Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Banjir Sumatra, Cendekiawan: Pelaku Pembalakan Hutan dan Pejabat Pemberi Izin Bisa Dikenai Sanksi Berlapis

Rabu, 31 Desember 2025 | 22:52 WIB Last Updated 2025-12-31T15:52:16Z

TintaSiyasi.id -- Mengamati banjir bandang dahsyat yang melanda Sumatra akhir November lalu, Penulis dan Cendekiawan Muslim Arief B. Iskandar menilai bahwa konsekuensi hukuman bagi para pelaku pembalakan hutan termasuk para pejabat yang memberikan izin, jika ditinjau menurut sistem hukum Islam, bisa dikenai sanksi berlapis.

 

"Dalam konteks terjadinya bencana yang luar biasa di Aceh itu maka seluruh sanksi gabungan bisa dikenakan. Bukan hanya takzir, bukan hanya mereka harus dikembalikan atau dirampas harta mereka, termasuk juga mereka harus mengganti, karena apa yang diambil, keuntungan berupa triliunan bahkan ribuan triliun uang hasil dari pembalakan hutan itu jelas bukan milik mereka," ujarnya dikutip TintaSiyasi.ID dari kanal YouTube One Ummah TV: Dari Krisis Ekologis Menuju Solusi Ideologis, Jumat (26/12/2025).

 

Arief menyebutkan, dalam kasus bencana Sumatra dengan korban jiwa lebih dari 1.000 orang, ratusan ribu kehilangan tempat tinggal dan kerugian lainnya, penyebabnya jelas merupakan sebuah kejahatan yang tidak bisa dihukum secara ringan.

 

“Banjir bandang dan tanah longsor di tiga provinsi, yaitu Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat itu bukan bencana alam biasa, melainkan sebagai akibat dari ulah tangan manusia, yakni para pelaku pembalakan hutan termasuk yang berizin,” terangnya.

 

Lebih lanjut, ia menerangkan, sekalipun secara undang-undang negara hari ini para pengusaha pembalak hutan berizin tersebut legal, tetapi dalam pandangan hukum Islam, hal itu ilegal bahkan termasuk tindakan kriminal.

 

"Baik pengusahanya ataupun pejabatnya yang memberikan izin, sama-sama ingin melakukan tindakan kalau dalam konteks Islam itu ilegal gitu, ya. Bahkan ya kriminal. Itu disebut dengan tadi al-wuqu' bi ma'shiyatillah tadi (terjerumus dalam kemaksiatan),” ujarnya.

 

“Mereka betul-betul melakukan kemaksiatan kepada Allah, baik kemudian pengusahanya maupun negaranya karena mereka mengabaikan hukum-hukum Allah," imbuhnya.

 

Arief mengatakan bahwa alam itu merupakan amanah dari Allah kepada manusia sebagai khalifatul-ardi (khalifah di muka bumi). “Ada banyak ayat yang menyebutkan larangan merusak bumi. angan sampai kita ini membuat kerusakan. Dalam QS Al-Baqarah 161, intinya janganlah kalian berbuat kerusakan di bumi," ujarnya.

 

Arief juga mengatakan bahwa penerapan sistem hukum Islam itu tegas, tanpa pandang bulu. “Hal ini menunjukkan komitmen Rasululullah sendiri bahwa Beliau akan sangat tegas. Sebagaimana disebutkan dalam hadis, “Andai anakku Fatimah mencuri, maka pasti akan aku potong tangannya.’,” nukilnya.

 

Ketegasan hukum Islam, menurut Arief tidak dijumpai dalam hukum saat ini yang standar moralnya tidak ada.

 

“Buktinya terdapat pelaku kejahatan penambang ilegal asal Cina baru-baru ini dibebaskan, padahal menyebabkan 1 triliun kerugian negara. Dalam kasus lainnya, ada yang menyetor kepada aparat 340 miliar. Hal ini merupakan bukti bahwa hukum buatan manusia berpotensi terjadi banyak kepentingan, bahkan bisa diperjualbelikan,” lugasnya.

 

"Intinya apa, ketika hukum dibuat oleh manusia, ketika hukum dilaksanakan oleh manusia, dibuat oleh manusia, pelaksananya manusia, maka akan terjadi yang namanya kepentingan. Sementara Allah dan Rasul-Nya, ketika menerapkan hukum Islam, tidak ada kepentingan apa pun kecuali untuk kemaslahatan manusia. Maka tentu kemudian sebagai seorang Muslim, harusnya kita meyakini hukum-hukum Allah yang terbaik," ujarnya.

 

Persoalan Sistem

 

Arief menilai, krisis ekologis, moral, sosial, ekonomi, dan berbagai krisis lainnya yang melanda saat ini bukan hanya persoalan teknis, tetapi menyangkut sistem dan regulasi.

 

“Hal paling mendasar yang menjadi akar persoalan atau bencana ini ialah tidak berhukum dengan hukum Allah,” tegasnya seraya mengutip Al-Qur'an surah Ar-Rum ayat 41. 

 

"Telah tampak kerusakan (fasad) di darat dan laut akibat ulah tangan manusia. Menurut Imam Asy-Syaukani bahwa fasad tersebut akibat al-kufru billah (kufur kepada Allah) dan al-wuqu fi ma'ishihi (melakukan maksiat kepada-Nya),” ucapnya mensyarah..

 

Menurutnya, kesempitan hidup yang dirasakan manusia saat ini, yakni berbagai penderitaan terjadi sekalipun kekayaan alam negeri ini melimpah, semua itu akibat bermaksiat kepada Allah, yakni mencampakkan hukum Allah.

 

"Ketika negeri ini yang mayoritas Muslim bermaksiat dengan kemudian mencampakkan aturan Allah, itulah yang terjadi: kerusakan demi kerusakan. Bukan hanya dalam konteks ekologis, moral, ekonomi, politik, hukum dan seterusnya. Itu akibat kerusakan yang terjadi karena manusia betul-betul bermaksiat pada Allah dengan mencampakkan hukumnya Allah," terangnya.

 

Arief menyebut, dalam konteks krisis ekologis misalnya, fakta ironis justru terjadi, pembalakan hutan di Tanah Air setelah kemerdekaan justru jauh lebih besar dibandingkan sekian dekade masa penjajahan.

 

"VOC saja, Belanda menjajah 350 tahun hanya menebang hutan 600.000 hektare. Justru di era kemerdekaan, dari zaman Soeharto sampai Joko Widodo, itu sampai 150 juta hektare. Pertanyaannya, kok bisa di era kemerdekaan lebih buruk daripada di era penjajahan? Karena akarnya sama, sistem kapitalisme yang digunakan," tegasnya.

 

Karena merupakan persoalan sistem, menurutnya, maka solusi yang efektif yang mendasar dari krisis yang terjadi ini adalah kembali kepada Allah dengan menerapkan syariat Islam.

 

"Di ujung ayat Ar-Rum 41 kemudian dikatakan, ‘Supaya mereka merasakan akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali.' Nah, kalau berharap mereka itu kembali, kembali ke mana? kembali kepada Allah, kembali kepada syariat Allah Swt. Maka (itulah) pentingnya kita sebagai seorang Muslim yang meyakini Al-Qur'an sebagai kitab kita, sebagai pedoman hidup kita, sebagai sumber hukum kita, maka harusnya kita kembali kepada Al-Qur'an," pungkasnya.[] Saptaningtyas

Opini

×
Berita Terbaru Update