TintaSiyasi.id -- Ala Imam al-Ghazali dan Sayyid Abdul Qadir al-Jailani.
Pendahuluan: Anak sebagai Amanah dan Proyek Peradaban
Anak bukan sekadar penerus biologis, melainkan amanah ilahiyah dan investasi peradaban Islam. Dalam pandangan para ulama besar, mendidik anak bukan hanya agar ia baik secara moral, tetapi agar ia memiliki ideologi Islam yang lurus, keberanian membela kebenaran, dan keteguhan iman di tengah fitnah zaman.
Imam al-Ghazali dan Sayyid Abdul Qadir al-Jailani sepakat bahwa pendidikan anak harus menyentuh ruh, akal, dan amal, bukan sekadar aspek akademik. Anak sholeh yang tidak ideologis akan mudah larut dalam arus zaman, sementara anak cerdas tanpa iman akan menjadi alat kerusakan.
I. Konsep Anak Sholeh Menurut Imam al-Ghazali
Dalam Ayyuhal Walad dan Ihya’ Ulumuddin, Imam al-Ghazali menegaskan:
“Hati anak itu bagaikan permata yang bersih, siap menerima segala bentuk ukiran.”
1. Penanaman Tauhid Sejak Dini
Tauhid bukan sekadar hafalan, tetapi rasa ketergantungan total kepada Allah. Anak dibiasakan:
Mengenal Allah dalam setiap peristiwa
Meyakini bahwa semua nikmat dan ujian datang dari-Nya
Takut bermaksiat bukan karena orang tua, tapi karena Allah
Tauhid inilah fondasi ideologis yang akan melahirkan keberanian moral.
2. Pendidikan Akhlak Sebelum Ilmu
Menurut al-Ghazali, ilmu tanpa akhlak adalah racun. Maka:
Anak diajarkan adab sebelum logika
Kejujuran lebih utama daripada kecerdasan
Tawadhu’ lebih tinggi daripada prestasi
Akhlak yang kokoh melahirkan kepribadian mujahid, bukan pengecut ruhani.
3. Teladan Lebih Tajam dari Nasihat
Al-Ghazali menegaskan:
“Perilaku orang tua adalah kitab pertama bagi anak.”
Anak pejuang Islam lahir dari:
Ayah yang shalat tepat waktu
Ibu yang menjaga lisan dan kehormatan
Rumah yang hidup dengan Al-Qur’an
II. Pendidikan Pejuang Ruhani Menurut Sayyid Abdul Qadir al-Jailani
Sayyid Abdul Qadir al-Jailani mendidik murid dan generasi dengan ketegasan ruhani dan kejernihan ideologi.
1. Menumbuhkan Keberanian Membela Kebenaran
Beliau berkata:
“Jangan takut miskin karena taat, dan jangan berharap kaya karena maksiat.”
Anak dilatih:
Tidak takut berbeda demi kebenaran
Berani berkata benar walau pahit
Teguh di atas prinsip Islam
Inilah karakter pejuang Islam ideologis, bukan sekadar Muslim simbolik.
2. Zuhud Aktif, Bukan Lari dari Dunia
Al-Jailani tidak mendidik anak menjadi lemah dunia, tetapi:
Menguasai dunia dengan iman
Menjadikan harta sebagai alat dakwah
Menjadikan jabatan sebagai ladang amal
Anak sholeh adalah yang kuat ruhani, jernih hati, dan tangguh mental.
3. Mujahadah dan Disiplin Spiritual
Pejuang Islam lahir dari:
Disiplin shalat malam
Puasa sunnah
Membiasakan dzikir dan muraqabah
Bukan kekerasan, tetapi keteguhan jiwa.
III. Integrasi: Membangun Anak Sholeh Ideologis di Zaman Fitnah
Menggabungkan al-Ghazali dan al-Jailani melahirkan konsep tarbiyah integral:
Aspek Al-Ghazali Al-Jailani
Fondasi Tauhid dan Akhlak Tauhid dan Keberanian
Metode Lemah lembut dan hikmah Tegas dan disiplin
Output Anak Beradab Anak pejuang
Tujuan Ridha Allah Tegaknya kebenaran
Anak dididik menjadi:
Lembut hatinya
Keras prinsipnya
Luas ilmunya
Teguh ideologinya
IV. Praktik Nyata dalam Keluarga Muslim
1. Rumah sebagai Madrasah Ideologi
Diskusi Islam, bukan sekadar ritual
Menjawab isu zaman dengan perspektif Islam
2. Mendidik Anak Melek Ideologi
Mengajarkan mana haq dan batil
Tidak netral dalam urusan akidah
3. Doa dan Munajat Orang Tua
Karena hidayah bukan hasil metode, tetapi rahmat Allah
Penutup: Mewariskan Iman, Bukan Sekadar Kehidupan
Imam al-Ghazali dan Sayyid Abdul Qadir al-Jailani tidak mendidik generasi yang sekadar sukses, tetapi generasi yang selamat dan menyelamatkan.
“Lebih baik memiliki anak yang sholeh dan berani membela kebenaran, daripada seribu anak sukses tapi kehilangan iman.”
Di zaman ini, mendidik anak sholeh saja tidak cukup. Kita butuh anak sholeh yang sadar ideologi, kuat iman, dan siap menjadi penjaga peradaban Islam.
Dr Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo