TintaSiyasi.id -- Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY), mengatakan, deforestasi terjadi dan secara massif, tidak bisa dilepaskan dari aktifitas ekstratif.
"Deforestasi terjadi dan dilakukan secara massif, ini semua tidak bisa dilepaskan dari aktifitas ekstratif," ungkapnya di acara Bencana Sumatra Negara Dimana? Di akun YouTube Media Tabloit Umat, Ahad (14/12/2025).
Ekstraktif di sini ini kata UIY, setidaknya yang bisa di lihay ada tiga. Pertama adalah pembalakan, baik itu legal maupun ilegan dan ini masih terus terjadi. Yang legal itupun banyak juga di dalamnya ilegal, misalnya seperti diketahui bahwa ada namanya AMDAL TPTI tebang pilih tanam Indonesia, yaitu kayu dengan diameter 50 itu yang boleh dipotong.
"Tetapi prakteknya semua tau bahwa tidak sedikit kayu yang diameternya masih dibawah 50 itu diambil juga, 45 40 atau yang lainnya kalau istilah teman-teman yang pernah bekerja di HPH itu cuci mangkok, itu jadi harus dibersihkan, itu ilegal yang di dalam legal, belum lagi yang ilegal," paparnya.
Kedua, pertambangan. Ketiga, pembukaan lahan untuk skala besar untuk sawit. Dan kita tahu untuk sawit kalau cuma 5000 kecil. Bisa sampai ratusan ribu, ada satu perusahaan itu yang sampai 300.000 ketika dia sudah jalan mungkin tidak jadi soal, yang menjadi soal adalah ketika pembukaan lahan dan untuk bisa sampai kepada penanaman itu proses atau tidak sebentar artinya lahan itu akan terbuka dalam satu kurun waktu yang cukup panjang. Nah ketika hujan tiba maka tidak ada yang bisa melindungi atau menjaga wilayah yang sudah terbuka, kalau kita ini kehujanan pakai payung lah kalau areal ratusan ribu kehujanan mau pakai payung apa, dan itu pun juga ada banyak yang yang ilegal dalam arti misalnya izinnya 1000 diambil 2000, begitu seterusnya," cecarnya.
Kemudian, ia melanjutkan, sebenarnya pertambangan dari segi area tidak seluas kebun, tetapi cenderung terus meluas dan dalam. "Apalagi tambang batu bara kalau deep itu cukup besar itu kemiringan dari lapisan batubara itu cukup besar maka untuk mengejar batubara berikutnya itu bukaan atau overburden itu sangat besar, jadi dia harus membuka lahan sangat banyak dan mengangkut overburden itu cukup sangat besar karena itu tingkat kerusakan itu kan akan terus membesar karena mereka kan tidak mau menyisahkan batubara yang mereka sudah tahu, cuma makin ke sana itu dikejar makin dalam," terangnya.
Jadi, ia menegaskan, semua terjadi bukan tanpa sengaja, itu semua disengaja dan semua terjadi atas izin negara. Pelakunya mungkin bukan negara tetapi negara yang telah memberikan izin, memberikan legalitas terhadap semua.
"Dalam teori itu ada pengawasan, reboisasi, tebang pilih, sanksi, tetapi kita semua sudah tahu bahwa teori berhenti di atas kertas, karena yang mengawasi juga orang, orang itu selama dia manusia itu bisa bisa diajak untuk berkolusi, dan kolusi pada pengelolaan sumber daya alam kolusi yang sangat diverifikasi," ujarnya.
Ia memberikan contoh, batubara 1 ton bagaimana ngeceknya bahwa dia 1 ton, 10 ton, untuk pajak dan lainnya, ketika sudah jalan, diangkut oleh tongkang. Seperti kayu bagaimana memang kayu diperiksa, dikasih label, surat pengantar dan lainnya, tetapi semua orang sudah tau itu semua bisa diatur.
"Nah kalau ditanya negara dimana, tetapi negara inilah aktor utama yang menimbulkan ini semua (bencana) sebeb cuaca ekstrem itu bisa terjadi di mana pun, cuaca ekstrem terjadi bukan hanya sekarang, dimasa-masa lalu juga terjadi, tetapi tidak menimbulkan bencana," ungkapnya.
Kemudian, ia melanjutkan, yang namanya hujan deras bukan hanya kali ini, kenapa yang kemarin-kemarin tidak? Kenapa baru sekarang membawa gelondongan kayu, berartikan ada aktivitas di hulu sana, di gunung bukit sana, yang dulu tidak dilakukan sekarang dilakukan dan itu semua atas apa? Atas izin negara, tetapi negara juga bertindak seolah-olah dia legal, pasti berdasarkan hukum, dan itu cara yang paling pintar dilakukan, melegalisasi sesuatu yang sebenarnya illegal, jadi melegalisasi kejahatan kalau kita mau bicara tandas dan itu sangat sering praktik itu dilakukan oleh rezim kemarin.
"Misalnya penguasaan lahan batubara oleh swasta, korporasi swasta itu menjadi legal oleh karena terbit undang-undang minerba, kemudian penguasaan lahan untuk kepentingan investasi, percepatan bahkan kemudian bisa diabaikan segala macam itu seperti yang disebut dalam undang-undang Ciptakerja, itu pun menjadi legal sekarang, karena ada regulasinya," ujarnya.
"Nah sekarang pertanyaannya regulasi itu yang buat siapa? dalam teori yang membuat parlemen, parlemen adalah wakil rakyat, wakil rakyat mestinya bekerja membuat aturan demi kepentingan rakyat, tetapi semua sudah tau, pada rezim kemarin mereka membuat aturan itu atas pesanan penguasa, dan penguasa itu diisi tak sedikit pengusaha peng-peng tadi itu," ungkapnya.
Sehingga, ia menambahkan, lahirlah UU Minerba 2020 yang mengubah UU Minerba 2009. "Didalamnya itu ada pasal aneh bahwa mereka dipastikan mendapatkan atau di jamin mendapatkan kepastian perpanjang dua 2x10 dengan opsi 2x10, mana ada aturan sampai memberi kepastian, biasanya bisa diperpanjang melalui begini begini, akan diatur kemudian dalam aturan pemerintah, tetapi dalam UU Minerba tidak seperti itu, ini semua dilakukan jelas tanpa sengaja oleh negara, negara yang sudah dibajak oleh kepentingan korporasi," ungkapnya.
Ia menyimpulkan, dalam world environment summit meeting, negara pelaku kerusakan lingkungan, yaitu negara korporasi, negara yang sudah dibajak oleh kepentingan korporasi. "Mengapa? karena bisnis yang paling cuan secuan-cuannya adalah bisnis yang menggunakan tangan negara, karena dengan tangan negara mendapatkan legitimasi, legalisasi, mau mendapatkan lahan Berapa luas dan kemarin Presiden Jokowi bilang begitu mau berapa mobil 2000 50.000 bilang ke saya," geramnya.
Sehingga, jadi kalau ditanya negara di mana? Di sini negara yang sedang menimbulkan bencana, dan negara yang telah menghasilkan keuntungan yang luar biasa kepada korporasi. "Misalnya kita ambil contoh tambang batubara produksi tahunan batu bara Indonesia itulah 600 juta ton, dari 600 juta ton ternyata yang diproduksi oleh BUMN cuma 5% Cuma 25 juta, kurang dari 5%, kalau 10%, kan 60 juta, jadi negara itu dari situ saja sudah ketauan dia tidak bekerja untuk kepentingan negara, alias kepentingan rakyat," contohnya.
Oleh karena itu, ketika terjadi bencana siapa yang menanggung kerugiannya? Rakyat jadi inilah kekejaman luar biasa, kejahatan luar biasa kejahatan yang dilakukan oleh negara kepada rakyatnya, lalu ketika rakyat menderita dia lambat menolong itu kejahatan berikutnya.
"Siapa yang paling berwenang dan paling memiliki kemampuan untuk menolong mereka para korban negara, negara memiliki seluruh perangkat, mestinya bukan hari kesekian, mestinya jam sekian atau detik sekian itu negara sudah turun, punya seluruh perangkat, helicopter punya, duit punya, SDM punya, tantara sekian banyak, itukan bisa dikerahkan untuk kepentingan darurat, tetapi mengapa sampai berhari-hari begitu rupa sehingga mereka harus minum air banjir, air banjir surut tidak ada yang diminum, satu pembiaran yang luar biasa," cecarnya.
"Jadi negara yang menimbulkan bencana tapi ketika bencana terjadi menimpa rakyatnya negara absen, coba ini kan satu hal yang Ya Allah itu kalau saya membayangkan hisabnya di akhirat itu berat sekali orang-orang yang bertanggung jawab," pungkasnya. [] Alfia