“Petani tidak lagi boleh dipandang sebagai “profesi
kelas bawah”, tetapi sebagai pilar peradaban pangan,” tulis HILMI dalam Intelectual
Opinion No. 023 kepada TintaSiyasi.ID, dengan judul Transformasi
Pertanian Indonesia: Krisis Regenerasi Petani ke Hilirisasi Agribisnis,
Kamis (23/10/2025). 
Dengan kebijakan tepat, mekanisasi progresif,
hilirisasi, dan model bisnis syariat, HILMI yakin Indonesia dapat melahirkan
generasi baru petani profesional sekaligus wirausahawan agribisnis. 
“Dari sinilah masa depan kedaulatan pangan dan
kejayaan ekonomi umat akan ditentukan,” HILMI meyakinkan. 
Menurut HILMI, transformasi pertanian menuju
agribisnis terpadu adalah keniscayaan. Islam memandang langkah ini sebagai
bagian dari menjaga harta, menolak pemborosan, menegakkan keadilan, dan
membangun kemandirian umat.
Perspektif Islam: Hilirisasi sebagai
Jalan Maslahat
HILMI menyebut, Islam memandang aktivitas pertanian
bukan sekadar kegiatan ekonomi, tetapi juga ibadah bila diniatkan untuk memberi
makan masyarakat dan menjaga kehidupan. 
Selanjutnya, HILMI menjelaskan ada beberapa prinsip
yang relevan dengan transformasi pertanian yang sesuai syariah. 
“Pertama, prinsip hifz al-maal (menjaga
harta/kesejahteraan). Islam mendorong peningkatan produktivitas dan distribusi
adil. Menjual hasil panen mentah membuat petani lemah di hadapan tengkulak.
Hilirisasi memberi daya tawar dan nilai tambah, sejalan dengan maqashid
syariah,” terang HILMI. 
Kedua, larangan israf (pemborosan). “Dalam
QS Al-An’am: 141 menegaskan larangan membuang hasil panen sia- sia. Pascapanen
dan agroindustri justru solusi agar surplus pertanian bisa diolah menjadi
produk turunan yang awet,” sitat HILMI.
Ketiga, keadilan rantai nilai. “Islam menuntut
keadilan (‘adl) agar yang bekerja keras di hulu tidak tertinggal
kesejahteraannya dibanding pihak hilir. Model koperasi syariah, BMT, atau akad
musyarakah memungkinkan petani menjadi pemilik pabrik, bukan sekadar pemasok,”
ulas HILMI.
Keempat, keteladanan. “Teladan Nabi Yusuf as.
dalam trategi penyimpanan gandum tujuh tahun di Mesir (QS Yusuf: 47) adalah
contoh pengelolaan pangan terintegrasi dari produksi hingga logistik. Inilah blueprint
transformasi pertanian yang Islami: efisiensi, keberlanjutan, dan kemandirian,”
beber HILMI.
Rekomendasi Strategis
Selain menyampaikan prinsip-prinsip yang harus
dimiliki dalam transformasi pertanian sesuai syariah, HILMI juga menawarkan
atau merekomendasikan beberapa strategi praktis dalam mewujudkan transformasi
tersebut. 
“Pertama, mengalihkan tenaga kerja surplus dari
37 juta ke 15 juta di sektor primer, ke pascapanen dan agribisnis,” terang
HILMI. 
Kedua, membangun industri sekunder di desa
dengan BUMDes/koperasi syariah, dan insentif pajak.
“Ketiga, mendorong inovasi teknologi melalui
vokasi, politeknik agro, dan riset berbasis AI dan bioteknologi,”  lanjut HILMI menjelaskan. 
Keempat, memperkuat narasi Islam, bahwa
bertani dan mengolah hasil panen adalah ibadah dan “jihad ekonomi” untuk
menjaga pangan halal tayib serta kemandirian.
“Kelima, adalah membuat skema pembiayaan syariat:
mudarabah/musyarakah untuk UMKM agro, menghindari riba, sekaligus membagi
risiko secara adil,” tandas HILMI.[] M. Siregar
