Artikel Ilmiah-Islam Populer
Pendahuluan
TintaSiyasi.id -- Fenomena ironi terjadi di banyak negeri Muslim hari ini. Mereka dianugerahi kekayaan alam melimpah—emas, perak, minyak, gas bumi, lahan subur, hasil laut, hingga biodiversitas luar biasa—namun kemiskinan, ketimpangan sosial, dan penderitaan rakyat justru semakin nyata. Pertanyaan yang terus bergema adalah:
Mengapa negeri yang kaya raya justru miskin rakyatnya?
Jawabannya bukan pada kurangnya sumber daya, bukan pada minimnya potensi ekonomi, melainkan pada bagaimana kekuasaan dan kekayaan dikelola. Oligarki politik, korupsi, dan tata kelola negara berbasis kepentingan elit menjadi akar utama masalah tersebut. Dengan demikian, masalah ini bukan individual—tetapi sistemik.
Dan ketika akar masalah bersifat sistemik, maka solusinya pun harus bersifat sistemik. Di sinilah Islam menghadirkan jawaban: sebuah sistem hidup paripurna yang mengatur manusia dari aspek akidah, moral, ekonomi, politik, hingga tata kelola kekuasaan.
Oligarki Politik: Ketika Kekuasaan Tidak Lagi Milik Rakyat
Dalam banyak negara modern, politik tidak bergulir di tangan rakyat, tetapi pada sekelompok kecil elit yang memiliki akses modal besar. Demokrasi yang seharusnya menghadirkan pemerintahan dari rakyat justru berubah menjadi demokrasi transaksional.
Kursi kekuasaan tidak lagi dimaknai sebagai amanah, namun sebagai:
investasi kekuasaan,
jalur ekonomi,
ruang negosiasi kepentingan,
atau alat untuk mempertahankan dominasi kelompok.
Hal ini berdampak pada lahirnya kebijakan publik yang tidak mencerminkan kebutuhan rakyat, tetapi keuntungan aktor politik dan pemodal.
Secara sosiologis, fenomena ini disebut captured state: negara disandera oleh kepentingan oligarki.
Korupsi: Budaya, Bukan Sekadar Pelanggaran Hukum
Korupsi bukan hanya kejahatan finansial; ia adalah kejahatan moral, struktural, dan sosial. Ketika anggaran publik diselewengkan, maka:
akses pendidikan terhambat,
layanan kesehatan terdegradasi,
infrastruktur terbengkalai,
dan kesejahteraan tertunda.
Korupsi merampas hak masa depan generasi. Ia bukan sekadar tindakan individu, tetapi hasil dari sistem yang memiliki celah hukum, lemahnya integritas, dan absennya nilai transendental.
Sistem Sekuler: Ketika Hukum Ditentukan Bukan oleh Kebenaran, tetapi Kepentingan
Dalam sistem sekuler-kapitalistik, hukum dapat berubah mengikuti:
kekuatan lobi,
kepentingan ekonomi,
dan stabilitas kekuasaan.
Hukum menjadi produk kompromi, bukan refleksi nilai kebenaran atau moral.
Allah memperingatkan:
"Barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang zalim."
(QS. Al-Mā’idah: 45)
Islam Sebagai Solusi Sistemik: Konsep Syariah yang Paripurna
Islam hadir bukan sekadar ajaran ritual, tetapi sistem tata hidup yang lengkap (kaaffah). Ia mengintegrasikan moral, hukum, dan tata kelola kekuasaan berbasis wahyu.
1. Kepemimpinan sebagai Amanah Ilahi
Pemimpin tidak dipilih berdasarkan transaksi politik, tetapi melalui kriteria:
adil,
amanah,
berilmu,
dan bertakwa.
Rasulullah ﷺ bersabda:
> "Imam (pemimpin) adalah penanggung jawab dan ia akan dimintai pertanggungjawaban."
(HR. Bukhari & Muslim)
2. Pengelolaan SDA sebagai Milik Rakyat
Islam menetapkan bahwa sumber daya alam strategis adalah milik umum (al-milkiyyah al-‘âmmah).
Tidak boleh dikuasai investor atau korporasi swasta.
3. Sistem Pencegahan dan Penegakan Hukum yang Tegas dan Berkeadilan
Islam menggabungkan:
pencegahan spiritual (takwa),
pendidikan moral,
dan sanksi hukum yang adil dan tegas.
Dengan ini, korupsi tidak hanya dipandang sebagai pelanggaran hukum, tetapi dosa besar dan pengkhianatan terhadap umat.
4. Mekanisme Kontrol Publik
Umat berhak dan wajib melakukan hisbah (kontrol sosial-politik) untuk memastikan pemimpin berjalan dalam koridor syariat.
Penutup: Dari Kesadaran Menuju Peradaban
Masalah terbesar bangsa Muslim hari ini bukan kekurangan sumber daya, tetapi salah sistem. Sistem sekuler membuka ruang oligarki; oligarki melahirkan korupsi; korupsi melahirkan kemiskinan struktural.
Oleh karena itu, perubahan tidak cukup dilakukan melalui: ganti pejabat, reformasi undang-undang tambal sulam, atau program ekonomi jangka pendek.
Yang dibutuhkan adalah transformasi sistemik menuju sistem Islam yang paripurna.
Sebagaimana firman Allah:
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi kaum yang meyakini?"
(QS. Al-Mā’idah: 50)
Kesimpulan
Negeri yang kaya bukanlah negeri yang memiliki banyak sumber daya, tetapi negeri yang mengelola kekayaan dengan amanah dan keadilan. Dan keadilan sejati hanya mungkin terwujud ketika manusia tunduk pada hukum Allah, bukan pada hawa nafsu politik dan kepentingan oligarki.
Dengan demikian, Sistem Islam bukan hanya solusi religius — tetapi solusi ilmiah, rasional, dan historis untuk membangun peradaban umat yang bermartabat dan sejahtera.
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Sekjen Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa)