Refleksi Mendalam atas Petuah Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari
TintaSiyasi.id -- Dalam perjalanan menuju Allah, manusia tidak selalu tegak lurus berjalan di atas garis lurus ketaatan. Ada masa ia kuat, ada masa ia lemah. Ada saat ia merasa dekat dengan Allah, dan ada waktu ia merasa jauh, asing bahkan dari dirinya sendiri.
Maka datanglah kalimat hikmah dari Ibnu ‘Athaillah—sebuah cahaya bagi hati yang tersesat dan sebuah peringatan bagi hati yang terlena:
“Tidaklah mengkhawatirkan jika engkau tersesat di jalan, tetapi yang dikhawatirkan hanyalah ketika hawa nafsu mengalahkanmu.”
Hikmah ini sederhana, namun dalam. Lembut, namun menusuk. Ia bukan sekadar kalimat, tetapi sebuah peta perjalanan ruhani.
1. Kesalahan Bukan Akhir: Yang Penting Hatimu Masih Bergerak
Banyak orang hancur bukan karena dosa, tetapi karena putus asa setelah dosa.
Padahal Allah berfirman:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ
“Wahai hamba-Ku yang melampaui batas atas dirinya, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.” (QS. Az-Zumar: 53)
Kesalahan dalam perjalanan menuju Allah adalah bagian dari proses pendewasaan iman. Ia adalah:
• Mujahadah (perjuangan),
• Tarbiyah (pendidikan jiwa),
• Dan tazkiyah (penyucian hati).
Selama engkau masih meneteskan air mata, masih merasa bersalah, masih ingin kembali — maka jalan belum tertutup.
2. Bahaya Sesungguhnya: Ketika Nafsu Menjadi Raja
Yang mengkhawatirkan bukan jatuhnya seseorang.
Yang mengkhawatirkan adalah ketika ia menikmati jatuhnya.
Karena dosa tidak berbahaya ketika masih terasa pahit — tetapi sangat berbahaya ketika mulai terasa manis.
Ibnul Qayyim berkata:
“Tidak ada dosa yang lebih berat daripada dosa yang tidak lagi dianggap dosa.”
Ketika hawa nafsu menguasai hati:
• dosa terasa biasa,
• maksiat menjadi pembenaran,
• agama dianggap beban,
• dan kebenaran terasa mengganggu.
Pada titik ini, bukan amal yang hilang—namun rasa malu kepada Allah yang padam.
Dan ketika hati sudah tidak malu lagi, maka ia telah mati sebelum badan dikuburkan.
3. Nafsu Adalah Musuh Internal yang Paling Gigih
Banyak orang memusuhi setan, tetapi lupa bahwa musuh paling besar tinggal di dalam diri.
Ali bin Abi Thalib berkata:
“Aku heran kepada orang yang mampu memerangi musuhnya, tetapi tidak mampu memerangi hawa nafsunya.”
Setan menggoda, dunia menghias, tetapi yang memilih adalah nafsu.
Di sinilah jihad terbesar dilakukan:
bukan melawan orang lain, tetapi melawan diri sendiri.
4. Jalan Terbaik: Menjadikan Allah Kompas dan Tujuan
Dalam perjalanan hidup ini, manusia sering tersesat bukan karena ia tidak mengenal jalan, tetapi karena ia melupakan tujuan.
Jika tujuan hidup adalah Allah:
• setiap jatuh akan menjadi pelajaran,
• setiap ujian menjadi penguat,
• setiap penyesalan menjadi pintu taubat.
Namun jika tujuan hidup adalah hawa nafsu:
• waktu akan habis dalam kesia-siaan,
• umur akan hilang dalam mengejar bayangan,
• dan hati akan kering meski kehidupan tampak penuh kesenangan.
Allah tidak meminta kita menjadi sempurna.
Allah hanya meminta:
ketulusan dalam mencari-Nya,
dan kesungguhan dalam meninggalkan apa yang menjauhkan dari-Nya.
5. Harapan: Selama Hati Masih Bergetar, Maka Pintu Masih Terbuka
Selama hati masih merasa:
• sedih ketika jauh dari Allah,
• takut ketika ingat maut,
• rindu saat mendengar ayat-ayat-Nya,
• dan malu ketika menatap dosa,
maka itu tanda Allah belum mencabutmu dari perhatian-Nya.
Orang yang benar-benar celaka adalah yang:
• melakukan dosa tanpa rasa salah,
• meninggalkan ibadah tanpa rasa kehilangan,
• bahkan bangga dalam maksiat dan keras dalam kebenaran.
Semoga Allah melindungi kita dari keadaan seperti itu.
Doa Penutup
اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ نُفُوسَنَا مَلِكَةً عَلَيْنَا،
وَلَا تَجْعَلْ أَهْوَاءَنَا قَائِدَةً لِحَيَاتِنَا،
وَأَعِنَّا عَلَىٰ جِهَادِهَا، وَقَهْرِهَا، وَتَسْخِيرِهَا لِطَاعَتِكَ.
وَاجْعَلْنَا مِمَّنْ إِذَا زَلُّوا تَابُوا، وَإِذَا بَعُدُوا رَجَعُوا، وَإِذَا ضَعِفُوا اسْتَعَانُوا بِكَ.
Aamiin, ya Rabbal ‘alamin.
Penutup
Hikmah Ibnu Athaillah ini mengajarkan bahwa:
• manusia boleh salah,
• boleh jatuh,
• boleh tersesat,
selama ia tidak menyerahkan hatinya kepada hawa nafsu.
Karena yang tersesat masih mungkin kembali — tetapi yang diperbudak hawa nafsu tidak lagi ingin kembali.
Semoga Allah menjadikan kita hamba yang terus berjalan, walaupun lambat…
karena yang penting kita bergerak menuju-Nya, bukan menjauh dari-Nya.
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)