Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Fenomena Dokter Asing Menguatkan Kapitalisasi di Bidang Kesehatan

Kamis, 11 Juli 2024 | 07:41 WIB Last Updated 2024-07-11T00:42:09Z
Tintasiyasi.id.com -- Bukan rahasia lagi bahwa pendidikan dokter adalah proses pendidikan yang sulit, lama, juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Jika diperhatikan, PTN di Indonesia dengan jurusan kedokteran merupakan jurusan favorit dan tentu saja dengan biaya kuliah yang tidak murah.

Besarnya biaya pendidikan pada jenjang S1 kedokteran ini merupakan masalah klasik. Padahal, ini belum termasuk biaya program profesi (koasisten), pendidikan dokter spesialis dan subspesialis. Sebab inilah pada akhirnya masyarakat yang berasal dari kalangan atas saja yang mampu menempuh pendidikan dokter.

Akibatnya, besarnya biaya pendidikan dokter malah menjadi penghambat dihasilkannya dokter-dokter dalam waktu yang lebih singkat dengan kualitas yang memadai.

Hal ini menjadi ironi, pasalnya sektor pendidikan hanya dapat diakses oleh orang-orang tertentu, dan ini menunjukkan adanya kapitalisasi di bidang pendidikan.

Mirisnya lagi, kebutuhan rakyat akan dokter menjadi lambat untuk dipenuhi. Dalam hal ini pemerintah tampaknya malah berupaya memenuhi kebutuhan rakyat akan dokter dengan mendatangkan dokter asing.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan tujuan didatangkannya dokter-dokter asing ke Indonesia bukanlah untuk menyaingi dokter-dokter lokal. Hal ini disebabkan karena Indonesia masih kekurangan tenaga spesialis, dan yang paling banyak kosong adalah dokter gigi.

Menkes mengakui bahwa kebijakan tersebut belumlah sepenuhnya diterima oleh sejumlah pihak yang mengaitkan hal itu dengan kualitas layanan dokter asing dan domestik (Antaranews.com, 03/07/2024).

Budi Santoso selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) yang secara lantang menolak adanya rencana pemerintah untuk mendatangkan dokter asing, dicopot dari jabatannya. Saat dikonfirmasi apakah hal itu berkaitan dengan pernyataan dirinya yang menolak program dokter asing di Indonesia, beliau membenarkan hal itu (Kompas.tv, 04/07/2024).

Gedung Fakultas Kedokteran (FK) Kampus A Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, kebanjiran karangan bunga bernada dukungan untuk dr. Budi Santoso. Setidaknya ada 30 lebih rangkaian bunga yang terpampang di depan gedung FK Unair dan seluruhnya, bernada dukungan untuk beliau, “Turut berduka cita atas hilangnya demokrasi di dunia pendidikan #saveProfBus #untukIndonesiasehat Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa FK Universitas Airlangga,” tulisan di salah satu karangan bunga (CNNIndonesia.com, 04/07/2024).

Keberadaan dokter asing untuk memenuhi kekurangan dokter lokal menjadi sorotan di tengah liberalisasi kesehatan yang berakibat pada mahalnya biaya kesehatan dan dapat berpotensi merugikan rakyat maupun dokter lokal.

Sementara itu, kualitas pelayanan yang disediakan juga belum tentu terjamin, atau bahkan menjadi taruhan sebab ini bergantung dengan tingkat kemampuan masyarakat dalam membayar biaya kesehatan.

Jika kita amati, negara dalam sistem Islam menjadikan sektor kesehatan sebagai kebutuhan pokok yang menjadi beban negara sehingga dapat dijangkau oleh setiap individu dengan gratis dan juga dalam menyelesaikan persoalan kekurangan dokter akan diselesaikan secara komprehensif dan mendasar dengan dukungan keuangan negara.

Dalam Islam, keberadaan dokter asing tidaklah menjadi masalah. Sebab, asas yang digunakan dalam perekrutan dokter bukanlah asas liberal sebagaimana kapitalisme.

Walaupun demikian, negara Islam atau Khilafah, harus memegang kendali penuh atas kebijakan untuk mengatur urusan perekrutan dokter asing, sehingga keberadaannya tidak akan menimbulkan problematika dalam negara.

Hal ini kuat hubungannya dengan langkah Khilafah dalam meletakkan posisi kesehatan sebagai sektor publik yang mudah diakses oleh seluruh masyarakat tanpa terkecuali, sehingga mekanisme pengelolaannya pun juga sebagaimana fasilitas umum.

Di dalam Khilafah, diharamkan adanya paradigma bisnis dalam pengelolaan kesehatan. Sebab, sektor kesehatan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi oleh negara untuk rakyatnya dan haram hukumnya untuk dikapitalisasi atau diliberalisasi.

Negara wajib bertanggung jawab secara penuh dalam penyelenggara dan pembiayaan kesehatan bagi masyarakat, maka tidak pantas jika penguasa abai dalam hal ini.

Dalam sebuah hadis Rasulullah saw. pernah bersabda, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR. Muslim dan Ahmad).

Di sisi lain, para dokter muslim hendaknya juga menjadi agen perubahan dalam mewujudkan paradigma kehidupan bernegara yang sahih sesuai dengan tuntunan Islam. Tentu saja para dokter di sini diberikan fasilitas oleh negara untuk terus meningkatkan kualitas keilmuannya dengan disediakannya oleh negara sistem pendidikan ilmu-ilmu kedokteran dan kesehatan yang kondusif dan tepat guna.

Bukan itu saja, negara juga wajib meningkatkan kualitas layanan kesehatan yang memadai, mengingat kebutuhan masyarakat akan kesehatan sangat tinggi.

Bahkan, di sini negara memiliki kewajiban secara gratis menyediakan pendidikan dokter sebagaimana sistem pendidikan pada umumnya. Sehingga negara akan fokus pada pemberdayaan SDM dokter di dalam negeri sebelum merekrut dokter asing.

Sungguh, masa kejayaan Islam terbukti mampu melahirkan dokter-dokter hebat yang ilmunya hingga detik ini masih dapat kita manfaatkan, sebut saja Ibnu Sina, Ar-Razi, dan Az-Zahrawi. Selain itu, sistem Islam (Khilafah) juga telah terbukti dapat menyediakan fasilitas kesehatan terbaik dan gratis sehingga tidak menzalimi rakyat seperti hari ini.

Untuk itu, marilah bersegera memperjuangkan tegaknya Islam, agar Allah menurunkan rahmat-Nya dari langit dan bumi. Wallahualam bishshawwab.[]

Oleh: Sari Ramdani, S.Pd.
(Aktivis Muslimah)

Opini

×
Berita Terbaru Update