Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Stimulus Ekonomi, Tanpa Sentuh Akar Masalah

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:22 WIB Last Updated 2025-10-27T03:22:58Z

TintaSiyasi.id -- Pemerintah kembali meluncurkan dua program besar untuk memacu ekonomi di akhir 2025. Pertama, BLT sebesar Rp30 triliun bagi 35.046.783 keluarga penerima manfaat (KPM) yang disalurkan selama Oktober hingga Desember 2025 (ANTARA, 17/10/2025). Kedua, Program Magang Nasional bagi 100.000 fresh graduate yang digelar pada Oktober–November 2025 (Reuters, 19 Oktober 2025).

Kedua program ini diklaim sebagai quick wins atau langkah percepatan untuk menjaga daya beli dan membuka peluang kerja. Namun, di balik kemasan populis tersebut, kebijakan ini sejatinya tidak menyentuh akar masalah kemiskinan dan pengangguran.

Solusi Instan dalam Bingkai Kapitalisme Sekuler

BLT dan magang nasional sering digadang sebagai bukti perhatian negara terhadap rakyat kecil. Namun faktanya, kebijakan ini bersifat sementara dan pragmatis—khas sistem kapitalisme sekuler yang hanya menambal luka tanpa mengobati penyakit.

BLT memang bisa menenangkan rakyat sejenak, tetapi tak mengubah nasib mereka secara struktural. Begitu bantuan berakhir, kehidupan kembali berat, harga kebutuhan naik, dan lapangan kerja tetap sempit. Sementara itu, magang nasional sering kali hanya menunda status pengangguran dengan imbalan minim, tanpa jaminan pekerjaan tetap.

Paradigma kebijakan seperti ini berakar dari logika kapitalisme yang menjadikan negara sekadar fasilitator pasar. Rakyat tidak dipandang sebagai pihak yang harus dijamin kesejahteraannya, melainkan hanya konsumen dan tenaga kerja dalam sistem ekonomi yang dikendalikan pemilik modal.

Tak heran, ketimpangan sosial terus menganga. Kekayaan terkonsentrasi pada segelintir elite, sementara sebagian besar rakyat tetap bergelut dengan kebutuhan pokok. Inilah hasil dari sistem yang menuhankan pertumbuhan, tetapi abai terhadap pemerataan.

Akar Masalah: Sistem Ekonomi yang Salah

Kemiskinan dan pengangguran bukan sekadar persoalan teknis, melainkan akibat langsung dari penerapan sistem ekonomi kapitalistik. Dalam sistem ini, sumber daya alam diserahkan kepada swasta, sementara negara sibuk mencari utang dan menyalurkan bantuan sesaat untuk meredam gejolak sosial.

Padahal, dalam pandangan Islam, negara wajib menjamin kebutuhan dasar setiap individu rakyatnya, bukan sekadar menjadi penyalur subsidi. Negara harus memastikan terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan bagi seluruh warga tanpa bergantung pada mekanisme pasar.

Allah SWT berfirman:
(Yaitu) orang-orang yang apabila Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, mereka mendirikan salat, menunaikan zakat, memerintahkan yang makruf dan mencegah dari yang mungkar.” (QS. Al-Hajj [22]: 41)

Ayat ini menegaskan bahwa kekuasaan dalam Islam bukan alat mencari keuntungan, melainkan amanah untuk menegakkan keadilan dan mengatur kehidupan sesuai syariat, termasuk dalam bidang ekonomi.

Sistem Ekonomi Islam: Menyelesaikan Akar Masalah

Islam menawarkan sistem ekonomi yang adil dan mandiri. Harta dikelola berdasarkan tiga jenis kepemilikan: individu, umum, dan negara.

Milik umum, seperti tambang, hutan, air, dan energi, dikelola oleh negara untuk kemaslahatan rakyat, bukan diserahkan kepada korporasi.

Milik negara, seperti fai’, kharaj, dan jizyah, digunakan untuk membiayai kebutuhan publik.

Milik individu, dijaga kepemilikannya, tetapi dibatasi agar tidak menimbulkan eksploitasi.

Dengan mekanisme ini, negara memiliki sumber keuangan yang kuat tanpa perlu bergantung pada pajak tinggi, utang, atau program bantuan sementara seperti BLT. Kesejahteraan rakyat dijamin bukan melalui subsidi sesaat, melainkan melalui distribusi kekayaan yang adil.

Teladan dari Khilafah Umar bin Khaththab ra.

Sejarah mencatat, pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra. terjadi masa paceklik yang dikenal sebagai Amur Ramadah. Saat itu, Umar tidak hanya menyalurkan bantuan, tetapi juga membuka gudang baitulmal, menata sistem distribusi, dan memastikan setiap rakyat mendapat jatah yang cukup. Negara bertindak langsung sebagai pelayan rakyat, bukan menunggu investor atau meminjam dana asing.

Khalifah Umar juga membatasi kekayaan pejabat agar tidak ada penumpukan harta. Hasil pengelolaan milik umum dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk layanan publik. Inilah bukti nyata bahwa sistem Islam bukan sekadar teori, tetapi pernah melahirkan kesejahteraan hakiki.

Khatimah

BLT dan magang nasional mungkin tampak sebagai kebijakan baik, tetapi sesungguhnya hanyalah politik tambal sulam yang tak menyelesaikan akar persoalan. Selama negeri ini masih berpijak pada asas kapitalisme sekuler, kesejahteraan rakyat hanya akan menjadi mimpi.

Islam menawarkan paradigma yang utuh dan menyeluruh. Dengan sistem politik dan ekonomi Islam kaffah, negara akan benar-benar berfungsi sebagai pelayan rakyat, bukan pelayan korporasi. Hanya dengan kembali pada syariat Islam dalam naungan khilafah, umat akan terbebas dari kemiskinan struktural dan ketimpangan yang diwariskan sistem kapitalisme.

Wallahu a’lam bishshawab. []


Penulis: Mahrita Julia Hapsari
Aktivis Muslimah Banua

Opini

×
Berita Terbaru Update