TintaSiyasi.id -- Menilai peran negara dalam bencana di Sumatra, Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto, mengatakan, negara pelaku kerusakan lingkungan adalah negara korporasi.
"Kesimpulan, negara seperti apa pelaku kerusakan lingkungan! Yaitu negara korporasi, negara yang sudah dibajak oleh kepentingan korporasi Mengapa? Karena bisnis yang paling cuan secuan-cuannya adalah bisnis yang menggunakan tangan negara," ungkapnya di dalam acara Bencana Sumatra Negara Dimana? Di akun YouTube Media Tabloit Umat, Ahad (14/12/2025)
Ia menambahkan bahwa dalam pertemuan dunia tentang lingkungan yang diselenggarakan di Argentina tahun 2004, yang menyimpulkan bahwa aktor-aktor terbesar atau perusak lingkungan adalah negara.
"Kita sudah mendengar bahwa bencana kemarin itu (di Sumatra) memang selain dipicu oleh terjadinya cuaca ekstrem, dan itu terkonfirmasi oleh BMKG. Fktor lain yang menjadi penentu utama dari bencana ini adalah perusakan lingkungan atau perusakan ekosistem hulu," ungkapnya.
Ia memaprkan bahwa adanya deforestasi dan fragmentasi hutan yaitu mengakibatkan fungsi hidrologis hutan di daerah hulu melemah, hutan yang rusak tidak lagi mampu menahan air dan menstabilkan tanah sehingga aliran permukaan meningkat tajam dan tanah menjadi rentan longsor.
Jadi, lanjut dia, deforestasi bisa menjelaskan kenapa banjir tidak hanya terjadi di aliran sungai. Bahkan di Aceh Tamiang banjir yang lebih besar bukan di aliran sungai. Oleh karena itu masyarakat kaget akan kejadian ini serta membawa lumpur yang demikian besar sampai selepas air banjir hilang (surut) lumpur mengendap dan menimbun rumah dan ini menjadi problem besar. Ketika matahari memanasi lumpur akan menjadi keras dan makin sulit dibersihkan, jadi ibarat kata rumah itu sudah tertimbun untuk membuka lagi butuh energi besar.
"Kemudian, rusaknya ekosistem di hulu akibat deforestasi. Saya kira telah terkonfirmasi oleh banyaknya batang-batang pohon yang tidak bisa diingkari itu hasil tebangan, tidak mungkin itu hasil jatuhan, kalau hasil jatuhan pasti potongannya tidak rapi, hampir semua gelondongan yang dijumpai potongannya rapi, itu menunjukkan hasil tebangan sistematis di daerah hulu yang merusak ekosistem fungsi hidrologis hutan di daerah hulu," jelasnya.
"Ini semua tidak bisa dilepaskan dari aktifitas ekstratif, ekstraktif di sini ini setidaknya kita bisa melihat ada tiga, pertama adalah pembalakan, baik itu legal maupun ilegan dan ini masih terus terjadi, yang legal itupun banyak juga di dalamnya ilegal misalnya kalau kita tahu bahwa ada namanya AMDAL TPTI tebang pilih tanam Indonesia di mana kayu dengan diameter 50 itu yang boleh dipotong, tetapi prakteknya semua tau bahwa tidak sedikit kayu yang diameternya masih dibawah 50 itu diambil juga, 45 40 atau yang lainnya kalau istilah teman-teman yang pernah bekerja di HPH itu cuci mangkok, itu jadi harus dibersihkan, itu ilegal yang di dalam legal, belum lagi yang ilegal," lanjutnya.
Kedua, pertambangan, dan yang ketiga pembukaan lahan untuk skala besar untuk sawit. "Dan kita tahu untuk sawit kalau cuma 5000 kecil, bisa sampai ratusan ribu, ada satu perusahaan itu yang sampai 300.000 ketika dia sudah jalan mungkin tidak jadi soal, yang menjadi soal adalah ketika pembukaan lahan dan untuk bisa sampai kepada penanaman itu proses atau tidak Sebentar artinya lahan itu akan terbuka dalam satu kurun waktu yang cukup panjang. Nah ketika hujan tiba maka tidak ada yang bisa melindungi atau menjaga wilayah yang sudah terbuka, kalau kita ini kehujanan pakai payung lah kalau areal ratusan ribu kehujanan mau pakai payung apa, dan itu pun juga ada banyak yang yang ilegal dalam arti misalnya izinnya 1000 diambil 2000, begitu seterusnya," terangnya.
Kemudian, kerusakan pertambangan, sebenarny dari segi area tidak seluas kebun, tetapi dia cenderung terus meluas dan dalam, apalagi tambang batu bara kalau deep itu cukup besar itu kemiringan dari lapisan batubara itu cukup besar maka untuk mengejar batubara berikutnya itu bukaan atau overburden itu sangat besar.
"Jadi dia harus membuka lahan sangat banyak dan mengangkut overburden itu cukup sangat besar karena itu tingkat kerusakan itu kan akan terus membesar karena mereka kan tidak mau menyisahkan batubara yang mereka sudah tahu, cuma makin ke sana itu dikejar makin dalam," tambahnya.
"Jadi semua itu terjadi bukan tanpa sengaja, itu semua disengaja dan itu semua bisa terjadi oleh siapa, nah Kesimpulan yang dibuat oleh pertemuan puncak dunia tentang lingkungan itu bisa kita pahami itu semua terjadi atas izin siapa? Atas izin di negara, pelakunya mungkin bukan negara tetapi negara yang telah memberikan izin, memberikan legalitas terhadap semua itu," cecarnya.
Sehingga, ia menjelaskan, ketika terjadi bencana siapa yang menanggung kerugiannya? Rakyat, jadi ini kekejaman luar biasa.
"Kejahatan luar biasa, kejahatan yang dilakukan oleh negara kepada rakyatnya, lalu ketika rakyat menderita dia lambat menolong itu kejahatan berikutnya," ujarnya.
Ia mempertanyakan, siapa yang paling berwenang dan paling memiliki kemampuan untuk menolong para korban? Negara. Negara memiliki seluruh perangkat, mestinya bukan hari kesekian, mestinya jam sekian atau detik sekian itu negara sudah turun, punya seluruh perangkat, helikopter punya, duit punya, SDM punya, tantara sekian banyak, itukan bisa dikerahkan untuk kepentingan darurat, tetapi mengapa sampai berhari-hari begitu rupa sehingga mereka harus minum air banjir, air banjir surut tidak ada yang diminum, satu pembiaran yang luar biasa
"Jadi negara yang menimbulkan bencana tapi ketika bencana terjadi menimpa rakyatnya negara absen, coba ini kan satu hal yang Ya Allah itu kalau saya membayangkan hisabnya di akhirat itu berat sekali orang-orang yang bertanggung jawab," pungkasnya.[] Alfia