"Akar masalahnya ada pada
sistem. Karena itu maka solusinya, jalan keluarnya, jelas harus integral.
Keluarga butuh ayah yang hadir, dan ayah butuh negara yang menopangnya,"
ujarnya dalam kanal YouTube An-Nisaa berjudul Anak Tanpa Sosok Ayah,
Akankah Terwujud Generasi Khairu Ummah?, Senin (03/11/2025).
Ia menjelaskan, fenomena fatherless,
yakni kehilangan sosok ayah dalam keluarga, ada dua keadaan. “Pertama, ada
memang seorang ayah itu telah tiada kerana penceraian atau meninggal. Kedua,
memang ayah itu ada namun keberadaannya tidak dirasakan oleh anak,” ulasnya.
"Yang kedua ini, ada ayah tetapi
layaknya tidak hadir. Jadi keberadaan ayah tidak dirasakan oleh anak,” lugasnya.
“Ayah hanya ada secara fisik, tetapi
tidak secara peran. Fungsi dan tanggung jawab itu tidak ada. Ketika ayah tidak
hadir ini akan berpengaruh kepada tumbuh kembang anak,” imbuhnya.
Ia menggambarkan bagaimana anak
kehilangan sosok pemimpin, anak kehilangan seorang pendidik, sehingga anak akan
dididik oleh pihak lain.
“Kemudian anak kehilangan kasih
sayang, perhatian, tidak ada panutan, tidak ada sosok teladan yang baik bagi
anak," jelasnya.
Ustazah Dedeh menerangkan, ada
pengaruh eksternal (sistem) yang menyebabkan seorang ayah tidak bisa
menjalankan tanggung jawab dan kewajiban sebagai seorang pemimpin keluarga.
"Kehidupan kita sekarang di
kuasai oleh kapitalisme sekularisme, di mana melahirkan tekanan-tekanan hidup.
Ketika negara tidak hadir sebagai pelindung, sebagai penjamin terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan rakyatnya seperti butuhan komunal, kesehatan, pendidikan,
dan keamanan semua itu dibebankan kepada keluarga, kepada sosok ayah yang harus
mencari nafkah, berjibaku untuk memenuhi kebutuhan yang sebenarnya itu harus
dijamin oleh negara," imbuhnya.
Ia melanjutkan, ketika fokus seorang
ayah itu lebih kepada perkerjaan, karena itu dianggap prioritas utama, wajar
waktu ayah itu dihabiskan untuk mencari nafkah.
"Jadi ketika pulang ke rumah
energinya sudah habis atau sudah melemah, yang ada dibenak dia ingin istirahat,
kalau ngobrol hanya sekadar basa-basi, sehingga banyak keluarga yang hanya
sekedar bersama-sama,” ujarnya.
“Mereka ada di dalam keluarga, di
dalam rumah, tetapi ayahnya istirahat, anaknya main gadget, ibunya sibuk
di dapur sehingga tidak ada komunikasi karena semua lelah," tambahnya.
Ia menyatakan, masalah berkaitan
tekanan hidup ini juga masalah sistemis. “Harus hadir negara yang bertanggung
jawab untuk memastikan para ayah tidak dibebani dengan urusan mencari nafkah,”
bebernya.
"Negara harus memastikan seluruh
kepala keluarga mempunyai perkerjaan dan bisa mendapatkan penghasilan yang
layak untuk memenuhi keluarganya, sehingga dia punya kesempata dan waktu yang
leluasa untuk memperhatikan anak-anaknya,” ucapnya.
“Negara seperti itu bukan negara yang
mengedepankan materi, bukan negara kapitalisme, tetapi negara yang berbasis
akidah, negara yang didasarkan kepada ketakwaan pada Allah Swt.. Negara di
dalam Islam disebut khilafah," ujarnya.
Ia menerangkan, sementara belum ada
negara khilafah, maka perlu ada solusi sementara yaitu menetapkan manajeman
waktu efektif dan komitmen terhadap keluarga.
"Dalam tekanan dominasi
kapitalisme, kita punya keterbatasan, kita memang sibuk bekerja, kita dibebani
hal-hal yang sebenarnya bukan tanggung jawab kita, tetapi ayah harus punya
waktu efektif dan harus tetap punya komitmen juga terhadap keluarga,” sarannya.
“Maka luangkan waktu untuk anak kita,
walaupun kita sibuk, walaupun kita ada tanggung jawab yang lain, anak kita juga
punya hak, anak kita wajib untuk diperhatikan dan mendapat pendidikan dari
sosok seorang ayah," ujarnya.
Ia menyimpulkan, bagi seorang Muslim
jadikan doa sebagai penguat agar para ayah terus kuat dalam menjalankan
tanggung jawab kepada keluarganya.
"Kita diperintahkan untuk terus
bermohon kepada Allah Swt. supaya menjadi orang tua yang bisa melaksanakan
tanggung jawab sesuai dengan aturan Islam," simpulnya.[] Hidayah
Muhammad
