Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Dua Alasan Inilah Peristiwa Hijrahnya Nabi SAW dikatakan Pemisah antara Haq dengan Batil

Kamis, 11 Juli 2024 | 19:08 WIB Last Updated 2024-07-11T12:09:27Z
TintaSiyasi.com -- Pakar Fiqih Kontemporer K.H. M. Shiddiq Al Jawi menjelaskan setidaknya ada dua alasan penting mengapa peristiwa hijrahnya Nabi SAW yang dijadikan sebagai penanggalan awal islami, dikatakan oleh Khalifah Umar sebagai pemisah atau pembeda antara yang haq dengan yang batil.

"Peristiwa hijrahnya Nabi SAW dijadikan oleh Khalifah Umar sebagai awal penanggalan Islami, karena hijrahnya Nabi SAW itu menurut Khalifah Umar, membedakan yang hak dengan yang batil.” (farraqa bayna al-haq wa al-bathil). (Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 42/178). Jika kita mendalami lebih jauh perkataan Umar, mengapa peristiwa hijrahnya Nabi SAW itu dianggap oleh Khalifah Umar sebagai pemisah atau pembeda antara yang haq dengan yang batil, setidak-tidaknya ada 2 (dua) alasan," ungkapnya kepada Tintasiyasi.Id, Sabtu (6/7/2024). 

Pertama, karena dengan hijrahnya Nabi SAW, terbukti dengan jelas bahwa Islam itu mempunyai konsep kekuasaan atau kenegaraan. "Mengapa demikian? Karena para ulama, mendefinisikan hijrah sebagai berpindah atau keluar dari Darul Kufur menuju Darul Islam (al-intiqāl min dār al-kufri ilā dār al-islām). (Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 42/177; Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 2/267)," jelasnya.

Terkait istilah Darul Islam, atau khilafah, atau Imamah, ia mengatakan hal itu merupakan tiga terminologi kunci dalam fiqih klasik, yang menurut Syekh Wahbah Az-Zuhaili, identik atau sinonim dengan kata Al-Dawlah Al-Islamiyyah (negara Islam/Islamic State) dalam bahasa Arab moderen. (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz IX (Al-Mustadrak), hlm. 823). 

"Darul Islam ini akhirnya juga identik dengan dua istilah lain yang akrab dijumpai dalam kitab-kitab fiqih Islam, yaitu imamah dan khilafah. Inilah bagian dari ajaran Islam yang bertugas menerapkan Syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) (QS Al-Baqarah: 208), sebagai peraturan yang terbaik bagi manusia (Q.S. Al-Ma'idah: 50) yang akan menjadi rahmat bagi seluruh alam (Q.S. Al-Anbiya`: 21)," ujarnya.

Ia mengutip perkaataan Syekh Wahbah Az-Zuhaili :

كانت الهجرة النبوية الى المدينة المنورة (يثرب) وما سبقها من بيعتي العقبة أساسا في نشأة أو تكوين الدولة الإسلامية أو دار الإسلام في اصطلاح فقهائنا...

“Hijrahnya Nabi SAW menuju Al-Madinah Al-Munawwarah (Yatsrib) dan peristiwa sebelumnya, yaitu Baiat Aqabah Pertama dan Baiat Aqabah Kedua, merupakan asas dalam kelahiran atau pembentukan negara Islam (Al-Dawlah Al-Islamiyyah), atau Darul Islam, menurut istilah yang ada di kalangan fuqoha` kita." (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz IX (Al-Mustadrak), hlm. 823).

"Dengan adanya konsep kenegaraan yang dimiliki oleh Islam ini, berarti Islam tidak sama dengan agama-agama lain seperti agama Kristen dan Yahudi, yang memang tidak mempunyai konsep kenegaraan atau politik. Agama Kristen dan Yahudi serta agama-agama lain, hanyalah agama yang bersifat spiritual, namun tidak berkaitan dengan politik," jelasnya.  

Kedua, karena dengan hijrahnya Nabi SAW, dan setelah Nabi SAW menjadi pemimpin di Madinah, terbukti dengan jelas Nabi Muhammad mempunyai 2 (dua) kedudukan (fungsi) sekaligus, yaitu fungsi kenabian/kerasulan dan fungsi kepemimpinan.

Syekh Abdul Qadim Zallum menjelaskan dua kedudukan Nabi Muhammad SAW tersebut sebagai berikut :

فَكَانَ يَتَوَلَّى مَنْصِبَ النُّبوَّةِ والرِّسالَةِ وَكَانَ فِي نَفْسِ الوَقْتِ يَتَوَلَّى مَنْصِبَ رِئاسَةِ المُسْلِمِينَ فِي إِقامَةِ أَحْكامِ الإِسْلامِ

”Nabi SAW itu dahulu [setelah hijrah] memegang kedudukan kenabian dan kerasulan (manshib al-nubuwwah wa al-risâlah), dan pada waktu yang sama Nabi SAW memegang kedudukan kepemimpinan (manshib al-ri`âsah) bagi kaum muslimin untuk menegakkan hukum-hukum Islam.” (Abdul Qadim Zallum, Nizhâm Al-Hukm fî Al-Islâm, hlm. 116-117).

Lebih lanjut dia menjelaskan, kedudukan Nabi SAW sebagai pemimpin umat ini (manshib al-ri`âsah) terwujud setelah beliau berhijrah ke Madinah dan kemudian memimpin umat Islam sebagai imam pertama untuk mengatur segala aspek kehidupan berdasarkan Islam. Kedudukan ini menambah kedudukan yang sudah ada sebelumnya, yaitu kedudukan sebagai nabi/rasul (manshib al-nubuwwah wa al-risâlah) untuk menyampaikan wahyu Allah kepada manusia, yang terwujud sejak Nabi SAW diangkat sebagai nabi atau rasul oleh Allah SAW di Makkah, sebelum beliau berhijrah.

"Nah, ketika Nabi SAW wafat, kedudukan kenabian dan kerasulan (manshib al-nubuwwah wa al-risâlah) berhenti, jadi wahyu dan nabi tak akan ada lagi. Namun kedudukan kepemimpinan (manshib al-ri`âsah) sebagai kepala negara, tetap berlanjut dengan dilanjutkan oleh para khalifah," tuturnya.

Jadi, lanjutnya, ketika para khalifah itu menggantikan Nabi SAW, mereka hanyalah meneruskan kedudukan kedua Nabi SAW, yaitu kedudukan sebagai pemimpin, bukan meneruskan kedudukan pertama Nabi SAW sebagai nabi untuk menerima wahyu, karena wahyu tidak turun lagi.

Dalam sebuah hadis shahih, Nabi SAW bersabda :

كَانَتْ بَنُو إسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأنْبِيَاءُ، كُلَّما هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وإنَّه لا نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ

”Dahulu Bani Israil dipimpin dan diatur segala urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, dia digantikan nabi lainnya. Dan sesungguhnya tak ada lagi nabi sesudahku, yang ada adalah para khalifah dan jumlah mereka akan banyak…” (HR. Muslim, no. 1842).

Ia menjelaskan hadis Nabi SAW tersebut dengan jelas menunjukkan. Pertama,  tidak ada nabi lagi setelah Nabi SAW meninggal. Ini artinya, kedudukan pertama bagi Nabi SAW, yaitu kedudukan kenabian dan kerasulan (manshib al-nubuwwah wa al-risâlah) dengan mendapat wahyu langsung dari Allah, telah berakhir dengan wafatnya Nabi SAW.

"Kedua, akan ada khalifah-khalifah setelah wafatnya Nabi SAW. Ini artinya, kedudukan kedua bagi Nabi SAW, yaitu kedudukan kepemimpinan (manshib al-ri`âsah), tidaklah berakhir, melainkan digantikan dan diteruskan oleh para khalifah setelah wafatnya Nabi SAW," ungkapnya.

Ia memaparkan, para pemimpin umat penerus Nabi SAW dalam fungsi kepemimpinan (manshib al-ri`âsah) ini, disebut dengan istilah khalifah, sedangkan sistem pemerintahannya, atau negaranya, disebut dengan khilafah. Inilah khilafah, atau istilah lainnya imamah, atau Darul Islam, yang memang ajaran asli dari Islam, yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan kemudian dilanjutkan oleh para khalifah, yaitu Abu Bakar Shiddiq, Umar, Utsman, Ali, hingga Khalifah yang terakhir, yaitu Sultan Abdul Majid II, yang dilengserkan secara paksa oleh Mustafa Kamal yang murtad pada 3 Maret 1924 di Turki.

"Dengan dua kedudukan atau fungsi yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW tersebut, yaitu fungsi kenabian/kerasulan dan sekaligus fungsi kepemimpinan, jelas sekali ini akan berbeda dengan nabi-nabi lain, seperti Nabi Isa AS, nabi Musa AS, yang hanya terbatas mempunyai kedudukan kenabian dan kerasulan (manshib al-nubuwwah wa al-risâlah), namun tidak mempunyai kedudukan kepemimpinan (manshib al-ri`âsah)," tandasnya.[] Tenira

Opini

×
Berita Terbaru Update