Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Purbaya, Rp 200 Triliun untuk Rakyat, dan Tembok Ekonomi Kapitalistik

Kamis, 30 Oktober 2025 | 11:09 WIB Last Updated 2025-10-30T04:09:19Z

TintaSiyasi.id -- Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bikin gebrakan lagi. Dia melarang bank-bank Himbara penerima dana Rp200 triliun dari pemerintah mengucurkan kredit kepada para konglomerat. Duit itu untuk menggerakkan ekonomi. Jadi, harus menyentuh pelaku ekonomi lapisan bawah. UMKM. Purbaya juga melarang mereka membeli dolar. Rupiah bisa rontok.

Sebagai sebuah program, gagasan Purbaya pantas diapresiasi. Di tengah sistem ekonomi yang sudah lama berpihak ke pemodal besar, ucapan seorang pejabat tinggi negara seperti ini terasa segar dan langka.

Purbaya bahkan menegaskan, dia ingin dana Rp200 triliun itu digunakan untuk menggerakkan sektor riil. Membantu industri, dan mempercepat perputaran ekonomi. Secara teori, logikanya sederhana: pemerintah menambah likuiditas perbankan agar suku bunga turun. Kredit mengalir lebih mudah ke dunia usaha. Ujungnya, ekonomi rakyat bergerak.

Sayangnya, niat baik sering terantuk pada sistem yang tak mendukung. Uang sebesar Rp200 triliun memang tak mungkin begitu saja “disiram” ke masyarakat tanpa mekanisme distribusi. Tapi kalau jalurnya tetap lewat bank, maka orientasinya tetap profit, bukan maslahat.

Bank, betapa pun milik negara, tetap beroperasi berdasarkan logika pasar. Siapa yang punya agunan kuat, arus kas stabil, dan risiko rendah, dialah yang lebih dulu dilayani. Maka pada akhirnya, dana besar itu tetap lebih banyak mengalir ke korporasi menengah-besar ketimbang UMKM. Inilah dilema klasik kebijakan ekonomi kapitalistik. Niat membantu rakyat kecil, tapi instrumennya milik elite.

Langsung ke Akar Rumput

Padahal, kalau pemerintah serius ingin menyalurkan dana produktif langsung ke akar rumput, banyak cara yang bisa ditempuh. Menariknya, cara itu tanpa harus menggantungkan diri pada bank komersial. Misalnya, melalui dana bergulir berbasis koperasi atau BUMDes yang kredibel. Dengan sistem pengawasan digital dan audit terbuka, Rp200 triliun bisa dibagi ke ribuan koperasi produktif di seluruh Indonesia. Setiap koperasi bisa menyalurkan pinjaman mikro ke petani, nelayan, atau pengusaha kecil, dengan bunga minimal dan pendampingan usaha.

Cara lain, lewat program padat karya langsung. Dana ratusan triliun itu bisa dipakai untuk proyek-proyek rakyat. Irigasi, reforestasi, tambak, rumah produksi, dan sebagainya. Model ini langsung menyerap tenaga kerja. Menumbuhkan daya beli dan menyalakan ekonomi dari bawah. Jadi, bukan sekadar menambah likuiditas di laporan keuangan bank.

Dalam konteks ekonomi Islam, jalan terbaik adalah menyalurkan dana publik dengan semangat baitul mal. Seluruh harta negara dipakai untuk kemaslahatan rakyat.

Rasulullah SAW bersabda: "Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Maka, ketika negara menempatkan Rp200 triliun di bank, semestinya setiap rupiah diarahkan untuk melayani kebutuhan riil rakyat. Bukan menambah cadangan perbankan atau memperlebar margin keuntungan mereka.

Purbaya mungkin sedang berusaha menegakkan keadilan di tengah sistem yang timpang. Dia tahu bahayanya kalau dana besar itu kembali ke tangan konglomerat. Sementara rakyat kecil hanya dapat efek samping yang tak seberapa.

Niatnya patut dihormati. Tapi kita juga harus jujur: selama kebijakan fiskal masih disandarkan pada logika bank dan pasar, niat baik pejabat sejujur apa pun akan mentok di tembok sistemik.

Karenanya, tantangan terbesar bukan sekadar melarang bank memberi kredit ke konglomerat. Melainkan berani mencari jalan baru yang benar-benar berpihak pada rakyat kecil.

Rp200 triliun itu seharusnya jadi alat pemerataan. Bukan sekadar pelumas pertumbuhan. Karena kalau semua stimulus ekonomi ujung-ujungnya tetap lewat bank, maka hasilnya akan sama seperti dulu. Uang rakyat kembali ke saku elite. Sementara rakyat hanya kebagian cerita dan katanya. Katanya mau begini. Ceritanya mau begitu. Cuma cerita dan katanya! []

Jakarta, 29 Oktober 2025


Edy Mulyadi
Jurnalis Senior

Opini

×
Berita Terbaru Update