“Prof. Muhammad Ahmad Mufti,
dalam kitabnya Naqd Al-Tasāmuh Al-Librālī (halaman 15-41), menjelaskan tiga
gagasan dasar dari Barat, yaitu: pertama, sekularisme (al-‘ilmāniyyah/fashluddīn
‘an al-hayāh); kedua, relativisme (al-nisbiyyah); ketiga,
pluralisme (al-ta’addudiyyah),” ujarnya memerinci.
Pertama, sekularisme (al-‘ilmāniyyah /
fashluddīn ‘an al-hayāh), yaitu konsep pemisahan agama dari kehidupan, yang
secara otomatis atau alamiah, akan menghasilkan pemisahan agama dari negara
atau pemerintahan (fashluddin ‘an al-dawlah).
“Konsep sekularisme ini menjadi
tuntutan yang rasional di Eropa karena ketika terjadi penyatuan antara negara
dan agama (Katolik) dalam sebuah religious regime (pemerintahan agama) ternyata
menjadi sumber konflik antara penganut agama Katolik dan Protestan yang
mengerikan. Terbukti puluhan ribu manusia tewas karena perang agama antara
penganut Katolik dan penganut Protestan,” ulasnya.
Kedua, relativisme
(al-nisbiyyah), yaitu konsep bahwa pandangan filosofis yang menyatakan
bahwa kebenaran, pengetahuan, moralitas, atau penilaian itu tidaklah bersifat
absolut, melainkan relatif dalam arti bergantung pada individu, budaya,
konteks historis, atau kerangka acuan tertentu.
“Artinya, apa
yang dianggap benar atau salah bisa berbeda-beda tergantung perspektifnya,
tanpa ada standar tunggal yang berlaku universal,” lugas Kiai.
Kiai Shiddiq
menyebut bahwa berdasar paham relativisme ini, tidak dibenarkan orang
mengeluarkan klaim kebenaran (truth claim) untuk suatu agama, dengan
mengatakan misalnya, ”Agama saya saja yang benar, agama kamu salah.”
“Konsep
relativisme ini menjadi keharusan agar seorang penganut agama tidak fanatik,
karena fanatisme agama inilah yang menurut orang Eropa menjadi pemicu adanya
konflik atau perang antar agama,” imbuhnya.
Ketiga, pluralisme
(al-ta’addudiyyah), yaitu konsep bahwa masyarakat yang plural
(heterogen) dengan berbagai identitasnya, haruslah mendapat hak yang sama tanpa
ada diskriminasi.
“Jadi
masyarakat yang plural dengan identitas etnis (suku) yang berbeda-beda, atau
dengan identitas warna kulit yang berbeda-beda, atau juga identitas agama yang
berbeda-beda, ada yang Katolik, ada yang Protestan, dsb, di dalam satu
masyarakat, harus mempunyai hak yang sama tanpa diskriminasi antara yang satu
dengan yang lainnya,” jelasnya.
Kiai Shiddiq
menuturkan, konsep pluralisme itu menurut penggagasnya hanya dapat diwujudkan
dalam sistem demokrasi, sehingga istilah yang sering disebut adalah pluralisme-demokrasi
(al-ta’addudiyyah al-dimuqrathiyyah).
Sejarah
Toleransi
Kiai Shiddiq
menerangkan, istilah toleransi lahir dalam konteks sejarah peradaban Barat,
akibat perang-perang agama antara penganut Katolik di bawah kepemimpinan Paus,
dengan para penentang agama Katolik, utamanya adalah kaum Protestan.
“Perang agama
antara Katolik dan Protestan tersebut paling sering terjadi pada abad
ke-16 dan ke-17 M, yang dimulai setelah Reformasi Protestan (1517).
Contoh konflik antar agama Katolik dan Protestan tersebut misalnya Perang Agama
Prancis (1562–1598) dan mencapai puncaknya dalam perang paling dahsyat
seperti Perang 30 Tahun (1618–1648) di Kekaisaran Romawi Suci, yang
melibatkan hampir seluruh kekuatan Eropa dengan alasan agama dan politik,”
kisahnya.
Namun
demikian, ia menyatakan bahwa sebelum abad ke-16 M itu, sebenarnya sudah ada
akar-akar konflik antara Katolik dan Protestan. “Penganut Katolik sebelum abad
ke-16 M sudah mempunyai Mahkamah Inkuisisi, yakni institusi resmi Gereja Katolik
untuk mengusut dan menyiksa setiap orang Kristen yang dianggap bidat (menyimpang,
Ing: heresy) dari ajaran resmi Gereja Katolik,” ungkapnya.
“Salah satu
contoh konflik berdarah antara Gereja Katolik dengan kaum Protestan, adalah
peristiwa Pembantaian Hari Santo Bartolomeus, yang terjadi di Perancis mulai
tanggal 23-24 Agustus tahun 1572 hingga beberapa minggu sesudahnya. Jumlah
korban yang meninggal (dari kalangan Protestan) hitungannya bervariasi dari
5.000 hingga 30.000 orang,” teragnya.
Kondisi
konflik-konflik berdarah dan bahkan perang antara penganut Katolik Roma dengan
Kristen Protestan di Eropa seperti itulah, menurut Kiai Shiddiq, akhirnya
menimbulkan dua kubu dalam masyarakat Eropa pada abad ke-17 Masehi.
Pertama,
satu kubu yang menganggap sangat sulit menyatukan kembali agama Katolik dan
agama Protestan, dan mengusulkan ada “Gereja Universal” dengan
ajaran-ajaran Kristiani mendasar yang disepakati bersama antara Katolik dan
Protestan, namun membiarkan perbedaan-perbedaan dalam ajaran cabang Kristiani.
Kedua,
pihak ini menolak usulan “Gereja Universal” dan menyerukan apa yang
disebut toleransi. Pendapat pihak kedua mendapat kedudukan yang kuat pada akhir
abad ke-17 Masehi di Eropa. Inilah asal usul sejarah kemunculan istilah toleransi.
(Muhammad Ahmad Mufti, Naqd Al-Tasāmuh Al-Librālī, hlm. 17).
“Berdasarkan
penjelasan sejarah di atas, jelaslah bahwa konsep toleransi itu asal-usulnya
bukan dari masyarakat Islam, melainkan muncul di masyarakat Eropa yang Kristen,
khususnya ketika terjadi konflik atau perang agama antara penganut agama Katolik
dan penganut kaum Protestan,” tutupnya.[] Rere
