Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Politik Transaksional Adalah Keniscayaan dalam Demokrasi

Jumat, 28 Juni 2024 | 08:55 WIB Last Updated 2024-06-28T01:56:01Z

TintaSiyasi.id -- Sejumlah pendukung presiden terpilih Prabowo Subianto mulai ditempatkan di jajaran petinggi BUMN, mengulangi praktik yang kerap terjadi pada dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pengamat dan aktivis menilai “politik balas budi” semacam ini bisa merongrong kinerja BUMN dan akhirnya merugikan negara (bbc.com, 14/06/2024).
Politik transaksional adalah “wahana” korupsi yang “menyegarkan” bagi politikus yang korup dan ini adalah sebuah keniscayaan dalam sistem demokrasi. Kini sudah dimulai bagi-bagi jabatan karena balas budi.

Jelas saja pemilu dalam demokrasi membutuhkan ongkos politik yang sangat mahal. Para elite pendukung paslon yang mengucurkan dana tentu akan meminta balas budi. “No free lunch” adalah hal lumrah yang terjadi dalam politik transaksional. Sehingga ketika paslon menang, maka masing-masing pendukung menuntut bagiannya.

Jabatan komisaris adalah jabatan yang menggiurkan karena “lahannya yang basah”. Penghasilan anggota dewan komisaris BUMN bisa mencakup honorarium, tunjangan, fasilitas, tantiem atau insentif kinerja/khusus, dan insentif jangka panjang.

Parahnya, relawan atau pendukung presiden kerap ditunjuk jadi komisaris BUMN meski tidak memiliki kompetensi, kapasitas, atau latar belakang pendidikan yang sesuai. BUMN ini seolah-olah milik negara yang bisa dinikmati oleh rezim yang berkuasa dan pendukung-pendukungnya. Seperti kue yang dibagi-bagi untuk merayakan hari kemenangan.

Demokrasi yang selama ini kita kenal sebagai “pemimpin” yang baik, selalu menawarkan kedaulatan rakyat, kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, pengambilan keputusan yang melibatkan masyarakat ternyata hanya ilusi.
Demokrasi hidup bersama dengan kapitalisme. Kapitalisme menekankan hidup individualis. Mementingkan kepentingan para kapital. Politik hanya dilakukan untuk mengejar kepentingan individu dan ujung-ujungnya rakyat makin menderita dan terabaikan.

Demokrasi tidak menjamin kebenaran menang. Demokrasi juga tidak menjamin stabilitas. Para pemilik modal dan kekuatan yang sangat bersuka cita dengan demokrasi. Karena demokrasi memberi mereka “space” seluas-luasnya untuk melakukan apa yang mereka suka demi memperkaya diri mereka dari arah mana saja.

Mahalnya ongkos demokrasi juga menjadi pemicu para paslon mencari donatur. Setelah menang, maka mereka wajib membayar apa yang selama ini donatur sumbangkan. Bisa didudukkan dalam kursi kementerian. Bisa juga menempatkan mereka menjadi dewan komisaris untuk BUMN (Sepertinya BUMN ini milik penguasa bukan lagi milik rakyat, pen.). Atau tarik-menarik undang-undang sesuai dengan kepentingan mereka. Apa saja mereka lakukan tanpa memandang yang halal dan yang haram.


Kekuasaan Adalah Amanah

Apa yang hari ini kita saksikan bersama terkait bagi-bagi kursi komisaris dan transaksi politik lainnya, maka jelas ternyata sistem demokrasi kapitalis yang diemban negeri ini menumbuh suburkan kecurangan dan pengkhianatan terhadap rakyat.

Tidak perlu kita berharap kepada demokrasi. Karena sejati hanya dialah yang membuka lebar “kran” pengkhianatan itu. Karena demokrasi telah dimenangkan dari mereka yang mempunyai modal atau pengusaha, bukan rakyat jelata.

Seluruh sumber kekayaan alam adalah milik umat secara keseluruhan, bukan sekelompok orang di daerah tertentu. Alam adalah anugerah dari Allah untuk umatnya. Karena itu tidak boleh dikuasai oleh individu dan seluruh sumber kekayaan alam yang mencakup hajat hidup orang banyak bukan milik negara, apalagi milik individu, melainkan milik umat. Maka pengelolaannya pun harus sesuai syariat, yakni negara hanya bertugas mengelola milik umat untuk didistribusikan ke seluruh umat secara merata. Bukan untuk dibagi-bagi penguasa kepada tim suksesnya.

Kekuasaan adalah amanah dari Allah. Sehingga harusnya penguasa itu harus benar-benar menjaga amanahnya. Karena Allah akan menghisab amanah itu apakah sudah dijalankan sesuai syariah atau tidak. Apakah sudah adil atau bahkan zalim. Maka setiap penguasa harusnya memiliki ketakwaan individu yang kuat sehingga mereka takut untuk sengaja melakukan kecurangan dan kezaliman kepada rakyatnya sendiri.

Pemilu dalam Islam pun tidak membutuhkan ongkos politik yang mahal, sehingga tidak diperlukan dan bahkan tidak dibenarkan para pendukung memberikan dananya kepada calon pemimpin. Karena dikhawatirkan penguasa nantinya tidak akan bisa berbuat independen dan malah condong kepada para pemilik modal tersebut sehingga dimungkinkan berbuat tidak adil dan zalim.

Sangat besar pertanggungjawaban kepemimpinan di akhirat kelak membuat para penguasa takut menyelewengkan kekuasaan. Sehingga tidak kita jumpai dalam Islam praktik politik transaksional yang notabenenya selalu terjadi dalam sistem demokrasi kapitalis. Wallahu a'lam bishshawab. []


Endah Sefria, S.E.
Praktisi Ekonomi

Opini

×
Berita Terbaru Update