Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

HILMI: Status Bencana Nasional Tidak Diperlukan dalam Daulah Islam

Rabu, 24 Desember 2025 | 14:09 WIB Last Updated 2025-12-24T07:09:27Z

TintaSiyasi.id -- Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) mengatakan istilah status penetapan bencana nasional belum dikenal saat sistem Daulah Islam masih berdiri, bukan soal dianggap remeh tetapi konsep tersebut tidak diperlukan.

 

"Menariknya, dalam sistem Daulah Islam, belum dikenal istilah “Bencana Nasional”. Bukan karena bencana dianggap remeh, melainkan karena konsep tersebut tidak diperlukan," ucapnya kepada TintaSiyasi.ID, pads Selasa (23/12/2025).

 

HILMI menjelaskan dalam kitab Nizham al-Hukm fi al-Islam, An-Nabhani menegaskan bahwa negara Islam adalah negara kesatuan dengan kewajiban langsung mengurus urusan rakyat (ri‘āyah asy-syu’ūn) tanpa dikotomi pusat hingga daerah.

 

“Seperti halnya sebuah hadis Nabi dari Al-Bukhari dan Al-Muslim yang menerangkan bahwa imam adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya,” ujarnya.

 

"Artinya, ketika satu wilayah tertimpa musibah besar, itu otomatis menjadi urusan negara secara keseluruhan. Tidak perlu deklarasi status, tidak ada perdebatan kewenangan," terang HILMI.

 

Adapun, HILMI menuturkan, dalam kerangka fikih siyasah bahwa bahaya publik (ḍarar ‘āmm) wajib dihilangkan dan negara wajib menyediakan pangan, tempat tinggal, dan keamanan.

 

“Untuk dana diambil dari baitulmal, serta jika tidak cukup, negara boleh tarik pajak darurat (ḍarībah) dari kaum Muslim yang mampu,” terang HILMI.

 

Sibuk dengan Label

 

“Perdebatan 'nasional atau tidak' sering mengaburkan substansi. Publik diarahkan pada nama, bukan pada skala penderitaan manusia, kegagalan mitigasi struktural dan tanggung jawab negara jangka panjang," jelas HILMI.

 

Alhasil, HILMI menyayangkan padahal bencana yang lintas wilayah, berulang dan semakin parah seharusnya dibaca sebagai alarm sistemik bukan sekedar musibah insidental.

 

"Ketika negara enggan menyebutnya bencana skala nasional, pesan implisit yang muncul adalah ini masih wajar dan ini bukan kegagalan tata kelola," ujarnya.

 

Lebih lanjut, HILMI menyebut bahwa bencana selalu menjadi cermin telanjang bagi negara. “Bencana Sumatera memperlihatkan seberapa cepat negara bertindak, seberapa jujur negara mengakui sebab dan seberapa berani negara bertanggung jawab,” beber HILMI.

                                                                        

"Dalam konteks ini, pertanyaan yang lebih penting bukan apakah ini bencana nasional? Melainkan pakah negara siap mengakui bahwa ini adalah masalah struktural yang menuntut perubahan kebijakan, bukan sekadar bantuan darurat?” kata HILMI.

 

“Tanpa pengakuan skala dan akar masalah, bencana akan terus berulang, sementara istilah “nasional” akan tetap menjadi komoditas politik, bukan instrumen perlindungan rakyat," tutupnya.[] Taufan

Opini

×
Berita Terbaru Update