Pendahuluan: Kebutaan yang Tidak Disadari.
TintaSiyasi.id -- Banyak manusia melihat dunia dengan mata yang tajam, namun berjalan dengan hati yang buta. Ia pandai menghitung keuntungan, merancang masa depan duniawi, dan membaca tanda-tanda zaman, tetapi gagal membaca tanda-tanda Allah dalam hidupnya sendiri. Ia cerdas secara akal, tetapi miskin secara keyakinan.
Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari, sang arif billah, membuka tabir ini dengan sebuah kalimat hikmah yang mengguncang kesadaran:
“Keyakinan adalah cahaya yang Allah jadikan di dalam hati mukmin, dengannya ia menyaksikan perkara-perkara akhirat. Ketika keyakinan itu terbit, tersingkaplah hakikat dunia dan akhirat.”
Kalimat ini bukan sekadar nasihat, melainkan peta jalan ruhani bagi siapa saja yang ingin keluar dari kegelapan dunia menuju cahaya makrifat.
Hakikat Keyakinan: Lebih dari Sekadar Percaya
Keyakinan (al-yaqīn) bukan sekadar menerima kebenaran secara logis. Banyak orang percaya kepada akhirat, tetapi hidup seakan-akan tidak akan mati. Banyak yang mengimani hisab, tetapi tetap berani bermaksiat. Ini menunjukkan bahwa iman belum naik derajat menjadi keyakinan.
Keyakinan adalah iman yang hidup, iman yang menyala, iman yang membimbing langkah dan mengendalikan hawa nafsu. Ia bukan hasil perdebatan intelektual, melainkan anugerah Allah yang ditanamkan ke dalam hati yang bersih dan jujur.
Sebagaimana cahaya matahari tidak dapat diciptakan oleh mata, demikian pula cahaya keyakinan tidak dapat dihasilkan oleh akal semata. Ia adalah karunia Ilahi yang diberikan kepada hati yang tunduk dan lapang.
Keyakinan sebagai Cahaya Hati (Nur al-Qalb)
Ibnu ‘Athaillah menyebut keyakinan sebagai cahaya. Ini isyarat penting:
tanpa cahaya, semua dalil tetap gelap; tanpa keyakinan, semua ilmu tetap kering.
Dengan cahaya keyakinan:
• Hati melihat kebenaran, bukan sekadar mengetahuinya
• Dunia tampak kecil, meski berada di genggaman
• Akhirat terasa dekat, meski belum terlihat
Orang yang diberi cahaya keyakinan tidak silau oleh dunia, karena ia melihatnya dengan cahaya Allah, bukan dengan nafsu.
Menyaksikan Akhirat dengan Mata Hati
Ibnu ‘Athaillah tidak mengatakan “mengetahui akhirat”, tetapi “menyaksikan”. Ini adalah maqam bashirah—melihat dengan mata hati.
Orang yang menyaksikan akhirat:
• Tak berlebihan mencintai dunia
• Tak berputus asa saat kehilangan
• Tak gelisah menghadapi kematian
• Tak sombong saat diberi kenikmatan
Baginya, kubur bukan sekadar liang tanah, tetapi gerbang perjumpaan. Kematian bukan akhir segalanya, tetapi awal keabadian.
Inilah mengapa para arif billah hidup sederhana, tetapi hatinya penuh kekayaan ruhani.
Ketika Keyakinan Terbit: Tersingkapnya Hakikat
Ketika keyakinan terbit di hati:
• Dunia tersingkap sebagai ujian, bukan tujuan
• Jabatan tersingkap sebagai amanah, bukan kehormatan
• Harta tersingkap sebagai titipan, bukan milik
• Ujian tersingkap sebagai rahmat tersembunyi
Pada saat itu, seorang mukmin tidak lagi bertanya,
“Kenapa ini terjadi padaku?”
tetapi berkata,
“Apa yang Allah kehendaki dariku melalui ini?”
Inilah puncak kedewasaan ruhani.
Penyakit Hati: Ketika Keyakinan Redup
Sebaliknya, lemahnya keyakinan melahirkan:
• Ketakutan berlebihan terhadap makhluk
• Kecemasan terhadap rezeki
• Ambisi dunia yang tak pernah puas
• Ibadah yang berat dan kering
Bukan karena kurangnya ibadah lahiriah, tetapi karena hati belum diterangi cahaya keyakinan.
Sebagaimana ditegaskan para ulama tasawuf:
“Banyak amal, tetapi sedikit keyakinan, tidak akan mengangkat derajat.”
Jalan Menumbuhkan Keyakinan
Keyakinan tidak jatuh dari langit tanpa sebab. Ia tumbuh melalui:
1. Tazkiyatun Nafs – membersihkan hati dari cinta dunia berlebihan
2. Istiqamah dalam ketaatan – meski sedikit tetapi terus-menerus
3. Sabar dalam ujian – tanpa protes kepada takdir
4. Tawakal yang jujur – menyerahkan hasil kepada Allah
5. Dzikir yang hidup – bukan sekadar di lisan, tetapi di hati
Ketika hati bersih, cahaya mudah masuk. Ketika hati jujur, Allah menurunkan keyakinan.
Penutup: Doa Para Pencari Cahaya
Wahai jiwa yang letih oleh dunia,
ketahuilah: yang engkau butuhkan bukan dunia yang lebih luas, tetapi hati yang lebih bercahaya.
Mari kita akhiri dengan doa: “Ya Allah, jadikanlah keyakinan sebagai cahaya di hati kami. Tersingkapkan kepada kami hakikat dunia sehingga kami tidak tertipu olehnya,
dan tampakkan kepada kami akhirat sehingga kami bersungguh-sungguh mencarinya. Hidupkan hati kami dengan keyakinan, dan wafatkan kami dalam keadaan Engkau ridha.” Amin ya Rabbal ‘Alamin.
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)