Taubat, Dzikir, Penyesalan, dan Istighfar
Nasehat Ibnu ‘Athaillah dalam Tāj al-‘Arūs
TintaSiyasi.id — Hati adalah pusat kehidupan ruhani manusia. Ia adalah tempat pandangan Allah, sumber ketenangan, sekaligus medan pertarungan antara cahaya dan kegelapan. Jika hati bersih, maka seluruh amal akan bercahaya. Namun jika hati kotor oleh dosa dan cinta dunia, maka ibadah hanya akan menjadi rutinitas tanpa ruh.
Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari رحمه الله dalam Tāj al-‘Arūs menegaskan bahwa perjalanan menuju Allah tidak akan pernah terbuka sebelum hati dibersihkan dari dosa dan kelalaian.
Dosa dan Gelapnya Hati
Ibnu ‘Athaillah berkata:
“Dosa yang membuatmu merasa hina dan butuh kepada Allah, lebih baik bagimu daripada ketaatan yang melahirkan kesombongan.”
Ungkapan ini bukan pembenaran maksiat, tetapi penjelasan hakikat:
bahwa kesadaran akan dosa sering kali menjadi pintu terbesar menuju taubat sejati.
Dosa yang paling berbahaya bukan hanya dosa anggota tubuh,
melainkan dosa yang mengeraskan hati, mematikan penyesalan, dan menjauhkan seseorang dari dzikir.
Cinta Dunia: Pangkal Segala Dosa
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Ḥubbud-dunyā ra’su kulli khaṭī’ah.”
“Mencintai dunia adalah pangkal dari segala dosa.”
Hadits ini adalah diagnosa penyakit hati. Hampir seluruh dosa bermula dari satu akar: cinta dunia yang berlebihan.
Ibnu ‘Athaillah menjelaskan bahwa dunia yang tercela bukanlah harta atau kenikmatan itu sendiri, tetapi:
Segala sesuatu yang melalaikanmu dari Allah dan akhirat.
Seseorang bisa hidup sederhana namun hatinya duniawi,
dan bisa pula memiliki dunia di tangannya namun hatinya zuhud.
Cinta Dunia sebagai Najis Batin
Ibnu ‘Athaillah menasihatkan bahwa cinta dunia adalah najis batin.
Sebagaimana najis lahir menghalangi sahnya shalat,
maka najis cinta dunia menghalangi hadirnya khusyuk dan cahaya makrifat.
Semakin besar cinta dunia:
• Semakin berat taubat
• Semakin lemah penyesalan
• Semakin ringan dosa
• Semakin hambar dzikir
Hati yang dipenuhi dunia tidak lagi lapang menerima cahaya Allah.
Taubat: Kembali Sebelum Dipanggil
Taubat adalah langkah pertama dan utama.
Menurut Ibnu ‘Athaillah, taubat bukan sekadar meninggalkan dosa, tetapi kembali sepenuhnya kepada Allah.
Hakikat taubat mencakup:
1. Meninggalkan dosa
2. Menyesali perbuatan
3. Bertekad tidak mengulangi
4. Mengembalikan hak makhluk
Dalam Tāj al-‘Arūs ditegaskan:
Tanpa taubat, tidak ada jalan menuju Allah.
Menunda taubat adalah tanda kuatnya cinta dunia,
sedangkan orang yang rindu akhirat segera kembali tanpa menunggu.
Penyesalan: Luka yang Menghidupkan Hati
Rasulullah ﷺ bersabda:
“An-nadamu taubah.”
“Penyesalan adalah taubat itu sendiri.”
Penyesalan adalah retaknya kesombongan jiwa.
Hati yang masih bisa menyesal adalah hati yang masih hidup.
Ibnu ‘Athaillah mengingatkan:
Hati yang tidak menyesal atas dosanya adalah hati yang telah mengeras.
Air mata penyesalan adalah air suci yang mencuci karat dosa,
dan tanpa penyesalan, istighfar hanya akan menjadi lafaz tanpa makna.
Istighfar: Pembersih Bekas Dosa
Istighfar adalah sapu hati dari jejak maksiat.
Namun Ibnu ‘Athaillah memberi peringatan tajam:
“Istighfarmu membutuhkan istighfar, jika lisanmu meminta ampun sementara hatimu masih mencintai dosa.”
Istighfar sejati:
• Mengakui kehinaan diri
• Menghadirkan rasa butuh kepada Allah
• Memutus ketergantungan pada dosa
• Menumbuhkan harap dan takut
Istighfar yang jujur akan:
• Melapangkan dada
• Menenangkan jiwa
• Membuka pintu rezeki dan hidayah
Dzikir: Cahaya Penjaga Hati
Jika taubat membersihkan, maka dzikir menjaga.
Ibnu ‘Athaillah berkata:
“Jangan tinggalkan dzikir karena hatimu belum hadir.
Karena lalainya hatimu dari dzikir lebih buruk daripada lalainya hatimu saat berdzikir.”
Dzikir:
• Mengikis cinta dunia
• Menjaga istiqamah taubat
• Menghidupkan kesadaran akan Allah
Tanpa dzikir, hati yang telah dibersihkan akan kembali ternodai.
Jalan Bersih Hati Menurut Ibnu ‘Athaillah
Pembersihan hati berjalan melalui empat langkah ruhani:
1. Taubat – kembali kepada Allah
2. Penyesalan – menghancurkan keangkuhan jiwa
3. Istighfar – membersihkan bekas dosa
4. Dzikir – menjaga cahaya hati
Ibnu ‘Athaillah menegaskan:
Jangan sibuk mencari maqam tinggi, sebelum engkau membersihkan dosa yang engkau remehkan.
Penutup: Dunia di Tangan, Akhirat di Hati
Dunia boleh dimiliki, namun jangan dicintai hingga melalaikan.
Ukurlah hatimu:
• Jika kehilangan dunia membuatmu gelisah
• Namun kehilangan dzikir tidak membuatmu sedih
Maka itulah tanda cinta dunia masih mengotori hatimu.
Semoga Allah membersihkan hati kita:
Dengan taubat yang jujur,
Dengan penyesalan yang menghidupkan,
Dengan istighfar yang tulus,
Dan dengan dzikir yang terus menyala,
hingga dunia kembali menjadi jalan, bukan tujuan.
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)