“Konsep toleransi yang selama ini dipropagandakan kepada umat Islam, sebenarnya adalah konsep toleransi liberal dari negara-negara Barat yang kafir, bukan konsep toleransi Islam yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunah,” lugas Kiai Shiddiq kepada TintaSiyasi.ID dalam tulisan berjudul Toleransi Islami vs Toleransi Liberal: Mengkritik Perayaan Natal Bersama Kemenag.
“Konsep toleransi yang berasal dari Eropa yang Kristen ini disebut dengan istilah toleransi liberal,” imbuhnya, Rabu (17/12/2025).
Ia
menyebutkan contoh konkret toleransi liberal misalnya Perayaan Natal Bersama
antara umat Kristiani dengan umat Islam yang baru-baru ini digagas oleh Menteri
Agama Prof. Nasarudin Umar.
“Konon
tujuannya adalah untuk mewujudkan toleransi beragama. Menteri Agama mengklaim
bahwa Perayaan Natal Bersama ini akan menjadi yang pertama kalinya sejak
Indonesia Merdeka,” ujarnya menyitat dari Kompas.com, 23 November 2025,
09:26 WIB.
Konsep toleransi
liberal itu sebenarnya tidak universal, ia menyebut yakni yidak berlaku untuk
semua manusia dan di semua waktu, melainkan konsep dengan konteks historis dan
sosiologis yang khusus dari masyarakat Eropa yang Kristen.
“Hal ini tidak
boleh dipaksakan kepada umat Islam yang mempunyai akidah Islam dan hukum-hukum
syariat yang sangat berbeda dengan masyarakat Eropa yang Kristiani. Jika konsep
toleransi ala Eropa ini dipaksakan kepada umat Islam, sebenarnya ini adalah
bentuk intoleransi Barat kepada umat Islam,” ujarnya.
“Bagaimana
mungkin Barat menawarkan konsep toleransi dengan cara yang intoleran?” katanya
dengan pertanyaan retoris.
Dan yang
lebih aneh lagi adalah konsep toleransi liberal ala Eropa ini, ternyata justru
diinisiasi dan dipelopori oleh seorang Muslim, bukan orang Kristen.
“Di negeri Muslim
terbesar di dunia Islam ini di Indonesia, bagaimana mungkin ada Muslim yang
justru mempropagandakan dan melaksanakan konsep toleransi liberal dari Barat?”
tandas Kiai Shiddiq.
Pengertian Toleransi
Kiai Shiddiq menerangkan makna dari segi bahasa
(etimologi) dan istilah (terminologi). “Secara etimologi
berasal dari bahasa Latin tolerare yang berarti
"menanggung", "menerima dengan sabar", atau
"membiarkan“,” terangnya mengutip dari https://id.wikipedia.org/wiki/Toleransi.
“Secara terminologi, toleransi dalam arti luas adalah
suatu perilaku atau sikap manusia yang "tidak menyimpang dari hukum yang
berlaku" di suatu negara, di mana seseorang menghormati atau menghargai
setiap tindakan yang dilakukan orang lain selama masih dalam batasan-batasan
tertentu,” sebutnya menyitat dari https://id.wikipedia.org/wiki/Toleransi.
Ia menambahkan, Muhammad Ahmad Mufti dalam kitab Naqd
Al-Tasāmuh Al-Librālī, hlm. 11, toleransi adalah sikap menahan diri dari
seseorang untuk tidak menggunakan kekuasaan atau otoritasnya untuk
mengintervensi pendapat atau perbuatan orang lain, padahal diketahui bahwa
pendapat atau perbuatan orang lain itu berbeda dengan pendapat atau perbuatan
orang tadi.
Kiai Shiddiq menutup penjelasan dengan menyebutkan
pendapat Prof. Muhammad Ahmad Mufti, seorang ahli fikih siyasah dari Arab
Saudi, dalam kitabnya Naqd Al-Tasāmuh Al-Librālī tersebut, pada halaman
12, substansi toleransi adalah sebagai berikut:
جَوْهَرُ التَّسَامُحِ يَعْنِيْ قَبُوْلَ
الْمَرْءِ لاِخْتِلاَفِ اْلآخَرِيْنَ وَعَدَمَ الْعَمَلِ عَلىَ مَنْعِ
اْلآخَرِيْنَ مِنْ أَنْ يَكُوْنَ آخَرِيْنَ
“Intisari
dari toleransi adalah sikap seseorang menerima perbedaan dengan orang lain
(dalam hal pendapat, perilaku, keyakinan, dsb) dan tidak melarang orang lain
itu untuk menjadi orang lain (tetap dengan pendapat, perilaku, keyakinan dsb
yang berbeda).”[] Rere
