"Dalam konteks terjadinya bencana yang luar biasa
di Aceh itu maka seluruh sanksi gabungan bisa dikenakan. Bukan hanya takzir, bukan
hanya mereka harus dikembalikan atau dirampas harta mereka, termasuk juga
mereka harus mengganti, karena apa yang diambil, keuntungan berupa triliunan
bahkan ribuan triliun uang hasil dari pembalakan hutan itu jelas bukan milik
mereka," ujarnya dikutip TintaSiyasi.ID dari kanal YouTube One
Ummah TV: Dari Krisis Ekologis Menuju Solusi Ideologis, Jumat (26/12/2025).
Arief menyebutkan, dalam kasus bencana Sumatra dengan
korban jiwa lebih dari 1.000 orang, ratusan ribu kehilangan tempat tinggal dan
kerugian lainnya, penyebabnya jelas merupakan sebuah kejahatan yang tidak bisa
dihukum secara ringan.
“Banjir bandang dan tanah longsor di tiga provinsi,
yaitu Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat itu bukan bencana alam biasa,
melainkan sebagai akibat dari ulah tangan manusia, yakni para pelaku pembalakan
hutan termasuk yang berizin,” terangnya.
Lebih lanjut, ia menerangkan, sekalipun secara undang-undang
negara hari ini para pengusaha pembalak hutan berizin tersebut legal, tetapi
dalam pandangan hukum Islam, hal itu ilegal bahkan termasuk tindakan kriminal.
"Baik pengusahanya ataupun pejabatnya yang
memberikan izin, sama-sama ingin melakukan tindakan kalau dalam konteks Islam
itu ilegal gitu, ya. Bahkan ya kriminal. Itu disebut dengan tadi al-wuqu' bi
ma'shiyatillah tadi (terjerumus dalam kemaksiatan),” ujarnya.
“Mereka betul-betul melakukan kemaksiatan kepada
Allah, baik kemudian pengusahanya maupun negaranya karena mereka mengabaikan
hukum-hukum Allah," imbuhnya.
Arief mengatakan bahwa alam itu merupakan amanah dari
Allah kepada manusia sebagai khalifatul-ardi (khalifah di muka bumi). “Ada
banyak ayat yang menyebutkan larangan merusak bumi. angan sampai kita ini
membuat kerusakan. Dalam QS Al-Baqarah 161, intinya janganlah kalian berbuat
kerusakan di bumi," ujarnya.
Arief juga mengatakan bahwa penerapan sistem hukum
Islam itu tegas, tanpa pandang bulu. “Hal ini menunjukkan komitmen Rasululullah
sendiri bahwa Beliau akan sangat tegas. Sebagaimana disebutkan dalam hadis, “Andai
anakku Fatimah mencuri, maka pasti akan aku potong tangannya.’,” nukilnya.
Ketegasan hukum Islam, menurut Arief tidak dijumpai
dalam hukum saat ini yang standar moralnya tidak ada.
“Buktinya terdapat pelaku kejahatan penambang ilegal
asal Cina baru-baru ini dibebaskan, padahal menyebabkan 1 triliun kerugian
negara. Dalam kasus lainnya, ada yang menyetor kepada aparat 340 miliar. Hal
ini merupakan bukti bahwa hukum buatan manusia berpotensi terjadi banyak
kepentingan, bahkan bisa diperjualbelikan,” lugasnya.
"Intinya apa, ketika hukum dibuat oleh manusia,
ketika hukum dilaksanakan oleh manusia, dibuat oleh manusia, pelaksananya
manusia, maka akan terjadi yang namanya kepentingan. Sementara Allah dan
Rasul-Nya, ketika menerapkan hukum Islam, tidak ada kepentingan apa pun kecuali
untuk kemaslahatan manusia. Maka tentu kemudian sebagai seorang Muslim,
harusnya kita meyakini hukum-hukum Allah yang terbaik," ujarnya.
Persoalan Sistem
Arief menilai, krisis ekologis, moral, sosial,
ekonomi, dan berbagai krisis lainnya yang melanda saat ini bukan hanya
persoalan teknis, tetapi menyangkut sistem dan regulasi.
“Hal paling mendasar yang menjadi akar persoalan atau bencana
ini ialah tidak berhukum dengan hukum Allah,” tegasnya seraya mengutip
Al-Qur'an surah Ar-Rum ayat 41.
"Telah tampak kerusakan (fasad) di darat dan
laut akibat ulah tangan manusia. Menurut Imam Asy-Syaukani bahwa fasad
tersebut akibat al-kufru billah (kufur kepada Allah) dan al-wuqu fi
ma'ishihi (melakukan maksiat kepada-Nya),” ucapnya mensyarah..
Menurutnya, kesempitan hidup yang dirasakan manusia
saat ini, yakni berbagai penderitaan terjadi sekalipun kekayaan alam negeri ini
melimpah, semua itu akibat bermaksiat kepada Allah, yakni mencampakkan hukum
Allah.
"Ketika negeri ini yang mayoritas Muslim
bermaksiat dengan kemudian mencampakkan aturan Allah, itulah yang terjadi:
kerusakan demi kerusakan. Bukan hanya dalam konteks ekologis, moral, ekonomi,
politik, hukum dan seterusnya. Itu akibat kerusakan yang terjadi karena manusia
betul-betul bermaksiat pada Allah dengan mencampakkan hukumnya Allah,"
terangnya.
Arief menyebut, dalam konteks krisis ekologis
misalnya, fakta ironis justru terjadi, pembalakan hutan di Tanah Air setelah
kemerdekaan justru jauh lebih besar dibandingkan sekian dekade masa penjajahan.
"VOC saja, Belanda menjajah 350 tahun hanya
menebang hutan 600.000 hektare. Justru di era kemerdekaan, dari zaman Soeharto
sampai Joko Widodo, itu sampai 150 juta hektare. Pertanyaannya, kok bisa di era
kemerdekaan lebih buruk daripada di era penjajahan? Karena akarnya sama, sistem
kapitalisme yang digunakan," tegasnya.
Karena merupakan persoalan sistem, menurutnya, maka
solusi yang efektif yang mendasar dari krisis yang terjadi ini adalah kembali
kepada Allah dengan menerapkan syariat Islam.
"Di ujung ayat Ar-Rum 41 kemudian dikatakan, ‘Supaya
mereka merasakan akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali.' Nah, kalau
berharap mereka itu kembali, kembali ke mana? kembali kepada Allah, kembali
kepada syariat Allah Swt. Maka (itulah) pentingnya kita sebagai seorang Muslim
yang meyakini Al-Qur'an sebagai kitab kita, sebagai pedoman hidup kita, sebagai
sumber hukum kita, maka harusnya kita kembali kepada Al-Qur'an,"
pungkasnya.[] Saptaningtyas
