Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tamparan yang Membuka Luka Sistem

Sabtu, 18 Oktober 2025 | 10:51 WIB Last Updated 2025-10-18T03:51:08Z

Tintasiyasi.id.com --  Dunia pendidikan kembali menghebohkan media sosial. Kepala sekolah di Lebak, Banten, dilaporkan karena menampar siswanya yang merokok, menorehkan ironi di dunia pendidikan kita.

Akar peristiwa ini terjadi pada Jumat (10/10/2025) saat kegiatan Jumsih di lingkungan sekolah. Kepala Sekolah menegur seorang siswa yang diduga merokok di area sekolah. Namun, siswa tersebut membantah.

Orang tua siswa tersebut tak terima dan melaporkan sang kepala sekolah ke polisi. Akibatnya, kepala sekolah dinonaktifkan, sementara ratusan siswa melakukan aksi solidaritas, mogok sekolah.

Di sisi lain, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengingatkan bahwa kekerasan fisik terhadap anak, sekecil apa pun, tidak bisa dibenarkan dalam proses pendidikan. 

Namun publik pun bertanya: apakah persoalannya hanya sebatas tamparan? Atau ada luka yang lebih dalam pada sistem yang membuat pendidik kehilangan arah antara disiplin dan pelanggaran hukum?

Ketika Otoritas Guru Diremukkan

Ada masa ketika guru adalah figur yang paling dihormati setelah orang tua. Sekarang, banyak dari mereka justru takut menegur, enggan menindak, karena berujung diviralkan lalu dilaporkan. Kini, guru bukan lagi pengasuh akhlak, tapi tak ubahnya pegawai administrasi yang dibatasi pasal dan peraturan.

Padahal di sekolah, rokok bukan sekadar pelanggaran kecil. Ia simbol awal dari kehilangan kendali, dari pudarnya nilai moral sebagai pelajar. Saat seorang kepala sekolah menegur bahkan dengan cara yang keras itu sejatinya adalah bentuk kepedulian yang lahir dari keputusasaan. Tapi di sistem hari ini, kepedulian bisa berubah jadi pelanggaran, itu bukti kelalaian negara terhadap generasi.

Mudah bagi publik menuding kepala sekolah, tapi siapa yang berani menuding sistem yang membuat guru kehilangan wibawanya?

Di bawah sistem sekular hari ini, pendidikan direduksi menjadi angka, raport, dan ujian. Nilai akhlak hanyalah formalitas dalam kurikulum hingga karakter anak dirusak tanpa ampun.

Guru terjepit antara idealisme dan realita. Ia ingin menegakkan disiplin, namun juga takut dilengserkan. Ia ingin mendidik dengan tegas, namun dibatasi oleh aturan yang lebih memihak citra lembaga daripada pembinaan karakter. Perlahan, guru kehilangan kepercayaan diri untuk menjadi teladan. Ia dipaksa menjadi penonton dari generasi yang tumbuh tanpa arah.

Sekularisme semakin memburamkan visi pendidikan itu sendiri. Pendidikan tak lagi tentang membentuk manusia yang berakhlak, tapi tentang mencetak pekerja yang patuh pada sistem ekonomi.

Islam Menjunjung Marwah Pendidikan

Dalam Islam, pendidikan bukan hanya mencetak generasi yang cemerlang secara akal, tapi juga memupuk jiwa mereka hingga tercapainya syakhsiyyah Islamiyyah (berkepribadian Islam).

Guru adalah murabbi, pengasuh jiwa. Ia berhak menegur, bahkan menindak, selama tujuannya mendidik dan dilakukan dengan kasih sayang. Namun tanggung jawab besar itu tidak boleh dipikul sendirian. Negara wajib hadir untuk memastikan seluruh sistem mendukung pembinaan akhlak, bukan hanya akademik semata.

Mungkin, tamparan kepala sekolah itu bukan hanya untuk siswanya, tapi juga untuk kita semua yang membiarkan sistem ini terus mengebiri peran pendidik dan menjadikan moralitas sekadar pelajaran di papan tulis.

Maka sebelum kita sibuk mengadili guru yang menampar, mari bertanya pada diri sendiri: berapa banyak tamparan yang dibutuhkan bangsa ini agar sadar bahwa dunia pendidikan kita sedang sakit?
Wallahu'alam bishowab...

Oleh: Irna Purnamasari
(Aktivis Muslimah)

Opini

×
Berita Terbaru Update