Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kiai Shiddiq: Ada Tiga Ide Dasar Toleransi Liberal

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:21 WIB Last Updated 2025-12-24T14:21:30Z

TintaSiyasi.id -- K.H. Shiddiq Al-Jawi, M.Si., Ahli Fikih Islam, menyebutkan ada tiga ide dasar toleransi liberal yang telah berkembang di Eropa pascaabad ke-17 Masehi. “Ada tiga ide dasar toleransi liberal yang telah berkembang di Eropa pascaabad ke-17 Masehi,” tuturnya kepada TintaSiyasi.ID, Rabu (17/12/2025).

 

Prof. Muhammad Ahmad Mufti, dalam kitabnya Naqd Al-Tasāmuh Al-Librālī (halaman 15-41), menjelaskan tiga gagasan dasar dari Barat, yaitu: pertama, sekularisme (al-‘ilmāniyyah/fashluddīn ‘an al-hayāh); kedua, relativisme (al-nisbiyyah); ketiga, pluralisme (al-ta’addudiyyah),” ujarnya memerinci.  

 

Pertama, sekularisme (al-‘ilmāniyyah / fashluddīn ‘an al-hayāh), yaitu konsep pemisahan agama dari kehidupan, yang secara otomatis atau alamiah, akan menghasilkan pemisahan agama dari negara atau pemerintahan (fashluddin ‘an al-dawlah).

 

Konsep sekularisme ini menjadi tuntutan yang rasional di Eropa karena ketika terjadi penyatuan antara negara dan agama (Katolik) dalam sebuah religious regime (pemerintahan agama) ternyata menjadi sumber konflik antara penganut agama Katolik dan Protestan yang mengerikan. Terbukti puluhan ribu manusia tewas karena perang agama antara penganut Katolik dan penganut Protestan,” ulasnya.

 

Kedua, relativisme (al-nisbiyyah), yaitu konsep bahwa pandangan filosofis yang menyatakan bahwa kebenaran, pengetahuan, moralitas, atau penilaian itu tidaklah bersifat absolut, melainkan relatif dalam arti bergantung pada individu, budaya, konteks historis, atau kerangka acuan tertentu.

 

“Artinya, apa yang dianggap benar atau salah bisa berbeda-beda tergantung perspektifnya, tanpa ada standar tunggal yang berlaku universal,” lugas Kiai. 

 

Kiai Shiddiq menyebut bahwa berdasar paham relativisme ini, tidak dibenarkan orang mengeluarkan klaim kebenaran (truth claim) untuk suatu agama, dengan mengatakan misalnya, ”Agama saya saja yang benar, agama kamu salah.”

 

“Konsep relativisme ini menjadi keharusan agar seorang penganut agama tidak fanatik, karena fanatisme agama inilah yang menurut orang Eropa menjadi pemicu adanya konflik atau perang antar agama,” imbuhnya.

 

Ketiga, pluralisme (al-ta’addudiyyah), yaitu konsep bahwa masyarakat yang plural (heterogen) dengan berbagai identitasnya, haruslah mendapat hak yang sama tanpa ada diskriminasi.

 

“Jadi masyarakat yang plural dengan identitas etnis (suku) yang berbeda-beda, atau dengan identitas warna kulit yang berbeda-beda, atau juga identitas agama yang berbeda-beda, ada yang Katolik, ada yang Protestan, dsb, di dalam satu masyarakat, harus mempunyai hak yang sama tanpa diskriminasi antara yang satu dengan yang lainnya,” jelasnya.

 

Kiai Shiddiq menuturkan, konsep pluralisme itu menurut penggagasnya hanya dapat diwujudkan dalam sistem demokrasi, sehingga istilah yang sering disebut adalah pluralisme-demokrasi (al-ta’addudiyyah al-dimuqrathiyyah).

 

Sejarah Toleransi

 

Kiai Shiddiq menerangkan, istilah toleransi lahir dalam konteks sejarah peradaban Barat, akibat perang-perang agama antara penganut Katolik di bawah kepemimpinan Paus, dengan para penentang agama Katolik, utamanya adalah kaum Protestan.

 

“Perang agama antara Katolik dan Protestan tersebut paling sering terjadi pada abad ke-16 dan ke-17 M, yang dimulai setelah Reformasi Protestan (1517). Contoh konflik antar agama Katolik dan Protestan tersebut misalnya Perang Agama Prancis (1562–1598) dan mencapai puncaknya dalam perang paling dahsyat seperti Perang 30 Tahun (1618–1648) di Kekaisaran Romawi Suci, yang melibatkan hampir seluruh kekuatan Eropa dengan alasan agama dan politik,” kisahnya.

 

Namun demikian, ia menyatakan bahwa sebelum abad ke-16 M itu, sebenarnya sudah ada akar-akar konflik antara Katolik dan Protestan. “Penganut Katolik sebelum abad ke-16 M sudah mempunyai Mahkamah Inkuisisi, yakni institusi resmi Gereja Katolik untuk mengusut dan menyiksa setiap orang Kristen yang dianggap bidat (menyimpang, Ing: heresy) dari ajaran resmi Gereja Katolik,” ungkapnya.

 

“Salah satu contoh konflik berdarah antara Gereja Katolik dengan kaum Protestan, adalah peristiwa Pembantaian Hari Santo Bartolomeus, yang terjadi di Perancis mulai tanggal 23-24 Agustus tahun 1572 hingga beberapa minggu sesudahnya. Jumlah korban yang meninggal (dari kalangan Protestan) hitungannya bervariasi dari 5.000 hingga 30.000 orang,” teragnya.

 

Kondisi konflik-konflik berdarah dan bahkan perang antara penganut Katolik Roma dengan Kristen Protestan di Eropa seperti itulah, menurut Kiai Shiddiq, akhirnya menimbulkan dua kubu dalam masyarakat Eropa pada abad ke-17 Masehi.  

 

Pertama, satu kubu yang menganggap sangat sulit menyatukan kembali agama Katolik dan agama Protestan, dan mengusulkan ada “Gereja Universal” dengan ajaran-ajaran Kristiani mendasar yang disepakati bersama antara Katolik dan Protestan, namun membiarkan perbedaan-perbedaan dalam ajaran cabang Kristiani.

 

Kedua, pihak ini menolak usulan “Gereja Universal” dan menyerukan apa yang disebut toleransi. Pendapat pihak kedua mendapat kedudukan yang kuat pada akhir abad ke-17 Masehi di Eropa. Inilah asal usul sejarah kemunculan istilah toleransi. (Muhammad Ahmad Mufti, Naqd Al-Tasāmuh Al-Librālī, hlm. 17).

 

“Berdasarkan penjelasan sejarah di atas, jelaslah bahwa konsep toleransi itu asal-usulnya bukan dari masyarakat Islam, melainkan muncul di masyarakat Eropa yang Kristen, khususnya ketika terjadi konflik atau perang agama antara penganut agama Katolik dan penganut kaum Protestan,” tutupnya.[] Rere

Opini

×
Berita Terbaru Update