Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Meneladan Rasulullah saw.: Jalan Kesempurnaan Ruhani, Keadilan Sosial, dan Kejayaan Peradaban

Minggu, 28 Desember 2025 | 09:26 WIB Last Updated 2025-12-28T02:26:37Z
Refleksi Sufistik–Ideologis atas QS. Al-Ahzab Ayat 21

Pendahuluan: Kegelisahan Zaman dan Kerinduan akan Keteladanan

TintaSiyasi.id -- Zaman ini ditandai oleh kemajuan yang pesat, namun jiwa manusia justru mengalami kemunduran. Ilmu berkembang, tetapi hikmah mengering. Kekuasaan meluas, namun keadilan menyempit. Agama dibicarakan, tetapi akhlak sering ditinggalkan.  Dalam kegelisahan semacam ini, Islam tidak menawarkan teori kosong atau idealisme utopis, melainkan menghadirkan sosok nyata yang hidup dan menghidupkan nilai Ilahi dalam realitas manusia: Rasulullah Muhammad SAW.

Allah SWT tidak mengutus Nabi hanya sebagai penyampai wahyu, melainkan sebagai manhaj hidup yang berjalan. Maka ketika manusia mencari kebaikan akhirat, kebijaksanaan dunia, keadilan sosial, dan kemuliaan akhlak, Al-Qur’an dengan tegas menunjuk satu teladan:

“Sungguh, telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang paling baik bagi kalian…”
(QS. Al-Ahzab: 21)

Ayat ini bukan sekadar pujian, melainkan seruan ideologis dan panggilan ruhani bagi setiap hamba yang ingin selamat lahir dan batin.

Rasulullah SAW: Al-Qur’an yang Hidup

Ketika Sayyidah Aisyah RA ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW, beliau menjawab dengan kalimat yang ringkas namun sarat makna:

“Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.”

Artinya, Rasulullah SAW adalah penjelmaan nilai-nilai Al-Qur’an dalam bentuk manusia. Dalam perspektif sufistik, beliau adalah insan kāmil—manusia paripurna yang mencapai puncak kesadaran tauhid tanpa tercerabut dari realitas sosial dan tanggung jawab peradaban.

Beliau adalah:

Hamba paling khusyuk di hadapan Allah,

Pemimpin paling adil di tengah umat,

Suami dan ayah paling lembut dalam keluarga,

Panglima paling berani di medan perjuangan,

Dai paling bijaksana dalam dakwah.

Inilah keseimbangan agung antara kedalaman ruhani dan keteguhan ideologi, antara dzikir dan jihad, antara sujud dan kepemimpinan.

Makna Uswah Hasanah: Teladan yang Menyempurnakan Jiwa dan Sistem

Kata uswah menunjukkan pola hidup yang layak diikuti, sementara hasanah menunjukkan keindahan dan kesempurnaan. Maka Rasulullah SAW adalah teladan:

Bagi hati yang ingin bersih,

Bagi akal yang ingin jernih,

Bagi masyarakat yang ingin adil,

Bagi peradaban yang ingin bangkit.

Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa kerusakan umat bukan karena kurangnya ilmu, melainkan terputusnya ilmu dari keteladanan hidup Nabawi. Ketika sunnah hanya dijadikan simbol, bukan sistem kehidupan, maka agama kehilangan daya ubahnya.

Syarat Meneladani Rasulullah: Orientasi Akhirat dan Dzikir yang Hidup

Allah SWT memberikan batasan yang sangat jelas:

“…bagi orang yang mengharap Allah dan hari akhir serta banyak mengingat Allah.”

Meneladani Rasulullah SAW tidak mungkin dilakukan oleh hati yang masih menjadikan dunia sebagai tujuan akhir. Orang yang berorientasi akhirat akan meneladani Nabi meski harus melawan hawa nafsu dan arus zaman.

Sedangkan dzikrullah adalah ruh dari seluruh amal. Tanpa dzikir:

Syariat menjadi kering,

Ideologi menjadi keras,

Tasawuf berubah menjadi ilusi.

Ibnu ‘Atha’illah berkata:

“Amal yang lahir dari kelalaian tidak akan mengantarkan kepada Allah.”

Rasulullah SAW adalah manusia paling sibuk, namun paling banyak mengingat Allah. Inilah rahasia kekuatan ruhani beliau.

Keteladanan Nabi dan Keadilan Sosial

Meneladani Rasulullah SAW bukan hanya membentuk pribadi saleh, tetapi membangun tatanan sosial yang adil dan beradab.

Dalam kepemimpinan, beliau tidak berjarak dengan rakyat. Dalam muamalah, beliau jujur bahkan kepada musuh. Dalam dakwah, beliau tegas dalam tauhid namun penuh rahmat kepada manusia.

Islam yang dicontohkan Rasulullah SAW adalah ideologi yang:

Tegas dalam kebenaran,

Lembut dalam kemanusiaan,

Kokoh dalam prinsip,

Luas dalam kasih sayang.

Kritik Zaman: Tasawuf Tanpa Sunnah dan Ideologi Tanpa Akhlak

Salah satu penyakit zaman ini adalah memisahkan tasawuf dari sunnah, dan memisahkan perjuangan dari penyucian jiwa. Cinta Nabi sering diucapkan, tetapi akhlaknya tidak dihidupkan. Dzikir digaungkan, tetapi keadilan diabaikan.

Padahal Rasulullah SAW menyatukan:

Syariat sebagai hukum,

Thariqah sebagai jalan,

Haqiqah sebagai tujuan.

Siapa yang memisahkan ketiganya, ia tidak akan sampai.

Penutup: Kembali ke Jejak Rasulullah SAW

Barangsiapa menginginkan:

Kebaikan akhirat,

Hikmah dunia,

Kehidupan yang adil,

Akhlak dan watak mulia,

Keselamatan lahir dan batin,

maka jalan itu bukan di luar diri, melainkan di jejak kehidupan Rasulullah SAW. Bukan sekadar mencintai dengan lisan, tetapi meneladani dengan kesungguhan lahir dan batin.

Semoga Allah SWT menghidupkan kita di atas sunnah Nabi-Nya, meneguhkan langkah kita di jalan beliau, dan mengumpulkan kita kelak bersama Rasulullah SAW di hari tiada lagi keteladanan selain beliau.

Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
(Penulis, Akademisi, Konsultan Pendidikan dan SDM. Coach Pengusaha Hijrah)

Opini

×
Berita Terbaru Update