwa hilirisasi SDA itu bukan omon omon. _Dari pada curang, ekspor secara SDA secara ilegal, lalu menghasilkan uang kotor, nanti sampean susah sendiri, lebih baik taat hukum saja Bos. []
Oleh: Salamuddin Daeng
Ketua Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia