"Menariknya, dalam sistem
Daulah Islam, belum dikenal istilah “Bencana Nasional”. Bukan karena bencana
dianggap remeh, melainkan karena konsep tersebut tidak diperlukan,"
ucapnya kepada TintaSiyasi.ID, pads Selasa (23/12/2025).
HILMI menjelaskan dalam kitab Nizham
al-Hukm fi al-Islam, An-Nabhani menegaskan bahwa negara Islam adalah negara
kesatuan dengan kewajiban langsung mengurus urusan rakyat (ri‘āyah
asy-syu’ūn) tanpa dikotomi pusat hingga daerah.
“Seperti halnya sebuah hadis Nabi
dari Al-Bukhari dan Al-Muslim yang menerangkan bahwa imam adalah pengurus dan
ia bertanggung jawab atas rakyatnya,” ujarnya.
"Artinya, ketika satu
wilayah tertimpa musibah besar, itu otomatis menjadi urusan negara secara
keseluruhan. Tidak perlu deklarasi status, tidak ada perdebatan
kewenangan," terang HILMI.
Adapun, HILMI menuturkan, dalam
kerangka fikih siyasah bahwa bahaya publik (ḍarar ‘āmm) wajib
dihilangkan dan negara wajib menyediakan pangan, tempat tinggal, dan keamanan.
“Untuk dana diambil dari baitulmal,
serta jika tidak cukup, negara boleh tarik pajak darurat (ḍarībah) dari
kaum Muslim yang mampu,” terang HILMI.
Sibuk dengan Label
“Perdebatan 'nasional atau tidak'
sering mengaburkan substansi. Publik diarahkan pada nama, bukan pada skala
penderitaan manusia, kegagalan mitigasi struktural dan tanggung jawab negara
jangka panjang," jelas HILMI.
Alhasil, HILMI menyayangkan
padahal bencana yang lintas wilayah, berulang dan semakin parah seharusnya
dibaca sebagai alarm sistemik bukan sekedar musibah insidental.
"Ketika negara enggan
menyebutnya bencana skala nasional, pesan implisit yang muncul adalah ini masih
wajar dan ini bukan kegagalan tata kelola," ujarnya.
Lebih lanjut, HILMI menyebut
bahwa bencana selalu menjadi cermin telanjang bagi negara. “Bencana Sumatera
memperlihatkan seberapa cepat negara bertindak, seberapa jujur negara mengakui
sebab dan seberapa berani negara bertanggung jawab,” beber HILMI.
"Dalam konteks ini,
pertanyaan yang lebih penting bukan apakah ini bencana nasional? Melainkan
pakah negara siap mengakui bahwa ini adalah masalah struktural yang menuntut
perubahan kebijakan, bukan sekadar bantuan darurat?” kata HILMI.
“Tanpa pengakuan skala dan akar
masalah, bencana akan terus berulang, sementara istilah “nasional” akan tetap
menjadi komoditas politik, bukan instrumen perlindungan rakyat," tutupnya.[]
Taufan
