Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Judi Online "Menyala": Perspektif Hukum Agama dan Negara

Kamis, 27 Juni 2024 | 06:57 WIB Last Updated 2024-06-27T00:06:49Z
TintaSiyasi.id -- Indonesia surga judi online (judol). Tempat subur bandar judol memanen mangsanya. Promosi permainan ilegal itu menyusup ke ribuan situs pemerintahan hingga lembaga pendidikan. Pun iklannya mengepung media sosial dengan model influencer dan artis.

Realitasnya, judol sangat sulit diberantas. Mati satu tumbuh seribu. Satu diblokir atau ditangkap, tumbuh jutaan bebotoh lainnya. Jumlah kasus dan tersangka yang ditangkap Mabes Polri terus bertambah tiap tahun. Pun uang taruhan yang digunakan pelakunya. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat, sepanjang 2023 mencapai Rp 327 triliun.

Candu judol merusak hidup. Judol menyebabkan 1.191 rumah tangga pada 2023 berujung perceraian, terjerat lingkaran setan utang pinjaman online (pinjol), hingga bunuh diri karena utang. Belum lagi data pribadi pelaku judol kerap diperjualbelikan untuk memperluas jangkauan konsumen (detik.com). 

Bisa dikatakan, kini Indonesia darurat judol. Jumlah pelaku, bandar, uang taruhan yang terus bertambah hingga aktivitasnya sulit dihentikan, membuktikan ini bukan problem kasus per kasus tapi terkait sistem hidup yang melingkupi. Maka tak aneh bila judol marak di tengah penerapan sekularisme kapitalistik yang memang memiliki daya rusak.

Hukum Judol dalam Perspektif Agama dan Negara

Syariat Islam mengenal judi dengan sebutan maisir. Secara bahasa, maisir artinya mudah atau gampang. Sementara menurut istilah, maisir bermakna untung tanpa usaha.

Mengutip buku Filsafat Hukum Ekonomi Syariah oleh Moh. Mufid, maisir adalah kegiatan yang dilakukan oleh bangsa jahiliyah. Praktik maisir pada masa jahiliyah adalah taruhan mengadu nasib, di mana setiap pelaku maisir bertaruh untuk menjadi pemenang atau yang kalah. 

Judi termasuk judol diharamkan dalam Islam berdasarkan QS. Al Maidah: 90. Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung."

Adapun mudarat dari maisir diterangkan oleh Allah SWT dalam Surat Al Maidah: 91, "Sesungguhnya setan hanya bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu melalui minuman keras dan judi serta (bermaksud) menghalangi kamu dari mengingat Allah dan (melaksanakan) shalat, maka tidakkah kamu mau berhenti?"

Dikatakan bahwa judi tergolong perbuatan setan yang dapat menimbulkan permusuhan antarpelaku karena tak terima atas kerugian yang menimpa. Pun dengan kebencian yang mungkin muncul dan mengarahkan kerusakan. Praktik maisir juga membuat berpaling dari Allah SWT serta melupakan perintah-Nya.

Selain itu, judi juga dilarang oleh hukum negara (KUHP). Berdasarkan ketentuan pasal 303 KUHP, Jo. UU No.7 tahun 1974 tentang Penertiban Judi Jo. PP.No.9 tahun 1981 Jo. Instruksi Presiden dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.5, tanggal 1 April 1981.

Dalam rangka penertiban perjudian, pasal 303 KUHP tersebut dipertegas dengan UU No.7 1974, yang di dalam pasal 1, mengatur semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan. Di sini dapat dijelaskan bahwa semua bentuk judi tanpa izin adalah kejahatan tetapi sebelum tahun 1974 ada yang berbentuk kejahatan (pasal 303 KUHP), ada yang berbentuk pelanggaran (pasal 542 KUHP) dan sebutan pasal 542 KUHP, kemudian dengan adanya UU.No.7 1974 diubah menjadi pasal 303 bis KUHP.

Dalam pasal 2 ayat (1) UU. No.7 1974 hanya mengubah ancaman hukuman pasal 303 ayat (1) KUHP dari 8 bulan penjara atau denda setinggi-tingginya 90.000 rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya 10 tahun atau denda sebanyak-banyaknya 25 juta rupiah. Di dalam pasal 303 ayat (1)-1 Bis KUHP dan pasal 303 ayat (1)-2 Bis KUHP memperberat ancaman hukuman bagi mereka yang mempergunakan kesempatan, serta turut serta main judi, diperberat menjadi 4 tahun penjara atau denda setinggi-tingginya 10 juta rupiah dan ayat (2)-nya penjatuhan hukuman bagi mereka yang pernah dihukum penjara berjudi selama-lamanya 6 tahun atau denda setinggi-tingginya 15 juta rupiah.

Ironis. Meski secara eksplisit hukum menegaskan bahwa segala bentuk “judi” telah dilarang tegas dalam undang-undang, namun segala bentuk praktik perjudian menjadi diperbolehkan jika ada “izin” dari pemerintah. 

Perlu diketahui masyarakat bahwa judi  mengandung unsur; a) adanya pengharapan untuk menang, b) bersifat untung-untungan saja, c) ada insentif berupa hadiah bagi yang menang, dan d) pengharapan untuk menang semakin bertambah jika ada unsur kepintaran, kecerdasan dan ketangkasan.

Dan secara hukum orang yang dapat dihukum dalam perjudian ialah: 1) Orang atau Badan Hukum (Perusahaan) yang mengadakan atau memberi kesempatan main judi sebagai mata pencahariannya, dan juga bagi yang turut campur dalam perjudian (sebagai bagian penyelenggara judi) atau sebagai pemain judi. Mengenai tempat, tidak perlu di tempat umum walau tersembunyi. Tertutup tetap dapat dihukum; 

2) Orang atau Badan Hukum (Perusahaan) sengaja mengadakan atau memberi kesempatan untuk main judi kepada umum. Di sini tidak perlu atau tidak disyaratkan sebagai mata pencaharian, asal di tempat umum yang dapat dikunjungi orang banyak/umum dapat dihukum, kecuali ada izin dari pemerintah judi tersebut tidak dapat dihukum; 

3) Orang yang mata pencahariannya dari judi dapat dihukum ; 4) orang yang hanya ikut pada permainan judi yang bukan sebagai mata pencaharian juga tetap dapat dihukum. (vide pasal 303 bis KUHP).

Kalau mengacu pada Peraturan Pemerintah, pasal 1 PPRI No.9 tahun 1981 yang isi pokoknya melarang memberikan izin terhadap segala bentuk perjudian, baik dalam bentuk judi yang diselenggarakan di “kasino”,  di “keramaian” maupun dikaitkan dengan alasan lain, yang jika dikaitkan lagi dengan isi pasal 2 dari PPRI No.9 tahun 1981 yang intinya menghapuskan semua peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan PPRI No.9 tahun 1981 ini, khususnya yang memberikan izin terhadap segala bentuk perjudian, maka ini dapat berarti pasal 303 ayat (1) dan/atau pasal 303 bis KUHP tidak berlaku lagi.

Demikianlah, baik hukum agama dan negara, sama-sama melarang perjudian. Hanya saja pengaturan negara tentang “judi” nampak saling bertentangan. Di satu pihak UU No.7 tahun 1974 Jo. pasal 303 KUHP yang mengatur tentang “judi” bisa diberi izin oleh yang berwenang, di sisi lain bertentangan dengan aturan pelaksanaannya, yaitu PPRI No.9 tahun 1981, yang melarang “judi” (memberi izin) perjudian dengan segala bentuknya. Memang secara azas theory hukum, PPRI No.9 tahun 1981 tersebut dengan sendirinya batal demi hukum, karena bertentangan dengan peraturan yang di atasnya.

Atas dasar ini kepolisian hanya dapat menindak perjudian yang tidak memiliki izin, meski judi tersebut bertentangan dengan nilai-nilai seluruh agama yang dianut. Guna menghindari tindak anarkisme dari kalangan ormas keagamaan terhadap maraknya perjudian, seharusnya pemerintah bersama DPR tanggap dan segera membuat perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang “larangan praktik perjudian” yang lebih tegas, khususnya larangan pemberian izin judi di tempat umum dan pemukiman penduduk. Yang demikian juga agar kereligiusan masyarakat bisa terjaga.

Masyarakat Indonesia: Bangsa Religius tapi Gemar Judol

Menurut PPATK, transaksi judol di Indonesia selama tiga bulan, Januari-Maret 2024 telah mencapai Rp 100 triliun. Bila dijumlahkan dengan transaksi judol dari tahun-tahun sebelumnya, jumlahnya bisa mencapai Rp 600 triliun.

Kemenkominfo mengatakan ada 2,7 juta warga RI terlibat judol. Pemain judol mayoritas didominasi anak muda usia 17-20 tahun. Bahkan aparat penegak hukum (APH) pun ada yang ikut-ikutan. Kasus suami polisi yang dibakar istrinya yang juga polisi beberapa waktu lalu juga karena judol. Terbaru, seorang Perwira TNI diduga menggelapkan duit milik satuan Rp 876 juta buat judol. 

Mengapa masyarakat Indonesia yang notebene bangsa religius, gemar main judol? Pertama, pelaku judol lemah iman. Sehingga lepas keterikatannya pada hukum Allah. Sudah jelas judi haram hukumnya tapi tetap dilakukan. Tak lagi memiliki rasa malu dan takut pada Allah SWT. Ketika bermaksiat, mereka merasa Allah entah di mana, seolah tak melihat apa yang mereka lakukan. Padahal imanlah CCTV sejati. Pengendali dan pengontrol manusia menjalani aktivitas keseharian. 

Kedua, lemahnya kesadaran moral dan hukum. Bila iman telah terkikis, maka aspek moral akan menurun. Begitu pula kesadaran akan hukum yang berlaku. Bahkan tak khawatir mendapat hukuman/sanksi. Gelap mata gelap hati. Begitulah orang yang terkena candu judi.  

Ketiga, mudah tergiur hidup glamour dan mendapatkan kekayaan instan. Budaya hedonis berkembang dengan pesat. Terutama di kalangan anak muda. Ingin kaya tapi tak mau susah-susah bekerja. Judol jadi pilihannya. Ia sebagai harapan mendapatkan uang berlimpah. Padahal, mana ada orang kaya raya karena berjudi? Realitasnya justru menderita

Keempat, iklan judol gencar di media sosial. Dari Instagram hingga YouTube. Dipromosikan oleh artis hingga influencer. Secara alaminya, saat pesan disampaikan berulang-ulang akan menarik perhatian khalayak hingga tertarik untuk mencobanya. Apalagi penyedia judol "pandai" membuat cara promosi. Misalnya mengadakan games dengan live streaming di YouTube dan memberikan hadiah pada pemirsa. 

Kelima, kemiskinan dan sulitnya mendapat pekerjaan. Kemiskinan masih menjadi masalah utama negeri ini. Pada Maret 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin mencapai 25,9 juta orang atau sekitar 9,36%. Tapi di sisi lain, lapangan kerja sulit didapat. Jadilah judol sebagai kesempatan kerja untuk mencari uang dengan cara yang mudah. 

Keenam, diduga disokong oleh sejumlah kekuatan pihak yang berkuasa. Meski pemerintah mengaku telah memblokir jutaan situs judol, namun realitasnya penyedia judol terus ada. Diduga karena ada "backing-nya." Jurnalis Aiman Witjaksono dalam liputan investigasinya mengungkap sejumlah uang yang disetor konsorsium judol ke oknum polisi sebagai biaya untuk melindungi bisnis tersebut. Terkait kasus Ferdy Sambo, tersangka pembunuhan Brigadir J. (pikiran-rakyat.com, 21/10/2022). 

Ketujuh, sanksi hukum tidak tegas. Selama ini pelaku judol hanya dikenakan tindak pidana ringan (tiring). Misalnya dikurung sebulan lalu dikeluarkan. Bagaimana bisa memberikan efek jera?

Ya, penyedia judol begitu terfasilitasi di negeri ini. Penerapan sekularisme kapitalistik liberalistik di level individu, keluarga, masyarakat, hingga negara bikin hidup manusia jauh dari agama, cenderung bebas, hanya mencari kesenangan, dan meraih harta sebanyaknya dengan cara instan. Tak peduli agama, moral, dan hukum negara. 

Bila judol terus ada, dan jumlah pelaku sangat banyak, bahkan diduga melibatkan pihak berkuasa, maka ini tak lagi kasuistik. Tapi problem sistemis. Dengan kata lain, perilaku rakyat rusak akibat penerapan sistem hidup yang rusak.

Strategi Memberantas Judol dalam Masyarakat Beragama

Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk negeri ini secara jelas mengharamkan judol dan bentuk perjudian lainnya. Hukum negara juga melarangnya. 

Dampak negatifnya pun banyak. Dari candu yang bisa menurunkan produktivitas belajar atau bekerja, meningkatkan angka kriminalitas, hingga memicu perselisihan dan perceraian suami istri. Mengancam ketahanan keluarga dan masyarakat. Tak ada alasan membiarkan judol merajalela di negeri ini. 

Berikut strategi memberantas perjudian (judol) dalam masyarakat beragama, yang dilakukan sinergis oleh beberapa elemen. Pertama, individu. Mesti selalu menjaga (meningkatkan) iman dan takwa agar tidak mudah terpengaruh virus judol. 

Kedua, keluarga. Hal-hal yang bisa dilakukan dalam keluarga adalah; a) orang tua mendidik putra-putrinya berlandaskan iman dan taat pada aturan Allah SWT, b) orang tua mengarahkan anak agar menggunakan media sosial secara bijak, c) suami (ayah) menguatkan fungsi qawammah (kepemimpinan) dalam keluarga, salah satunya bertanggung jawab memberikan nafkah dari pekerjaan halal, d) membentuk relasi suami istri untuk saling bersabar dan bergaul secara makruf. 

Ketiga, masyarakat. Menguatkan fungsi kontrol, menjalankan amar makruf nahi mungkar. 

Keempat, negara. Sebagai pelindung dan pengatur urusan rakyat, negara berwenang memberantas judol hingga ke akar-akarnya. Negara bertugas; a) membina iman takwa masyarakat, memotivasi mencari harta dengan jalan halal, menjelaskan keharaman judol serta dampak buruknya bagi kehidupan, b) membuka lapangan pekerjaan khususnya bagi para laki-laki agar mampu menunaikan kewajiban menafkahi keluarga, c) memblokir situs dan konten-konten judol, d) memberikan sanksi tegas bagi pelaku, bandar judol, dan oknum aparat (penguasa) yang melindungi. 

Demikian strategi pemberantasan judol dalam masyarakat beragama. Namun strategi tersebut akan efektif bila dilakukan dalam masyarakat (negara) yang berdasarkan agama. Dalam hal ini Islam sebagai agama yang diyakini mayoritas penduduk di negeri ini. Selama negeri ini masih menganut sistem sekularisme, pemberantasan judol bak jauh panggang dari api. Karena sistem rusak inilah sumber dari segala malapetaka dan kejahatan di negeri ini.


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. dan Puspita Satyawati

Opini

×
Berita Terbaru Update