TintaSiyasi.id -- Ahli Fiqih Islam KH. Muhammad Shiddiq Al Jawi menyatakan, jumhur (mayoritas) ulama menyepakati ada empat sumber hukum. "Yang disepakati oleh jumhur ulama sebagai sumber hukum ada empat, yaitu Al-Qur'an, As-Sunah, Ijma (secara umum), kemudian Qiyas," ungkapnya, pada Edisi Special di Youtube Khilafah Channel Reborn: Ikhtilaf dalam Fiqih Islam, Jumat (17-5-2024).
Ia menyebutkan, ada empat sumber hukum yang mujma’alaih (terdapat ijma ulama) atau disepakati oleh jumhur ulama. Tetapi ada sumber-sumber hukum yang mukhtalaf fihi yaitu yang tidak disepakati dan terdapat ikhtilaf (perbedaan pendapat).
Menuritnya, ada ikhtilaf dalam hukum furuk atau hukum cabang yang disebabkan oleh kata-kata yang multi tafsir. Maka sumber hukum atau dalil syari juga terdapat perbedaan di kalangan para ulama baik ijma sahabat maupun ijma ulama mujtahidin selain sahabat.
“Tetapi ada Sebagian ulama yang secara khusus hanya mengambil ijma sahabat saja atau kesepakatan para sahabat nabi saja sebagai sumber hukum. Contohnya Imam Ahmad bin hambal kemudian Imam Ibnu Hiban,” jelasnya
Ia katakan, perbedaan pendapat ulama ini tidak hanya sekedar pada hukum akan tetapi sumber hukumnya, baik sumber hukum yang mukhtalaf fihi atau sumber hukum yang mujma’alaih.
Macam-Macam Ikhtilaf
“Macam-macam ikhtilaf fiqih ini secara garis besar ada yang muktabar kemudian ada ghoiru muktabar, yang muktabar itu artinya ikhtilaf fiqih yang memang ada dalilnya yang sahih, dalilnya disebut ikhtilaf fiqih yang mandub yang terpuji. Dan ada juga ikhtilaf fiqih yang tidak diperbolehkan seperti ikhtilaf fiqih yang ghairu muktabar yang ini tidak bersandar pada dalil Syari yang sahih atau disebut juga ikhtilaf fiqih yang mazmum yaitu yang tercela,” ungkapnya
Ia menuturkan, Menurut Syekh Abdul Aim Muhammad Al’Ajtol dalam kitabnya Asbabul Ikhtilaf Al Fiqih wa Whammiyatuhu, ia berikan contoh ini ikhtilaf fiqih yang dibolehkan. Dulu masa sahabat mereka masih bersama Rasul ketika Rasul masih hidup, ada sebagian pendapat mereka itu ikhtilaf atau perbedaan pendapat tetapi Rasul tidak mencelanya tapi membolehkannya.
“An Ibni Umar ra dalam hadis dari Ibnu Umar mengatakan qol nabiyu Sallallahu Alaihi wasallama Lana lamma raa Minal Ahzab. Jadi Ibnu Umar mengatakan nabi bersabda kepada kami ketika kami pulang dari perang Ahzab nabi bersabda _la yusollina ahadun Al Asro illa Fi Bani quraid._ Janganlah sekali-kali salah seorang dari kamu shalat Ashar kecuali di kampung Bani quraidah," terangnya.
“Ketika Nabi mengeluarkan perintah tadi janganlah ada sekali-kali dari kita yang shalat ashar kecuali sampai di kampung bani quraidah, sebagian sahabat ini ternyata melaksanakan salat ashar di jalan, sedang sebagian dari mereka lagi ada perbedaan pendapat, kita tidak akan salat ashar hingga kita sampai di kampungnya Bani quraidah,” urainya.
Kemudian Kiai Siddiq menyampaikan, hal itu disampaikan kepada nabi bahwa ternyata para sahabat ini tidak sepaham memahami perkataan nabi, ada yang memahami apa adanya ketika Nabi melarang salat ashar. Artinya salat asharnya tidak di situ kecuali di kampung itu yang harus diperangi. Tapi ada yang memahami maksudnya cepat bergegas shalat asharnya di jalan bukan di kampung Bani quraidah.
“Jadi ada yang salat ashar di jalan ada yang salat asharnya sudah masuk magrib. Sabda nabinya sama, ucapan nabi juga sama tetapi penafsirannya dari kalangan para sahabat ini beda. Maka setelah fakta ini disampaikan pada nabi, beliau tidak mencela salah satu dari mereka. Jadi, ini artinya nabi mendiamkan atau membolehkan ada perbedaan di kalangan para sahabat ,” pungkasnya. [] Riana