TintaSiyasi.id -- Menyikapi krisis ekologi berupa banjir bandang dan longsor di beberapa wilayah Indonesia saat ini, Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) mengajukan sebuah solusi peradaban melalui penerapan syariat kaffah.
“Krisis ekologi berupa banjir dan longsor
di beberapa wilayah Indonesia saat ini perlu solusi peradaban melalui penerapan
syariat kaffah,” lugas HILMI kepada TintaSiyasi.ID, Senin (01/12/2025).
“Syariat kaffah didefinisikan sebagai
sistem yang menyatukan tauhid sebagai pusat orientasi, syariat sebagai batas
ekonomi, keadilan sebagai fondasi politik, ilmu sebagai alat memahami alam, dan
amanah sebagai prinsip pengelolaan sumber daya,” tutur HILMI.
Dalam perspektif syariat, manusia
adalah khalifah (pengelola dan penjaga), bukan pemilik bumi, dan akan
dimintai pertanggungjawaban atas hutan, sungai, gunung, hingga udara yang
dikotori.
HILMI menekankan bahwa syariat
yang berilmu akan:
- Mengharamkan kerusakan, meskipun secara ekonomi
menguntungkan.
- Menolak kekayaan yang lahir dari kehancuran
ekologis.
- Mengutamakan daya dukung alam di atas ambisi
pertumbuhan semu.
- Mengintegrasikan sains iklim, geologi, hidrologi,
dan tata ruang dalam setiap kebijakan publik.
Sekularisme
HILMI mengidentifikasi bahwa akar
terdalam dari krisis ekologi dan bencana alam yang beruntun bukanlah
semata-mata masalah energi atau hutan, melainkan krisis pandangan hidup.
“Krisis ini berawal ketika sekularisme
memisahkan agama dari urusan publik, menyingkirkan etika dari ekonomi, dan
mengeluarkan Tuhan dari pembangunan. Akibatnya, alam tidak lagi dipandang
sebagai amanah, tetapi hanya sebagai komoditas,” ulas HILMI.
Misalnya, HILMI mencontohkan gunung
dilihat sebagai cadangan nikel, dan hutan sebagai hektare konsesi. “Kondisi ini
dipercepat oleh kapitalisme yang menjadikan laba sebagai tujuan tertinggi, di
mana kerusakan lingkungan dianggap hanya sebagai biaya eksternal,” tandas HILMI.
“Indonesia saat ini berada di
persimpangan: tetap menjadi pemasok bahan mentah dengan risiko ekologis
ekstrem, atau bertransformasi menjadi peradaban berilmu, berakhlak, dan
berdaulat ekologi,” urai HILMI.
“Jika memilih jalan kedua, maka ilmu
pengetahuan harus menjadi dasar kebijakan, dan syariat harus menjadi ruh tata
kelola. Yang paling berbahaya bukanlah bencana alam itu sendiri, melainkan peradaban
yang menolak belajar dari bencana,” tutup HILMI.[] Rere
