Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

HILMI Tawarkan Syariat Kaffah untuk Atasi Krisis Ekologi

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:13 WIB Last Updated 2025-12-04T22:13:17Z

TintaSiyasi.id -- Menyikapi krisis ekologi berupa banjir bandang dan longsor di beberapa wilayah Indonesia saat ini, Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) mengajukan sebuah solusi peradaban melalui penerapan syariat kaffah.

 

“Krisis ekologi berupa banjir dan longsor di beberapa wilayah Indonesia saat ini perlu solusi peradaban melalui penerapan syariat kaffah,” lugas HILMI kepada TintaSiyasi.ID, Senin (01/12/2025).

 

“Syariat kaffah didefinisikan sebagai sistem yang menyatukan tauhid sebagai pusat orientasi, syariat sebagai batas ekonomi, keadilan sebagai fondasi politik, ilmu sebagai alat memahami alam, dan amanah sebagai prinsip pengelolaan sumber daya,” tutur HILMI.

 

Dalam perspektif syariat, manusia adalah khalifah (pengelola dan penjaga), bukan pemilik bumi, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas hutan, sungai, gunung, hingga udara yang dikotori.

 

HILMI menekankan bahwa syariat yang berilmu akan:

 

  1. Mengharamkan kerusakan, meskipun secara ekonomi menguntungkan.

 

  1. Menolak kekayaan yang lahir dari kehancuran ekologis.

 

  1. Mengutamakan daya dukung alam di atas ambisi pertumbuhan semu.

 

  1. Mengintegrasikan sains iklim, geologi, hidrologi, dan tata ruang dalam setiap kebijakan publik.

 

Sekularisme

 

HILMI mengidentifikasi bahwa akar terdalam dari krisis ekologi dan bencana alam yang beruntun bukanlah semata-mata masalah energi atau hutan, melainkan krisis pandangan hidup.

 

“Krisis ini berawal ketika sekularisme memisahkan agama dari urusan publik, menyingkirkan etika dari ekonomi, dan mengeluarkan Tuhan dari pembangunan. Akibatnya, alam tidak lagi dipandang sebagai amanah, tetapi hanya sebagai komoditas,” ulas HILMI.

 

Misalnya, HILMI mencontohkan gunung dilihat sebagai cadangan nikel, dan hutan sebagai hektare konsesi. “Kondisi ini dipercepat oleh kapitalisme yang menjadikan laba sebagai tujuan tertinggi, di mana kerusakan lingkungan dianggap hanya sebagai biaya eksternal,” tandas HILMI.

 

“Indonesia saat ini berada di persimpangan: tetap menjadi pemasok bahan mentah dengan risiko ekologis ekstrem, atau bertransformasi menjadi peradaban berilmu, berakhlak, dan berdaulat ekologi,” urai HILMI.

 

“Jika memilih jalan kedua, maka ilmu pengetahuan harus menjadi dasar kebijakan, dan syariat harus menjadi ruh tata kelola. Yang paling berbahaya bukanlah bencana alam itu sendiri, melainkan peradaban yang menolak belajar dari bencana,” tutup HILMI.[] Rere

Opini

×
Berita Terbaru Update