Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kapitalisasi Air: Antara Klaim dan Kenyataan

Senin, 03 November 2025 | 14:15 WIB Last Updated 2025-11-03T07:15:52Z

Tintasiyasi.id.com -- Air adalah anugerah Ilahi, rahmat yang menopang kehidupan manusia, tumbuhan, dan seluruh ciptaan-Nya. Namun, ketika air dijadikan komoditas, ketika sumber daya ini dikapitalisasi, hak atas kehidupan menjadi taruhannya.

Kasus polemik Aqua baru-baru ini menggambarkan bagaimana sebuah perusahaan raksasa dapat mengubah alur air menjadi alur laba, sambil membungkusnya dalam narasi “alamiah” yang seolah tak tercela.

Ketika Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, melakukan sidak ke pabrik Aqua, publik dibuat tercengang oleh jawaban seorang staf perusahaan: air yang mereka gunakan ternyata datang dari bawah permukaan, melalui proses pengeboran atau sumur bor, bukan seperti klaim selama ini yang menekankan “mata air pegunungan.” (detik.com, 25 Oktober 2025).

Dalam respons publik terhadap kontroversi tersebut, Danone selaku pemilik merek Aqua menyatakan bahwa air yang digunakan berasal dari akuifer dalam pada kedalaman antara sekitar 60–140 meter, dan bukan dari air permukaan maupun air tanah dangkal (Tempo, 23 Oktober 2025).

Namun penjelasan itu tidak meredam skeptisisme publik. Indonesia Halal Watch (IHW) menegaskan bahwa apabila bahan baku air yang diklaim dalam izin edar BPOM dan sertifikasi halal ternyata berbeda dari praktik lapangan, maka tindakan itu dapat memenuhi unsur pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 8). (Media Indonesia, 25 Oktober 2025) 

IHW bahkan mengingatkan kemungkinan pencabutan izin edar dan pembatalan sertifikasi halal, serta penurunan materi promosi seperti billboard dan iklan di ruang publik (MerahPutih, 24 Oktober 2025).

Selanjutnya, Komisi Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menyatakan akan memanggil pihak Aqua guna klarifikasi sumber air produksi. Menurut mereka, jika klaim iklan berbeda dari fakta di lapangan, itu adalah penipuan kepada konsumen yang berhak mengetahui asal bahan produk (Media Indonesia, 24 Oktober 2025) 

Dan lebih lanjut, Data dari Media Indonesia menyebut bahwa Aqua menegaskan bahwa 19 titik sumber air mereka tersebar di lokasi pegunungan, dan bahwa pemilihan titik sumber melalui seleksi ilmiah yang ketat (Media Indonesia, 27 Oktober 2025).

Pakar hidrogeologi dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Heru Hendrayana, ikut bersuara dalam polemik ini. Menurutnya, penentuan apakah suatu air dapat disebut “pegunungan” harus berdasarkan kajian isotop dan hidrologi yang mendetail. Dalam kasus Aqua, hasil penelitian isotop menunjukkan karakteristik “DNA air” yang selaras dengan sistem pegunungan—yang berarti air tersebut memiliki kesamaan dengan air dari wilayah tangkapan hujan pegunungan, meskipun diambil melalui bor di lereng atau area lain dalam sistem hidrologi pegunungan (Media Indonesia, 27 Oktober 2025).

Prof. Heru juga mengingatkan bahwa klaim “air pegunungan” tidak bisa disematkan secara sembarangan; satu tidak bisa langsung menerjemahkan bahwa sumber air selalu muncul di puncak gunung (Media Indonesia, 27 Oktober 2025).

Ketika pengambilan air tanah dalam terus dilakukan tanpa pemulihan yang memadai, muka air tanah dapat menurun. Mata air yang selama ini menjadi sumber penduduk lokal bisa kering. 

Amblesan dan keretakan tanah bisa muncul ketika ruang kosong bawah permukaan tidak lagi menopang struktur geologi. Di beberapa wilayah, warga melaporkan sumur mereka mengering sementara sumur perusahaan tetap aktif mengebor.

Terlebih lagi, proses kapitalisasi air tidak hadir dalam kerangka keadilan. Korporasi besar memiliki akses teknologi, modal, izin, dan kekuatan politik yang memungkinkan mereka mengamankan hak eksklusif atas sumber air, sementara masyarakat lokal yang bergantung pada sumur dan mata air kecil dikesampingkan. 

Air sejatinya adalah kebutuhan dasar, namun di tangan kapitalisme, ia berubah wujud menjadi komoditas, dipacu oleh target keuntungan dan pangsa pasar.

Dalam paradigma Islam, sumber daya alam seperti air adalah harta bersama (milkiyah ‘ammah) yang tidak boleh diklaim dimiliki oleh individu atau korporasi. Negara memegang amanah sebagai pengelola, bak pelayan publik, yang bertugas menjamin akses, menjaga kelestarian, dan mencegah eksploitasi yang merusak.

Dalam Islam, perdagangan harus berdasarkan kejujuran (as-sidq), transparansi, dan larangan menipu konsumen (al-mumani‘ ‘an il-ghishsh). Bila dalam pemerolehan izin, produsen mengklaim “air pegunungan” namun kenyataannya memakai sumur bor dalam tanpa bukti ilmiah transparan, itu adalah manipulasi moral. Negara wajib menyelidiki dan menindak; regulasi tidak boleh dikalahkan oleh kekuatan modal. 

Diperlukan audit berkala, batas pengambilan air yang berkelanjutan, zonasi menjaga tangkapan air, serta sanksi keras terhadap pelanggaran — mulai dari pencabutan izin hingga ganti rugi lingkungan.

Jika negara tetap bungkam di hadapan kapitalisasi air, kita akan kehilangan lebih dari sekadar air — kita kehilangan kemanusiaan, keadilan, dan amanah sebagai khalifah di muka bumi. Air yang seharusnya menjadi sumber rahmah berubah menjadi sumber sengsara. Dan ketika hak atas air hanya jadi milik segelintir, maka yang kering bukan hanya sumur di desa, melainkan nurani bangsa.[]

Oleh: Prayudisti SP
(Aktivis Muslimah)

Opini

×
Berita Terbaru Update