Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Marak Anak Durhaka, Pertanda Apa?

Rabu, 03 Juli 2024 | 21:43 WIB Last Updated 2024-07-03T14:43:52Z
TintaSiyasi.id -- Istilah anak durhaka dikenal oleh masyarakat sedari dulu. Istilah ini disematkan untuk anak-anak yang tidak menurut dan mendengar apa kata orang tua khsusunya ibu. Bahkan istilah ini turut hadir dan disajikan dalam buku cerita rakyat dan terkenal dengan nama malin kundang. Cerita malin kundang adalah cerita anak laki-laki yang sukses merantau namun tidak mengakui sang ibu. Akhir dari cerita ini adalah dikutuknya sang anak menjadi batu. Lalu bagaimana dengan fenomena maraknya anak durhaka hari ini? Pertanda apa sebenarnya?

Viral di sosial media, seorang pedagang ditemukan tewas di sebuah toko perabot kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur. Hasil penyelidikan polisi, pelaku dibunuh oleh dua anak kandungnya sendiri yakni anak berinisial K masih berusia 17 tahun, sementara P berumur 16 tahun. Alasan mereka membunuh karena sakit hati karena ayahnya, karena mereka mencuri uang ayahnya (liputan6.com, 23/6/2024).  

Begitu juga kasus pembunuhan yang dilakukan seorang anak di Pesisir Barat, Lampung, terhadap orang tuanya ternyata berawal dari permintaan korban untuk dibantu diantarkan ke kamar mandi. Remaja berusia 19 tahun kesal karena dimintai pertolongan untuk membopong orang tuanya yang stroke ke kamar mandi. Remaja berinisial SPA mengaku tega menghabisi ayahnya yang menderita stroke karena diminta membopong ayahnya ke kamar mandi (liputan6.com, 21/06/2024).

Kenyataan pahit buah penerapan sistem sekularisme-kapitalisme di tengah-tengah masyarakat. Pemisahan agama dari kehidupan serta mendewakan uang di atas segalanya membuat masyarakat buta akan rambu-rambu yang ada. Bahkan penerapan ini masuk hingga ke ranah pendidikan. Melihat pelaku kebanyakan remaja di usia belasan tahun dan sedang mencari jati diri maka menjadi pertanyaan tentang perilaku mereka terlebih kepada orangt tua mereka sendiri. 

Disadari atau tidak, fakta bahwa sekularisme-kapitalisme telah merusak dan merobohkan pandangan mengenai keluarga. Sekularisme melahirkan manusia-manusia miskin iman yang tidak mampu mengontrol emosinya, rapuh dan kosong jiwanya. Kapitalisme menjadikan materi sebagai tujuan, abai pada keharusan untuk birrul walidain. 

Perlu digarisbawahi bahwa sistem pendidikan sekuler jelas tidak mendidik agar memahami birul walidain. Sehingga lahirlah generasi rusak dan sudah pasti rusak pula hubungannya dengan Allah SWT. Selain itu, penerapan sistem hidup kapitalisme nyatanya gagal memanusiakan manusia. Fitrah dan akal tidak terpelihara sehingga menjauhkan manusia dari tujuan penciptaannya yaitu sebagai hamba dan khalifah pembawa rahmat bagi alam semesta. Maka lahirlah generasi rusak dan merusak. 

Bertolak belakang sekali dengan sistem yang lahir langsung dari Sang Pencipta yakni sistem Islam. Sistem Islam nyatanya mengatur banyak aspek sehingga tidak hanya berfokus pada ibadah semata. Bahkan, Islam mendidik generasi menjadi generasi yang memiliki kepribadian Islam, yang akan berbakti dan hormat pada orang tuanya, dan memiliki kemampuan dalam mengendalikan emosi. 

Islam memiliki mekanisme dalam menjauhkan generasi dari kemaksiatan dan tindak kriminal. Juga menegakkan sistem sanksi yang menjerakan sehingga dapat mencegah semua bentuk kejahatan termaasuk kekerasan anak pada orangtua. Sanksi yang diberikan turut disaksikan oleh masyarakat sehingga ini merupakan suatu bentuk peringatan agar tidak ada  lagi anak anak yang berani melakukan tindak kekerasan pada orang tuanya.[]

Oleh: Huda Reema Naayla
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

Opini

×
Berita Terbaru Update