“Sebagai resolusi akhir, kami
menawarkan kerangka kerja (framework) berbasis tauhid sebagai pilar kepedulian sosial dan keadilan syariat
sebagai asas hukum,” jelas HILMI kepada TintaSiyasi.ID, Senin
(29/12/2025).
Melalui Intellectual Opinion No.
033 berjudul Bencana Multidimensi dan Solusi Perspektif Islam, solusi
yang diusulkan meliputi manajemen bencana berbasis komunitas melalui masjid,
restorasi ekologis melalui wakaf lahan, serta audit keselamatan wajib bagi
bangunan lembaga pendidikan agama.
“Penerapan syariat secara kaffah dan
integrasi etika ilmiah adalah kunci transformasi peradaban untuk keluar dari
krisis multidimensi ini,” tegas HILMI.
Krisis multidimensi saat ini,
dikatakan HILMI ibarat sebuah tubuh yang mengalami komplikasi penyakit di
berbagai organ secara bersamaan.
“Mengobati satu organ (misalnya hanya
ekonomi) tanpa memperbaiki sistem saraf (hukum) atau metabolisme (budaya) tidak
akan menyembuhkan pasien. Islam menawarkan "protokol kesehatan
menyeluruh" melalui nilai-nilai tauhid dan syariat untuk memulihkan
seluruh sistem tubuh tersebut secara terintegrasi,” beber HILMI.
Bencana alam dan krisis tata kelola
lembaga keagamaan didiagnosis sebagai "sistem krisis. "Banjir bandang
di Sumatra (Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat) telah menyebabkan 103.613
debitur terdampak, yang menunjukkan rapuhnya manajemen risiko lingkungan di
Indonesia,” ungkap HILMI.
“Menjaga bumi (khilafah fil ard)
adalah amanah Ilahi, dan setiap pengrusakan lingkungan melanggar prinsip la
darar wa la dirar (tidak boleh saling mencelakai),” urai HILMI.
Di sektor keagamaan, insiden robohnya
bangunan pesantren tanpa investigasi memadai serta kisruh internal organisasi
besar seperti PBNU menandakan adanya masalah struktural.
“Fenomena ini menyebabkan umat
kehilangan rujukan moral dan sosial. HILMI menekankan pentingnya tadabur dan tazkiyah—pembinaan
internal dan akuntabilitas—dalam institusi agama agar tragedi fisik maupun
organisasi tidak terus berulang,” tutup HILMI menjelaskan.[] Rere
