“Penjelasan
Prof. Muhammad Ahmad Mufti mengenai tiga gagasan dasar toleransi liberal yang
berkembang di Barat tersebut, kami mengajukan gagasan dasar toleransi islami
sebagai kontranya. Dengan tujuan, sebagaimana kata Imam Taqiyuddin An-Nabhani ketika
dilakukan studi perbandingan, agar tampak dengan jelas mana yang “lurus” dan
mana yang “bengkok”,” paparnya.
“Gagasan toleransi
islami ini akan ditunjukkan dengan tiga parameter, dan akan langsung
dibandingkan secara kontras dan diametral dengan konsep toleransi liberal dari Eropa,”
tambahnya lagi.
Pertama, perbedaan
dari segi akidah (dasar gagasan). “Yang dimaksud dengan akidah di sini adalah dalam
arti umum, yaitu pemikiran mendasar mengenai alam semesta, manusia, dan
kehidupan, dan mengenai apa yang ada sebelum kehidupan dunia serta apa yang ada
sesudah kehidupan dunia, dan hubungan kehidupan dunia ini dengan apa yang ada
sebelum kehidupan dunia, serta hubungan kehidupan dunia ini dengan apa yang ada
sesudah kehidupan dunia,” terangnya menyitat pandangan Muhammad Muhammad
Ismail, Al-Fikr Al-Islāmī, hlm. 11-12.
“Akidah toleransi
liberal yang akidahnya adalah sekularisme, yaitu suatu paham bahwa agama harus
dipisahkan dari kehidupan, khususnya dari negara/politik/kekuasaan, sedangkan toleransi
islami, akidahnya adalah akidah Islam, yang sama sekali tidak
mengenal pemisahan agama dari kehidupan,” jelas Kiai.
Kedua,
perbedaan dari segi pandangan terhadap kebenaran agama. “Toleransi liberal
memandang kebenaran agama lain berdasarkan ide relativisme, yaitu kebenaran
agama-agama itu adalah relatif alias nisbi. Konsekuensinya, tidak boleh ada
klaim kebenaran (truth claim) mengenai kebenaran agama,” jelasnya.
Ketiga,
perbedaan dari segi pengaturan hubungan antar umat beragama. “Toleransi liberal
memandang bahwa pengaturan hubungan antar umat beragama, diatur berdasar ide
pluralisme, dengan ide pokoknya demokrasi, di mana aturan yang mengatur antar
umat beragama itu bukan diambil dari agama, termasuk tidak diambil dari Islam,
melainkan dari aspirasi masing-masing kelompok Masyarakat,” jelasnya.
Lanjut
dikatakan, ia mencontohkan pernikahan antar agama, seperti antara laki-laki
Kristen dengan wanita Muslimah misalnya, menurut paham pluralisme atau demokrasi,
tentu boleh-boleh saja dan tidak ada halangan sama sekali.
“Sedang
Toleransi Islami memandang, bahwa pengaturan hubungan antar umat beragama,
diatur hanya berdasar syariat Islam, untuk mengatur mengatur interaksi antara
umat Islam dengan umat-umat agama lain,” ulasnya.
Contoh Kasus
“Berikut ini
akan kami sajikan sejumlah studi kasus yang menunjukkan perbedaan yang tajam dan
kontras antara toleransi liberal dengan toleransi Islam dalam beberapa
persoalan,” beber Kiai Shiddiq.
Pertama,
pernikahan antar agama. “Menurut konsep toleransi liberal, orang beragama apa
pun boleh menikah dengan orang beragama apapun, termasuk laki-laki Katolik/Kristen
yang menikah dengan wanita Muslimah. Adapun menurut konsep toleransi islami laki-laki
kafir (baik beragama Kristen atau selain Kristen) haram hukumnya menikah dengan
wanita beragama Islam,” ujarnya.
Kedua, menyikapi
penganut agama lain. “Menurut konsep toleransi liberal, orang beragama apa pun
tidak boleh men-judge penganut agama lain akan masuk neraka. Semuanya
akan masuk surga karena semua agama itu sama-sama benar, dan semua penganut
agama sama-sama dianggap beriman. Adapun menurut konsep toleransi islami, hanya
Muslim yang masuk surga, orang Yahudi dan Nashrani adalah orang kafir yang akan
masuk neraka jahanam,” ulasnya
Ketiga, salam
antar agama. “Menurut konsep toleransi liberal, salam tidak boleh hanya Assalamu’alaikum
saja jika audience-nya ada yang beragama lain, salam yang benar adalah Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
(Islam), Salam sejahtera bagi kita semua (Kristen dan Katolik), Shalom
(Kristen), Om Swastiastu (Hindu), Namo Buddhaya (Buddha), dan Salam Kebajikan
(Konghucu). Adapun menurut konsep toleransi Islami, redaksi salam hanya Assalamu
alaikum wa rahmatullahi wa barakutuhu saja yang menjadi salam untuk audience
yang terdiri dari beragam agama,” bebernya.
Keempat, menyikapi
orang murtad. “Menurut konsep toleransi liberal, orang murtad (keluar dari
agama Islam) menjadi penganut Kristen dsb itu sah-sah saja, karena merupakan
bagian dari kebebasan beragama dan bagian dari HAM (Hak Asasi Manusia). Adapun
menurut konsep toleransi Islami, murtad itu hukumnya haram dan dalam pidana
Islam hukumannya adalah hukuman mati,” lugas Kiai.
Kelima, Muslim
ikut merayakan hari Natal. “Menurut konsep toleransi liberal, orang Muslim
bagus kalau bisa ikut perayaan hari Natal, agar dia bisa lebih menghayati
maknanya dan akhirnya, akan lebih toleran dan menghormati agama Kristen. Adapun
menurut konsep toleransi Islami, haram hukumnya seorang Muslim ikut merayakan hari
Natal,” tegasnya.
Keenam, menyikapi
konsep negara Islam (Khilafah). “Menurut konsep toleransi liberal, negara agama
itu dalam sejarah Barat sangatlah buruk dampaknya bagi masyarakat. Adapun menurut
konsep toleransi Islami, khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam adalah bagian
dari ajaran Islam, bahkan dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw.,” pungkasnya.[] Rere
