Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Darurat KDRT dan Kekerasan Remaja: Saatnya Membangun Keluarga Atas Landasan Islam

Rabu, 29 Oktober 2025 | 06:50 WIB Last Updated 2025-10-28T23:51:03Z

TintaSiyasi.id -- Indonesia sedang berada dalam situasi darurat sosial. Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terus meningkat dari tahun ke tahun. Data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) mencatat, hingga 4 September 2025 jumlah kasus KDRT di Indonesia telah mencapai 10.240 perkara, dengan lebih dari 1.000 kasus baru setiap bulan. (Goodstats.id, 20/10/2025)

Sementara itu, perilaku remaja juga kian mengkhawatirkan. Kasus perundungan, tawuran, penganiayaan, hingga kekerasan seksual. Tiap hari, media menyajikan kisah tragis. Di Pacitan, seorang remaja 16 tahun menganiaya neneknya. Di Jakarta Utara, remaja sebaya tega mencabuli dan membunuh anak berusia 11 tahun. Di Grobogan, seorang pelajar SMP tewas dikeroyok teman sekolahnya. (Beritasatu.com, 15/10/2025) 

Deretan kasus serupa tampak nyaris tak berujung. Fenomena ini bukan sekadar angka di laporan polisi. Ia adalah cermin retaknya ketahanan keluarga dan krisis moral generasi. KDRT menjadi tanda paling nyata bahwa fondasi rumah tangga Indonesia sedang rapuh. Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung dan menenangkan jiwa justru berubah menjadi ruang luka. Relasi suami-istri yang semestinya berlandaskan kasih dan tanggung jawab kerap bergeser menjadi arena kekuasaan. Anak-anak yang tumbuh dalam kehilangan rasa aman, lalu membawa luka batin itu ke ranah sosial. Maka lahirlah remaja yang mudah marah, haus pengakuan, dan rentan menyalurkan frustrasi dalam bentuk kekerasan.

Jika ditelusuri lebih dalam, akar dari semua ini adalah diterapkannya sistem yang menyingkirkan agama dari kehidupan (sekularisme). Sekularisme telah mencabut ketakwaan dari ranah keluarga, pendidikan, bahkan negara. Rumah tangga kehilangan ruh spiritual, hubungan suami-istri tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pendidikan yang berlandaskan pada sekularisme-liberalisme yang menuhankan kebebasan tanpa batas menumbuhkan egoism. Sementara materialisme menanamkan orientasi hidup sempit, bahagia dipandang hanya bila banyak harta dan bergengsi. Ketika tekanan hidup datang, rumah tangga mudah retak, dan kekerasan menjadi pelarian.

Negara belum hadir sepenuhnya untuk melindungi warga negara nya. UU PKDRT memang ada, tetapi sifatnya hanya menindak setelah luka terjadi. Ia gagal menyentuh akar persoalan. Menghilangkan aturan kehidupan yang membentuk manusia bertakwa dan berakhlak mulia. Maka tak heran, masalah terus berulang. Semua ini menunjukkan bahwa krisis keluarga merupakan buah pahit dari sistem sekular-materialistik yang menyingkirkan aturan Allah SWT dari kehidupan.

Maka, untuk keluar dari krisis ini, solusi moral saja tidak cukup. Diperlukan langkah sistemik yang berpijak pada nilai-nilai Islam, bukan tambal sulam hukum dan slogan. 

Pertama, revolusi pendidikan Islam. Pendidikan harus kembali pada fungsinya yaitu membentuk kepribadian Islam (syakhsiyah islamiyah), bukan sekadar mencetak pekerja. Anak dididik untuk mengenal dirinya sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi. Kasih sayang, amanah, dan tanggung jawab menjadi nilai hidup sehari-hari. Generasi yang lahir dari sistem ini akan tumbuh beriman, berilmu dan berakhlak. 

Kedua, penerapan syariat Islam dalam keluarga. Islam menata peranan suami-istri secara proporsional. Suami sebagai qawwam, pelindung dan penanggung jawab. Istri sebagai madrasatul ula, pendidik generasi. Relasi ini bukan bentuk penindasan, melainkan sinergi dalam membentuk ketakwaan. Dengan peran yang jelas dan dilandasi iman, potensi KDRT dapat dicegah dari akarnya. 

Ketiga, negara harus kembali berperan sebagai raa’in (pelindung rakyat). Negara bertugas menjamin kesejahteraan, pendidikan, dan keadilan sosial. Dalam sistem Islam, kebutuhan dasar yakni sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan akan dipenuhi secara adil dan merata. Tekanan ekonomi yang kerap memicu konflik keluarga bisa dihindari karena negara hadir dan bertanggungjawab penuh. Media dan kebijakan publik pun diarahkan untuk memperkuat nilai-nilai Islan dalam keluarga, bukan sekadar mencari keuntungan. 

Keempat, penegakan sanksi hukum Islam. Sanksinya bukan sekadar menghukum, tapi juga mendidik dan memberi efek jera. Pelaku kekerasan akan takut berbuat zalim bukan karena aparat, melainkan karena kesadaran akan murka Allah SWT.
Pada akhirnya, membangun ketahanan keluarga tak mungkin lahir dari sistem yang menyingkirkan aturan Allah. Sebab, hanya aturan yang berasal dari Allah SWT yang pasti benar dan membawa kebaikan. Semua komponen diatas hanya bisa terlaksana jika aturan Islam diterapkan secara Kaffah dalam bingkai Khilafah. Semua akan diterapkan secara sempurna mulai dari membangun hingga membangun negara. Hanya dengan kembali pada syariat Allah SWT dengan menrapkan Khilafah, keluarga akan kembali kokoh, remaja tumbuh dengan visi hidup yang jelas, dan masyarakat terbebas dari lingkaran kekerasan.

Wallahu a’lam bishshawab. []


Oleh: Hilda Handayani
Aktivis Muslimah

Opini

×
Berita Terbaru Update