Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

HILMI: Sebutan Bencana Nasional Mencerminkan Urgensi Politk Ketimbang Kemanusiaan

Rabu, 24 Desember 2025 | 14:01 WIB Last Updated 2025-12-24T07:01:04Z

TintaSiyasi.id -- Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) menilai penetapan bencana nasional di Indonesia sering kali lebih mencerminkan pertimbangan politik daripada urgensi kemanusiaan.

 

"Secara teknokratis, BNPB memang menggunakan pendekatan multikriteria. Namun dalam praktik, penetapan 'nasional' atau 'daerah' sering kali lebih mencerminkan pertimbangan fiskal dan politik ketimbang urgensi kemanusiaan," ucapnya kepada TintaSiyasi.ID pada Selasa (23/12/2025).

 

Adapun HILMI memandang penetapan status bencana nasional memiliki implikasi besar. “Pertama, mobilisasi APBN secara langsung termasuk dana siap pakai (DSP); kedua, percepatan pengadaan dan relaksasi birokrasi,” urai HILMI.

 

"Ketiga, keterlibatan lintas kementerian secara terpusat; keempat, narasi publik bahwa negara mengakui kegagalan skala besar," tambah HILMI.

 

Dengan kata lain, HILMI menjelaskan bahwasanya bencana nasional bukan sekedar deskripsi fakta melainkan pengakuan tanggung jawab negara secara penuh.

 

"Mengapa negara enggan (penetapan bencana nasional)? Secara resmi alasan sering dikemukakan pemerintah daerah masih mampu menangani, cuaca ekstrem bersifat temporer, dan indikator belum terpenuhi secara menyeluruh," jelas HILMI.

 

Meski demikian, HILMI melihat bahwa alasan tak terucap justru lebih menentukan. “Pertama, terkait beban fiskal, status nasional berarti beban keuangan besar, dan jangka panjang. Dalam situasi fiskal ketat, negara cenderung menahan diri,” ungkap HILMI.

 

"Kedua, membuka akar masalah structural. Banjir besar lintas provinsi sulit terus-menerus dijelaskan sebagai “hujan ekstrem”. Hampir pasti memunculkan pertanyaan tentang deforestasi, kerusakan daerah aliran sungai (DAS), alih fungsi lahan untuk perkebunan atau tambang, dan kegagalan tata ruang," papar HILMI.

 

"Data KLHK dan BPS menunjukkan bahwa dua dekade terakhir, banyak DAS di Sumatra masuk kategori kritis hingga sangat kritis, seiring meningkatnya frekuensi banjir dan longsor," imbuh HILMI.

 

Terlebih, HILMI menegaskan pengakuan bencana nasional dapat membuka pintu audit kebijakan masa lalu pemerintah. “Serta gugatan warga negara (citizen lawsuit) dan delegitimasi narasi pembangunan yang selama ini diklaim berhasil,” tandas HILMI.

 

"Dalam konteks ini, menahan status nasional sering kali menjadi strategi pengendalian narasi. Banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat 2025 ini memiliki beberapa ciri penting adalah terjadi di banyak kabupaten atau kota, lintas provinsi, disertai longsor dan kerusakan infrastruktur, berulang dari tahun ke tahun dan semakin parah dampaknya," beber HILMI.

 

"Secara ilmiah, pola ini lebih tepat disebut bencana hidrometeorologi yang diperparah degradasi sosialekologis, bukan sekadar anomali cuaca. IPCC sendiri menegaskan bahwa perubahan iklim memperbesar intensitas hujan ekstrem, tetapi dampaknya ditentukan oleh kondisi tata guna lahan dan pengelolaan lingkungan lokal (IPCC AR6, WG II)," pungkasnya.[] Taufan

Opini

×
Berita Terbaru Update