Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Dilema Transportasi Kota Bogor dan Tanggung Jawab Negara terhadap Kesejahteraan Sopir Angkot

Senin, 03 November 2025 | 08:49 WIB Last Updated 2025-11-03T01:50:04Z
TintaSiyasi.id -- Ratusan pengemudi dan pemilik angkutan kota (angkot) di Kota Bogor melakukan aksi mogok dan unjuk rasa pada Kamis, 23 Oktober 2025. Mereka turun ke jalan bukan tanpa alasan. Aksi tersebut merupakan bentuk keprihatinan dan protes terhadap kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor yang menetapkan batas usia angkot maksimal dua puluh tahun.

Sejak pagi, sekitar pukul 08.00, massa telah berkumpul di kawasan Bogor Trade Mall (BTM), Jalan Ir. H. Juanda. Dari sana, mereka melakukan long march menuju Balai Kota Bogor sambil membawa spanduk bertuliskan “Mau Dikemanakan Nasib Sopir Angkot” hingga “Copot Kadishub Kota Bogor”. Aksi tersebut menjadi simbol keresahan mendalam para sopir dan pemilik angkot yang khawatir kehilangan mata pencaharian akibat kebijakan tersebut.

Para pengemudi menuntut agar aturan itu diperpanjang atau disertai solusi alternatif yang jelas. Mereka menilai, jika kebijakan diterapkan tanpa kompromi, ribuan sopir akan kehilangan pekerjaan. Berdasarkan data, terdapat sekitar 1.940 unit angkot yang telah berusia lebih dari dua puluh tahun. Jika seluruhnya dipaksa berhenti beroperasi, maka ribuan keluarga akan terdampak langsung. Sebab, sektor transportasi bukan hanya tempat bergantung bagi sopir, tetapi juga bagi kernet, montir, pedagang suku cadang, hingga pemilik bengkel. Maka, wajar jika kekhawatiran masyarakat semakin memuncak ketika kebijakan baru diterapkan tanpa perlindungan sosial yang memadai.

Sebenarnya, kebijakan pembatasan usia kendaraan merupakan bagian dari program penataan transportasi Kota Bogor yang sudah dirancang sejak 2016. Dalam blueprint tersebut, terdapat empat pilar utama: peremajaan, reduksi, konversi, dan rerouting. Tujuan jangka panjangnya adalah membangun sistem transportasi yang lebih modern, tertib, ramah lingkungan, dan efisien.

Dari sisi perencanaan, kebijakan ini patut diapresiasi karena mengandung semangat perbaikan, terutama dalam upaya mengurai kemacetan, menekan polusi udara, dan menata trayek agar terintegrasi dengan sistem transportasi publik seperti Biskita Trans Pakuan. Namun, kebijakan yang ideal di atas kertas belum tentu mudah diterapkan di lapangan. Ketika aspek sosial diabaikan, kebijakan justru melahirkan dilema dan penderitaan baru bagi masyarakat kecil.

Masalah utamanya terletak pada minimnya kesiapan pemerintah dalam menyediakan solusi konkret bagi para pekerja yang terdampak. Jika ribuan angkot tidak lagi diizinkan beroperasi, maka akan muncul gelombang pengangguran baru di Kota Bogor. Akibatnya, angka kemiskinan bisa meningkat dan stabilitas sosial terganggu. Oleh sebab itu, tanggung jawab pemerintah tidak hanya sebatas membuat regulasi, melainkan juga memastikan kesejahteraan warganya tetap terjamin.

Pemerintah harus hadir dengan skema transisi yang adil, seperti pelatihan kerja, bantuan konversi ke kendaraan listrik, atau program pembiayaan lunak untuk peremajaan armada. Tanpa itu semua, kebijakan yang dimaksudkan untuk kebaikan justru akan berubah menjadi sumber penderitaan bagi rakyat.

Dalam konteks kebijakan publik, penataan transportasi seharusnya dilakukan secara menyeluruh dan berkeadilan. Pembangunan infrastruktur memang penting, tetapi nilai kemanusiaan jauh lebih utama. Apalah artinya kota yang indah dan tertib jika di baliknya ada ribuan keluarga kehilangan nafkah? Maka, pemerintah perlu memandang kebijakan transportasi bukan hanya dari aspek teknis, tetapi juga dari sisi sosial dan ekonomi rakyat kecil.

Persoalan ini juga menyingkap realitas yang lebih dalam, yakni lemahnya sistem ekonomi dan sosial yang berlandaskan kapitalisme. Dalam sistem ini, kebijakan publik kerap berpihak pada efisiensi pasar dan keuntungan bisnis, bukan pada kepentingan rakyat. Pemerintah sering kali hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator bagi kepentingan ekonomi tertentu, sementara rakyat kecil menjadi pihak yang dikorbankan.

Padahal, dalam pandangan Islam, negara memiliki peran fundamental sebagai ra‘in (pengurus rakyat) yang wajib memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar setiap warga negara. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Imam (pemimpin) adalah pengurus dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Dalam hal ini, sistem Islam di bawah naungan khilafah menawarkan pendekatan yang jauh lebih adil dan manusiawi. Sistem ini bersumber dari syariat Allah Swt., bukan dari kepentingan politik atau ekonomi segelintir pihak. Negara dalam sistem khilafah berkewajiban menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, mulai dari sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, hingga pekerjaan yang layak. Jika suatu kebijakan berpotensi meniadakan sumber penghasilan seseorang, maka negara wajib menyediakan alternatif pekerjaan tanpa membiarkan rakyat jatuh miskin.

Selain itu, dalam pandangan Islam, transportasi bukan sekadar sektor bisnis, melainkan bagian dari pelayanan publik (khidmatul ummah). Negara wajib mengelolanya dengan prinsip pelayanan, bukan keuntungan. Karena itu, tidak akan muncul kebijakan yang menghapus nafkah para sopir hanya karena kendaraan mereka tua tanpa disertai solusi. Sistem Islam menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai pusat kebijakan, bukan sekadar pencitraan pembangunan atau modernisasi fisik.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa mogok massal sopir angkot di Kota Bogor bukan hanya persoalan teknis transportasi, tetapi cermin dari ketimpangan kebijakan dan lemahnya tanggung jawab negara terhadap rakyatnya. Solusi sejati tidak cukup dengan revisi aturan, melainkan perubahan sistemik menuju tata kelola yang adil dan berpihak kepada umat.

Hanya dengan penerapan sistem Islam secara kaffah di bawah naungan khilafah, kesejahteraan dan keadilan sosial dapat benar-benar terwujud.

Wallahu a‘lam bish-shawab.

Oleh: Siti Nurhasna Fauziah, S.Ag
Aktivis Muslimah dan Pemerhati Generasi

Opini

×
Berita Terbaru Update