Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

HILMI : Profesi Petani Sebagai Pilar Peradaban Pangan

Senin, 03 November 2025 | 19:18 WIB Last Updated 2025-11-03T12:23:19Z

TintaSiyasi.id -- Himpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) menyatakan  bahwa sesungguhnya profesi petani adalah pilar peradaban pangan.

 

“Petani tidak lagi boleh dipandang sebagai “profesi kelas bawah”, tetapi sebagai pilar peradaban pangan,” tulis HILMI dalam Intelectual Opinion No. 023 kepada TintaSiyasi.ID, dengan judul Transformasi Pertanian Indonesia: Krisis Regenerasi Petani ke Hilirisasi Agribisnis, Kamis (23/10/2025).

 

Dengan kebijakan tepat, mekanisasi progresif, hilirisasi, dan model bisnis syariat, HILMI yakin Indonesia dapat melahirkan generasi baru petani profesional sekaligus wirausahawan agribisnis.

 

“Dari sinilah masa depan kedaulatan pangan dan kejayaan ekonomi umat akan ditentukan,” HILMI meyakinkan.

 

Menurut HILMI, transformasi pertanian menuju agribisnis terpadu adalah keniscayaan. Islam memandang langkah ini sebagai bagian dari menjaga harta, menolak pemborosan, menegakkan keadilan, dan membangun kemandirian umat.

 

Perspektif Islam: Hilirisasi sebagai Jalan Maslahat

 

HILMI menyebut, Islam memandang aktivitas pertanian bukan sekadar kegiatan ekonomi, tetapi juga ibadah bila diniatkan untuk memberi makan masyarakat dan menjaga kehidupan.

 

Selanjutnya, HILMI menjelaskan ada beberapa prinsip yang relevan dengan transformasi pertanian yang sesuai syariah.

 

Pertama, prinsip hifz al-maal (menjaga harta/kesejahteraan). Islam mendorong peningkatan produktivitas dan distribusi adil. Menjual hasil panen mentah membuat petani lemah di hadapan tengkulak. Hilirisasi memberi daya tawar dan nilai tambah, sejalan dengan maqashid syariah,” terang HILMI.

 

Kedua, larangan israf (pemborosan). “Dalam QS Al-An’am: 141 menegaskan larangan membuang hasil panen sia- sia. Pascapanen dan agroindustri justru solusi agar surplus pertanian bisa diolah menjadi produk turunan yang awet,” sitat HILMI.

 

Ketiga, keadilan rantai nilai. “Islam menuntut keadilan (‘adl) agar yang bekerja keras di hulu tidak tertinggal kesejahteraannya dibanding pihak hilir. Model koperasi syariah, BMT, atau akad musyarakah memungkinkan petani menjadi pemilik pabrik, bukan sekadar pemasok,” ulas HILMI.

 

Keempat, keteladanan. “Teladan Nabi Yusuf as. dalam trategi penyimpanan gandum tujuh tahun di Mesir (QS Yusuf: 47) adalah contoh pengelolaan pangan terintegrasi dari produksi hingga logistik. Inilah blueprint transformasi pertanian yang Islami: efisiensi, keberlanjutan, dan kemandirian,” beber HILMI.

 

Rekomendasi Strategis

 

Selain menyampaikan prinsip-prinsip yang harus dimiliki dalam transformasi pertanian sesuai syariah, HILMI juga menawarkan atau merekomendasikan beberapa strategi praktis dalam mewujudkan transformasi tersebut.

 

Pertama, mengalihkan tenaga kerja surplus dari 37 juta ke 15 juta di sektor primer, ke pascapanen dan agribisnis,” terang HILMI.

 

Kedua, membangun industri sekunder di desa dengan BUMDes/koperasi syariah, dan insentif pajak.

 

Ketiga, mendorong inovasi teknologi melalui vokasi, politeknik agro, dan riset berbasis AI dan bioteknologi,”  lanjut HILMI menjelaskan.

 

Keempat, memperkuat narasi Islam, bahwa bertani dan mengolah hasil panen adalah ibadah dan “jihad ekonomi” untuk menjaga pangan halal tayib serta kemandirian.

 

“Kelima, adalah membuat skema pembiayaan syariat: mudarabah/musyarakah untuk UMKM agro, menghindari riba, sekaligus membagi risiko secara adil,” tandas HILMI.[] M. Siregar

Opini

×
Berita Terbaru Update