Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Ikatan Manusia dalam Masyarakat Menurut Taqiyuddin An-Nabhani (Kitab Nidzamul Islam)

Jumat, 07 November 2025 | 05:11 WIB Last Updated 2025-11-06T22:12:00Z
1. Manusia sebagai Makhluk Sosial

TintaSiyasi.id -- Syekh An-Nabhani menjelaskan bahwa manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang tidak dapat hidup sendirian. Ia selalu membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan materi (makan, tempat tinggal, keamanan) maupun kebutuhan maknawi (cinta, penghargaan, ketenangan batin). Karena itu, manusia membentuk masyarakat (al-mujtama‘ al-insani).
Namun, sekadar berkumpulnya manusia tidak otomatis membentuk masyarakat.

Menurut beliau, suatu masyarakat baru bisa disebut masyarakat apabila ada hubungan (ʿalaqah) antara manusia yang didasarkan pada pemikiran (fikrah) dan perasaan (nafsiyah) yang sama, serta diatur oleh sistem (nizhām) yang diterapkan dalam kehidupan mereka.

2. Tiga Jenis Ikatan Antar Manusia

Dalam membahas apa yang mengikat manusia satu sama lain, An-Nabhani mengidentifikasi tiga jenis ikatan utama (al-‘alaqāt allati tarbuthu al-nās fī al-mujtama‘):

a. Ikatan Kemaslahatan (Ribāth al-Maṣlaḥah)
Yaitu hubungan yang terbentuk karena adanya kepentingan bersama — baik ekonomi, politik, atau sosial.
Manusia bekerja sama karena saling membutuhkan atau karena ada keuntungan tertentu.
Namun, An-Nabhani menegaskan bahwa ikatan kemaslahatan ini sangat lemah dan sementara.
Ketika kepentingan hilang, maka hubungan pun lenyap.
Ia tidak bisa melahirkan loyalitas yang kokoh dan tidak bisa menjadi dasar bagi peradaban yang stabil, apalagi mengikat antar bangsa-bangsa di dunia.
"Ikatan kemaslahatan hanya menghubungkan manusia sejauh manfaat yang diperoleh. Ketika manfaat hilang, ikatan pun hancur."
(Nidzamul Islam, hlm. 28–29)

b. Ikatan Kerohanian (Ribāth ar-Rūḥī)
Yaitu hubungan yang dibangun atas dasar perasaan spiritual atau cinta antar sesama manusia, seperti kasih sayang, simpati, atau keinginan untuk hidup damai.
Ikatan ini bersifat emosional, tidak diatur oleh peraturan hukum, dan tidak memiliki pedoman rasional yang kokoh.
Karena itu, menurut An-Nabhani, ikatan ini lemah dan tidak mampu membentuk masyarakat yang teratur.
Ia bisa menjadi pelengkap kehidupan, tetapi tidak bisa menjadi dasar bagi pembangunan sistem sosial atau politik yang kuat.
“Ikatan kerohanian adalah perasaan lembut di antara manusia yang tidak memiliki aturan. Ia bersifat individual dan tidak dapat menjadi dasar bagi kehidupan bermasyarakat yang stabil.”
(Nidzamul Islam, hlm. 30)

c. Ikatan Ideologis (Ribāth al-Fikrī / al-‘Aqīdī)

Inilah ikatan yang paling kokoh dan satu-satunya yang dapat menyatukan umat manusia secara hakiki.
Ikatan ini didasarkan pada keyakinan yang sama tentang pandangan hidup (al-‘aqīdah), yang melahirkan sistem (nizhām) untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dirinya, dan sesamanya.
Dalam konteks Islam, ikatan ideologis itu adalah ‘aqīdah Islāmiyyah — keyakinan bahwa hanya Allah yang pantas disembah dan hanya hukum Allah (syari‘ah) yang pantas dijadikan pedoman hidup.
“Ikatan yang benar-benar mampu menyatukan manusia adalah ikatan ideologis (‘aqīdah fikriyyah). Sebab ia membangun kehidupan di atas pemikiran dan aturan yang jelas, bukan atas kepentingan atau perasaan.”
(Nidzamul Islam, hlm. 31)

3. Kelemahan Ikatan Kemaslahatan dan Kerohanian

An-Nabhani menegaskan bahwa dua ikatan pertama — kemaslahatan dan kerohanian — tidak akan pernah bisa menjadi dasar kokohnya masyarakat, karena:
1. Bersifat temporal dan relatif, berubah sesuai situasi.
Ketika manfaat hilang atau perasaan memudar, hubungan pun sirna.
2. Tidak menciptakan tatanan hukum yang mengikat.
Karena itu, ia tidak bisa mengatur hubungan antar bangsa secara adil dan berkelanjutan.
3. Rentan terhadap konflik kepentingan dan egoisme.
Kemaslahatan mendorong manusia mengejar keuntungan, bukan kebenaran.
Kerohanian mendorong kasih tanpa sistem keadilan, yang akhirnya juga rapuh.

Oleh karena itu, menurut beliau, dunia tidak akan pernah damai hanya dengan perasaan cinta antar sesama manusia, atau perjanjian politik semata — kecuali bila dasar kehidupannya adalah ideologi yang benar, yaitu Islam.

4. Islam sebagai Ikatan yang Hakiki dan Universal

Bagi An-Nabhani, Islam bukan sekadar agama ritual, tetapi ideologi yang menyatukan seluruh dimensi kehidupan — spiritual, moral, sosial, politik, dan hukum.
Islam menjadi ikatan ideologis universal yang mampu menyatukan manusia dengan dasar iman, bukan sekadar manfaat.
Islam mengatur:
• Hubungan manusia dengan Allah (ibadah dan aqidah)
• Hubungan manusia dengan dirinya sendiri (akhlak dan tazkiyah)
• Hubungan manusia dengan sesama manusia (muamalah, siyasah, hukum, dan keadilan sosial)
Maka, umat Islam yang berpegang pada aqidah dan syariah akan memiliki ikatan yang kokoh dan kekal, melampaui batas bangsa, ras, dan kepentingan ekonomi.

5. Refleksi Ruhani dan Sosial

Pandangan An-Nabhani ini bukan hanya analisis politik, tetapi juga peringatan ruhani:
Bahwa dunia modern hari ini sedang rapuh karena dibangun di atas ikatan manfaat dan emosi, bukan di atas iman dan nilai kebenaran.
Kita menyaksikan:
• Bangsa-bangsa bersekutu karena kepentingan ekonomi, lalu berperang karena perebutan sumber daya.
• Masyarakat bersatu karena emosi, lalu pecah karena perbedaan kecil.
• Umat Islam sendiri tercerai-berai karena meninggalkan ikatan aqidah dan lebih memilih ikatan materi.
Padahal, Allah telah menjadikan Islam sebagai tali pengikat sejati:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.”
(QS. Ali ‘Imran: 103)

6. Penutup Reflektif

Ikatan yang sejati bukanlah kesepakatan ekonomi atau rasa damai tanpa dasar iman,
tetapi ikatan yang menumbuhkan kesadaran spiritual dan keteraturan sosial dalam satu pandangan hidup yang benar — yakni Islam.
Maka, tugas kita hari ini adalah:
• Menghidupkan kembali ikatan aqidah di tengah masyarakat.
• Mendidik umat agar memahami Islam sebagai sistem hidup, bukan hanya ritual.
• Menumbuhkan ukhuwah ideologis, bukan sekadar emosional.
Karena hanya dengan itu, umat ini akan kembali menjadi ummatan wahidah — umat yang satu, kokoh dalam iman, dan kuat dalam peradaban.

Kesimpulan Singkat

Ikatan kemaslahatan dan kerohanian adalah ikatan yang lemah, tidak mampu membentuk masyarakat yang stabil atau menyatukan bangsa-bangsa.
Hanya ikatan aqidah Islam-lah yang mampu menjadi dasar kokoh bagi kehidupan manusia, sebab ia mengatur seluruh aspek kehidupan berdasarkan wahyu Ilahi, bukan hawa nafsu dan kepentingan duniawi.

Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Pakar Komunikasi Dakwah  dan Pemerhati Sosial dan Pendidikan. Sekjen Forum Doktor Muslim Pedui Bangsa)

Opini

×
Berita Terbaru Update