TintaSiyasi.id -- Terkait makin bengkaknya utang kereta cepat Jakarta Bandung hingga ratusan triliun, Analis Ekonomi dari Pusat Kajian dan Analisa Data (PKAD) Ismail Izzuddin, mengatakan inilah anomali sistem ekonomi kapitalisme. 
"Inilah anomali sistem ekonomi kapitalisme. Sarana publik yang semestinya harus dibangun dan dikelola negara diambil swasta. Tetapi pada saat terjadi kerugian maunya dikembalikan pada negara untuk membayar kerugiannya pakai uang rakyat," cecarnya di akun TikTok Ismail.pkad, Selasa (21/10/2025).
Ia menjelaskan, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan APBN tidak akan menanggung utang Whoosh. "Artinya tanggung jawab pembiayaan diserahkan kepada Danantara, lembaga pengelola BUMN dengan deviden sekitar 80 triliun per tahun, tetapi pertanyaannya mampukah Danantara menanggung utang sebesar 116 triliun dengan bunga hampir 2 triliun per tahun?" Jelasnya. 
Kemudian, ia menjelaskan kronologi, total investasi Whoosh mencapai 7,27 miliar $ atau sekitar 118 triliun rupiah dengan kurs 16283 per $ AS sebanyak 75 persen diantaranya dibiayai lewat pinjaman dari Cina Development Bank atau bank yang juga memberi bunga antara 2 sampai 3,4 persen per tahun, sementara itu konsorsium yang mengelola proyek ini dipimpin oleh PT Kereta Api Indonesia bersama Wijaya Karya, Jasa Marga dan PTPN 8.
"Namun sejak beroperasi pada Oktober 2023 kinerja keuangan proyek ini belum seimbang selama tahun 2024 tiket yang terjual hanya 6,06 juta lembar, kalau harga rata-rata tiket 250.000 pendapatan kotor hanya sekitar 1,5 triliun rupiah jauh dibawah bunga utang tahunan yang mencapai 2 triliun rupiah," ungkapnya. 
Oleh karenanya, ia berkata, dengan kondisi seperti ini kerugian PSBI konsorsium BUMN pengelola sudah mencapai 4,2 triliun di 2024 dan 1,6 triliun rupiah hanya dalam semester pertama 2025.
"Sekarang bayangkan jika pemerintah memutuskan mengambil alih beban utang ini lewat APBN maka resikonya defisit fiskal akan meningkat, anggaran sosial bisa berkurang bahkan program pendidikan dan kesehatan berpotensi dipotong," jelasnya. 
Oleh sebab itu, utang korporasi tidak boleh ditanggung rakyat, kalau sebuah proyek bisnis salah kelola maka resikonya harus ditanggung oleh pengelola bukan masyarakat.
"Maka keputusan Menteri Keuangan Purbaya untuk menolak usulan Danantara adalah langkah fiskal yang rasional, pemerintah harus menjaga kredibilitas APBN tetap pada fungsi publik bukan menjadi penyelamat terkahir bagi proyek yang gagal," sanjunganya. 
Ia menjelaskan, Danantara dengan deviden 80 triliun per tahun harus menemukan jalan keluar sendiri entah lewat restrukturisasi pinjaman ke Cina Development Bank atau perubahan modal bisnis PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) menjadi operator tanpa kepemilikan infrastruktur.
Padahal, ia menambahkan, tahun depan pemerintah sudah harus menyiapkan 599,4 triliun rupiah hanya untuk membayar bunga utang negara naik 8,6 persen dari tahun sebelumnya. Apakah masuk akal menambah 116 triliun lagi? [] Alfia Purwanti