TintaSiyasi.id -- Ketika Murka Alam ada Ulah Segelintir Orang
Pulau Sumatera memiliki tutupan hutan yang luas dan beragam, menjadikannya salah satu daerah penghasil kayu bulat terbesar di Indonesia. Industri kehutanan, baik legal maupun ilegal, telah berlangsung puluhan tahun sehingga menjadi masalah kronis.
Bisnis pembalakan hutan di Sumatera melibatkan industri kayu didorong oleh permintaan pasar untuk berbagai keperluan komersial seperti industri kertas dan perabotan, atau untuk membuka lahan untuk tanaman industri.
Aktivitas pembalakan liar ini telah menyebabkan terjadi bencana banjir bandang dan tanah longsor besar melanda wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025.yang menimbulkan korban jiwa yang sangat besar, dengan ratusan orang meninggal dunia dan ratusan lainnya masih dinyatakan hilang.
Berdasarkan data terbaru dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 4 Desember 2025, jumlah total korban meninggal dunia akibat banjir dan longsor di tiga provinsi Sumatera telah mencapai 770 jiwa, sementara ratusan lainnya masih dinyatakan hilang. Data ini terus berkembang seiring upaya pencarian dan evakuasi yang dilakukan tim gabungan.
Selain korban jiwa, bencana ini juga menyebabkan lebih dari 2 juta warga mengungsi dan jutaan lainnya terdampak langsung, serta merusak ribuan rumah dan infrastruktur umum. Krisis kesehatan juga menghantui para pengungsi di tenda-tenda darurat.
Bencana banjir dan longsor yang terjadi di Sumatera, bukan sekedar faktor alam atau ujian semata tetapi merupakan akumulasi kejahatan lingkungan yang telah berlangsung lama. Hal ini membuktikan bahwa ada Jejak kerakusan kapitalisme dibalik bencana yang dilegitimasi oleh berbagai kebijakan penguasa.
Keberadaan kayu gelondongan dalam jumlah masif yang hanyut bersama arus banjir di Sumatera merupakan bukti fisik yang paling kentara dan viral, serta menjadi petunjuk awal yang kuat terhadap dugaan adanya aktivitas pembalakan liar atau penebangan hutan tak terkendali di kawasan hulu sungai.
Segitiga Krisis: Interaksi Bisnis, Politik, dan Bencana di Sumatera
Banjir yang terjadi diakibatkan oleh beberapa faktor:
Pertama, pemberian hak konsesi lahan secara masif yang menyebabkan deforestasi dan hilangnya fungsi hidrologis kawasan hulu sebagai salah satu akar penyebab utama bencana banjir dan tanah longsor yang parah di Sumatera.
Kedua, pemberian izin perkebunan sawit secara masif hubungan ini terutama disebabkan oleh konversi fungsi hutan alam menjadi perkebunan monokultur. praktik pemberian izin perkebunan yang tidak terkontrol atau "obral" izin, terutama di kawasan hutan atau lahan gambut yang rentan, secara signifikan meningkatkan risiko dan keparahan bencana banjir.
Ketiga, adanya izin tambang terbuka secara signifikan meningkatkan risiko terjadinya banjir dan bencana hidrometeorologi lainnya. Hal ini terjadi karena perubahan fungsi hidrologis dan kerusakan lingkungan di wilayah hulu atau sekitarnya yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan.
Keempat, adanya regulasi seperti UU Minerba (Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara) dan pengesahan UU Cipta Kerja (Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja) berpotensi memperburuk kerusakan lingkungan dan meningkatkan risiko bencana alam seperti banjir.
Kebijakan ini menyingkirkan kepetingan rakyat mengabaikan lingkungan demi kepentingan segelintir elite. Sikap penguasa seperti ini lahir dari sistem sekuler demokrasi kapitalisme yang menjadikan keuntungan sebagai orientasi utama. Dalam sistem ini penguasa dan pengusaha kerap berkolusi, menjarah hak milik rakyat atas nama pembangunan.
Islam Menawarkan Konsep Pengelolaan Alam yang Adil dan Bekelanjutan
Dalam Islam prinsip pengelolaan berdasarkan prinsip amanah, keadilan dan larangan keras atas kerusakan. Menjaga kelestarian lingkungan bukan sekedar urusan teknis tapi merupakan bagian dari keimanan dan ketaqwaan. Umat islam dituntut tidak membuat kerusakan dan wajib menjaga keseimbangan alam yang telah diciptakan Allah.
Islam memandang bahwa negara adalah pengurus umatnya. Negara berkewajiban penuh menggunakan hukum Allah dalam keseluruhan urusannya.Termasuk dalam pengelolaan lingkungan dan penataan hutan. Hutan adalah kepemilikan umum, sehingga haram hukumnya menyerahkan pengelolaannya kepada pihak asing/ swasta.
Islam menjadikan seluruh kekayaan alam milik rakyat diperlakukan sebagai amanah bukan objel eksploitasi. Masyarakat boleh mengambil manfaat dari hutan memenuhi kebutuhan hidupnya. Negara menjaga daya dukung ekologi di setiap wilayah. Khalifah sebagai pemegang mandat syari akan memastikan setiap kebijakan diarahkan untuk mencegah dharar dan menjaga keselamatan manusia dan lingkungan.
Khalifah akan menyusun blue print tata ruang yang komprehensif. Melakukan pemetaan wilayah sesuai fungsi alaminya mulai dari kawasan hutan lindung, area hunian dengan daya dukung, wilayah industri pertambagan.
Negara siap mengalokasikan anggaran yang memadai untuk mencegah banjir dan longsor berdasarkan penelitian para ahli. Dengan penerapan hukum Allah inilah negara dapat meminimalisir bencana yang menyengsarakan rakyat. []
Putri Rahmi DE
Aktivis Muslimah