“(Kami) menyoroti kerusakan negeri
ini terkait tatanan hukum, sosial, dan integritas akademik di Indonesia,” ujar
HILMI, Senin (29/12/2025).
HILMI menilai norma hukum saat ini
rentan didistorsi oleh kekuatan ekonomi dan politik, seperti yang terlihat
dalam konflik kebijakan ‘pagar laut’ dan sengketa royalti musik di sektor
ekonomi kreatif.
“Tanpa prinsip qist
(keadilan), hukum hanya menjadi instrumen kezaliman yang memicu konflik sosial,”
tandas HILMI.
Krisis itu disebut HILMI merembet ke
dimensi sosial dengan maraknya judi online dan pinjaman online
(pinjol) yang menjerat sekitar 146 juta warga Indonesia.
“Fenomena ini melanggar larangan maisir
(judi) dan riba, sehingga merusak stabilitas psikologis masyarakat,” nilai
HILMI.
Di sisi lain, HILMI memandang bencana
budaya terlihat dari arogansi pejabat publik yang kerap mengeluarkan narasi
tidak akurat dan tidak konsisten, yang memperlemah otoritas moral negara.
“Islam mewajibkan adab dalam berucap dan tanggung jawab sosial atas setiap kata
yang dikeluarkan,” seru HILMI.
Sektor teknologi dan pendidikan pun
menurut HILMI tidak luput dari krisis integritas akademik.
“Munculnya inovasi "bodong"
atau pseudosains, serta praktik plagiasi di kalangan akademisi yang menodai
amanah ilmu,” kritik HILMI.
Untuk mengatasi hal itu, HILMI
mengusulkan rekonstruksi hukum publik berbasis syariat, penguatan literasi
keuangan digital, serta penegakan etika ilmiah melalui dewan etik akademik
nasional.
“Penilaian kinerja pejabat juga harus mencakup aspek moral dan etis, bukan sekadar kemampuan teknis,” tandas HILMI.[] Rere
.jpeg)