TintaSiyasi.com -- Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yuasanto menjelaskan, bahwa yang terjadi sekarang ini bahwa paradigma negara yang seharusnya menjadi pelayan rakyat telah menjadi pihak yang harus diuntungkan dari kegiatan kepada rakyat.
"Yang terjadi sekarang oleh karena pergeseran paradigma bahwa negara itu mestinya menjadi pelayan rakyat, sekarang meletakkan diri sebagai pihak yang harus diuntungkan dari kegiatan kepada rakyat," ujar UIY sapaan akrabnya di YouTube UIY Official yang bertajuk Setelah Diprotes, UKT Batal Naik Tahun Ini! Bukti Negara Kapitalistik!, Rabu (29/5/2024).
UIY memberi contoh, seperti misalnya jalan. Makin banyak jalan tol, rakyat terus membayar tujuannya untuk mengembalikan investasi. Tetapi begitu investasi sudah dikembalikan, faktanya masih diperlukan untuk investasi berikutnya.
"Akhirnya tidak pernah ada layanan yang bisa diberikan. Kesehatan juga begitu, lalu pendidikan dan sebagainya. Nah, itulah yang sekarang ini kita bisa tengarai ada pergeseran yang sangat mendasar dari apa yang disebut sebagai negara. Kalau dalam bahasa syariahnya negara riayah menjadi negara jibayah. Dari negara yang mengurusi kepentingan atau urusan rakyat menjadi negara yang memungut, memalak rakyat dengan aneka bentuknya. Lalu PPN naik, kemudian harga barang-barang naik," terangnya.
Dia menjelaskan, ketika PPN naik, maka akan memukul sekian banyak hal, karena konsumen pasti akan menanggung seluruh pajak-pajak, seperti beras, ada pajak untuk angkutan, pajak untuk pemrosesan sampai pada pajak penjualannya dan hal tersebutlah yang kemudian akhirnya membuat beban rakyat semakin hari makin besar.
Ironi
"Satu Ironi soal spending alokasi anggaran yang kemudian sekarang banyak dilarikan kepada proyek-proyek mercusuar yang tidak bersentuhan langsung dengan pengembangan SDM, kereta cepat, IKN dan sebagainya. Sementara, sumber penghasilan negara yang semestinya itu bisa di efektifkan untuk usaha rakyat justru dilepas kepada korporasi," bebernya.
UIY melihat, bagaimana pengelolaan sumber daya alam batu bara yang jika menurut Undang-Undang Minerba tahun 2009 bahwa 380.000 hektar dikembalikan kepada negara. Sekarang mulai Undang-Undang Minerba tahun 2020 justru dilepas kepada tujuh perusahaan.
"Kalau di situ ada potensi, kalau dengan harga Rp300.000 atau 350 US dolar per ton, itu bisa sampai Rp65.000 triliun itu. Itu baru batu bara, belum nikel, belum emas, belum yang lain-lainnya. Sebenarnya negara ini memiliki sumber daya ekonomi luar biasa untuk bisa memberikan kesehatan bagi rakyat dalam berbagai aspek penting seperti soal pendidikan juga kesehatan, tetapi ini semua luput," sesalnya.
UIY melanjutkan, jadi satu sisi anggaran yang ada di proyek-proyek mercusuar. Di sisi lain sumber daya ekonomi diberikan kepada swasta. Lalu pungutan kepada rakyat dinaikkan.
"Ini bahaya juga negara kapitalistik. Negara kapitalistik yang makin hari itu makin menampakkan wujudnya sebagai corporated state, negara korporasi. Negara korporasi itu adalah negara yang dihela oleh persekutuan jahat antara penguasa dan pengusaha, peng-peng itu. Keputusan politik tidak dilahirkan untuk kepentingan rakyat seperti perubahan Undang-Undang Minerba, keputusan Undang-Undang kesehatan dan sebagainya itu, tapi untuk kepentingan pengusaha. Nah, siapa yang menjadi korban? Rakyat dan ini sekarang terjadi," pungkasnya.[] Nabila Zidane