"Secara teknokratis, BNPB
memang menggunakan pendekatan multikriteria. Namun dalam praktik, penetapan
'nasional' atau 'daerah' sering kali lebih mencerminkan pertimbangan fiskal dan
politik ketimbang urgensi kemanusiaan," ucapnya kepada TintaSiyasi.ID
pada Selasa (23/12/2025).
Adapun HILMI memandang penetapan
status bencana nasional memiliki implikasi besar. “Pertama, mobilisasi
APBN secara langsung termasuk dana siap pakai (DSP); kedua, percepatan
pengadaan dan relaksasi birokrasi,” urai HILMI.
"Ketiga, keterlibatan
lintas kementerian secara terpusat; keempat, narasi publik bahwa negara
mengakui kegagalan skala besar," tambah HILMI.
Dengan kata lain, HILMI
menjelaskan bahwasanya bencana nasional bukan sekedar deskripsi fakta melainkan
pengakuan tanggung jawab negara secara penuh.
"Mengapa negara enggan
(penetapan bencana nasional)? Secara resmi alasan sering dikemukakan pemerintah
daerah masih mampu menangani, cuaca ekstrem bersifat temporer, dan indikator
belum terpenuhi secara menyeluruh," jelas HILMI.
Meski demikian, HILMI melihat
bahwa alasan tak terucap justru lebih menentukan. “Pertama, terkait
beban fiskal, status nasional berarti beban keuangan besar, dan jangka panjang.
Dalam situasi fiskal ketat, negara cenderung menahan diri,” ungkap HILMI.
"Kedua, membuka akar
masalah structural. Banjir besar lintas provinsi sulit terus-menerus dijelaskan
sebagai “hujan ekstrem”. Hampir pasti memunculkan pertanyaan tentang
deforestasi, kerusakan daerah aliran sungai (DAS), alih fungsi lahan untuk
perkebunan atau tambang, dan kegagalan tata ruang," papar HILMI.
"Data KLHK dan BPS
menunjukkan bahwa dua dekade terakhir, banyak DAS di Sumatra masuk kategori
kritis hingga sangat kritis, seiring meningkatnya frekuensi banjir dan
longsor," imbuh HILMI.
Terlebih, HILMI menegaskan
pengakuan bencana nasional dapat membuka pintu audit kebijakan masa lalu
pemerintah. “Serta gugatan warga negara (citizen lawsuit) dan
delegitimasi narasi pembangunan yang selama ini diklaim berhasil,” tandas HILMI.
"Dalam konteks ini, menahan
status nasional sering kali menjadi strategi pengendalian narasi. Banjir yang
melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat 2025 ini memiliki beberapa
ciri penting adalah terjadi di banyak kabupaten atau kota, lintas provinsi,
disertai longsor dan kerusakan infrastruktur, berulang dari tahun ke tahun dan
semakin parah dampaknya," beber HILMI.
"Secara ilmiah, pola ini
lebih tepat disebut bencana hidrometeorologi yang diperparah degradasi
sosialekologis, bukan sekadar anomali cuaca. IPCC sendiri menegaskan bahwa
perubahan iklim memperbesar intensitas hujan ekstrem, tetapi dampaknya
ditentukan oleh kondisi tata guna lahan dan pengelolaan lingkungan lokal (IPCC
AR6, WG II)," pungkasnya.[] Taufan
