Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Perpanjangan Kontrak Freeport dengan Akuisisi Saham Tambahan 12%: Inikah Konsep Neokolonialisme Hakiki?

Rabu, 29 Oktober 2025 | 06:16 WIB Last Updated 2025-10-28T23:16:39Z

TintaSiyasi.id -- Pemerintah berencana memperpanjang izin usaha PT Freeport Indonesia hingga 2061, lebih lama dari kontrak yang saat ini berlaku hingga 2041. Perpanjangan ini didasarkan pada PP No. 25 tahun 2024 yang memperbolehkan perpanjangan izin hingga cadangan tambang habis. Sebagai bagian dari kesepakatan ini, pemerintah juga berencana untuk menambah 12% kepemilikan sahamnya di PT Freeport Indonesia, meningkatkan total kepemilikan menjadi 63%. Hal tersebut dikonfirmasi dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang dikutip CNBC IndonesiaIndonesia (10-10-2025). 

Pembicaraan soal Freeport selalu jadi bahasan menarik, karena secara sederhana saja, bagaimana bisa, Indonesia memiliki tambang emas justru diserahkan ke perusahaan asing Amerika? Bahkan mereka mengeruk sampai habis dan diperpanjang terus menerus kontraknya? Ketika kontrak sudah mau habis, Freeport selalu meminta perpanjangan kontrak. Padahal keuntungan yang mereka dapatkan fantastis, tapi mengapa mega proyek sebesar ini diberikan konsensinya kepada perusahaan asing? Mungkinkah ini adalah konsep penjajahan gaya baru atau neokolonialisme?

Menyorot Perpanjangan Kontrak Freeport

Keuntungan satu tahun Freeport puluhan triliun. Coba dibayangkan kira-kira berapa juta triliun keuntungan Freeport yang telah mengeksploitasi tambang emas sejak zaman Presiden Soeharto? Freeport mulai beroperasi di Indonesia pada tahun 1973 dengan peresmian tambang oleh Presiden Soeharto, meskipun penandatanganan kontrak karya pertamanya dengan pemerintah Indonesia sudah dilakukan sejak 1967. Operasi penambangan dan pengolahan bijih dimulai pada tahun 1972, diikuti dengan pengapalan konsentrat pada tahun berikutnya. 

Dikutip dari CNBC Indonesia, PT Freeport Indonesia (PTFI) mencatatkan laba bersih sebesar US$ 4,1 miliar atau sekitar Rp67,32 triliun (asumsi kurs RP 16.420/US$) pada 2024. Secara tahunan, laba Freeport meningkat dari 2023 sebesar 28,12% US$3,2 miliar. Selain itu, bisa setor Rp7, 73 triliun pada 2024 ke negara dan daerah. Freeport sendiri mengeklaim bisa setor ke negara Rp1200 triliun hingga 2041. Sekarang mereka sedang bernegosiasi agar kontrak diperpanjang hingga 2061.

Freeport bisa melakukan perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sampai dengan masa umur cadangan tambang perusahaan, hal ini dikonfirmasi oleh Menteri ESDM (2024) Arifin Tasrif. Hal tersebut termuat di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Bahlil Lahadalia sebagai Menteri ESDM saat ini berencana melakukan tukar guling dengan meminta 12% tambahan saham dari PTFI sehingga menjadi 63% ketika PTFI ingin memperpanjang kontrak hingga 2061.
 
Ternyata yang menyebabkan Freeport bisa melakukan perpanjangan kontrak adalah aturan atau undang-undang yang dibuat pemerintah sendiri yakni PP Nomor 96 Tahun 2021 dan sekarang akan diperbarui di PP Nomor 25 tahun 2024. Dalam aturannya tertera, perpanjangan kontrak bisa dilakukan selama cadangan tambang masih ada. Pemerintah tampak memberikan karpet merah akan eksploitasi tambang emas yang terjadi di Papua. Padahal emas adalah logam mulia yang diburu manusia sejak mereka tinggal di bumi. Namun, mengapa semudah itu diserahkan kepada asing? 

Pertanyaannya, mengapa pemerintah seolah tidak berdaya dengan perjanjian dengan perusahaan asing? Pertama, adanya denda dan sanksi. Pemerintah memang tidak bisa sepihak memutuskan kontrak dengan Freeport, bahkan pemerintah Indonesia bisa mendapatkan denda dan sanksi jika memutus kontrak sepihak. Selain itu, kontrak seolah sulit sekali diputus karena mereka bisa memperpanjang kontrak hingga cadangan tambang habism. Dapat diartikan, hingga Papua tenggelam pun, mereka bisa mengeksploitasi pertambangan di Papua sampai kapan saja. 

Kedua, ketidakberdayaan pemerintah akan masalah Freeport ini menunjukkan betapa lemahnya kedaulatan negara ini. Kedaulatan negara lemah bukan karena orang-orangnya lemah tetapi karena dilemahkan oleh sistem yang diterapkan di negeri ini. Sistem demokrasi yang menjadikan kedaulatan negara di tangan rakyat justru telah melemahkan negara sendiri karena memproduksi hukum yang tidak memihak kepada rakyat. 

Ketiga, konsep neokolonialisme telah menancapkan sistem kapitalisme sekuler di negeri ini. Penjajahan hari ini tidak dengan moncong senjata, tetapi dengan memaksakan perjanjian yang harus ditaati oleh negara penjajah. Dulu Indonesia dijajah untuk dieksploitasi rempah-rempahnya. Setelah mereka sadar akan kekayaan Indonesia, mereka melanjutkan "merampok" SDA yang ada di negeri ini. Salah satunya logam mulia. Tambang emas yang ada di Papua diincar dan dikeruk hingga tak bersisa dengan segala perangkat yang memudahkan proses itu terjadi. 

Parahnya, para penguasa negeri ini tidak ada yang berani menolak karena negeri ini ditawan dengan undang-undang warisan penjajah (hukum Hindia-Belanda) dan sistem demokrasi yang dijadikan perangkat melegalisasi undang-undang yang ditawarkan Barat untuk mengintervensi negeri ini. Inilah penjajahan gaya baru yang dilakukan negara kafir penjajah untuk menundukkan negeri-negeri muslim.Semua penguasa negeri-negeri muslim belum ada yang berani melawan akan cipta kondisi yang dilakukan negara kafir penjajah. Mereka tunduk dan patuh dengan segala bentuk perjanjian atau hukum yang dibuat negara kafir penjajah. 

Neokolonialisme yang dibeking demokrasi kapitalisme sekuler tidak hanya melegitimasi eksploitasi SDA tetapi juga memperbudak sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki negeri ini. Sistem demokrasi dan penguasa yang dilahirkan dari sistem ini adalah penyokong neokolonialisme. Bahkan, kandidat penguasa yang tidak direstui negara penjajah mereka tidak akan mendapatkan dukungan baik secara moril maupun materiil. Untuk membebaskan dari neokolonialisme hanya dengan membebaskan negara dari sistem demokrasi kapitalisme sekuler menuju sistem Islam kafah.

Dampak Perpanjangan Kontrak Freeport terhadap Aspek Ekonomi, Politik, dan Hukum

Pemerintah selalu menyampaikan, adanya PTFI yang menguasai tambang di Papua telah menyumbang pemasukan terbesar. Padahal apabila tambang tersebut dikelola sendiri, tentu akan memberikan pemasukan jauh lebih besar. Indonesia menjadi negara maju yang bebas utang itu sangat mungkin terjadi. Namun, pada faktanya, pemerintah malas. Mereka lebih memilih menyerahkan kepada asing daripada meningkatkan kualitas SDM untuk bisa mengurus tambang emas di Freeport. Pertama, dampak ekonomi terhadap perpanjangan kontrak Freeport adalah kerugian jutaan triliun rupiah. Seharusnya kekayaan alam tersebut dikelola dan digunakan untuk kemaslahatan umat, tapi justru dirampok oleh negara kafir penjajah, AS atas nama Freeport. 

Memang benar, untuk bisa mengelola tambang butuh effort yang besar, dari penyediaan kualitas SDM hingga alat-alat industri. Di sinilah negara membutuhkan sebuah sistem berkesinambungan untuk melahirkan SDM unggul dan sistem yang unggul agar SDA yang melimpah dapat didistribusikan kepada masyarakat Indonesia. Apa daya jika pemerintah malas untuk mewujudkan itu semua. Memang yang paling instan dan bodoh adalah dengan duduk manis melihat aset negara yakni tambang emas dikelola asing, lalu pemerintah kecipratan sedikit laba mereka. Ini adalah cara-cara bodoh dan tidak bertanggung jawab terhadap pengelolaan SDA, yakni swastanisasi, liberalisasi, dan kapitalisasi SDA. Negara makin miskin, kapitalis asing makin kaya tiada terkira. 

Kedua, dampak politik adalah Indonesia dalam cengkraman AS alias AS menjajah Indonesia dengan menguasai tambang-tambang besar di Indonesia. Mereka menciptakan penguasa-penguasa yang loyal terhadap negara kafir penjajah AS. Hal itu tampak sekali pada pemerintah Indonesia yang tidak punya taring untuk memutus kontrak kepada Freeport. Pemerintah selalu tidak berdaya akan hal ini. Padahal sudah jelas-jelas penguasaan SDA kepada asing bertentangan dengan UUD 45 pasal 33, tetap saja diterobos dengan dihadirkan UU atau PP yang melegalkan aktivitas penambangan oleh kapitalis asing penjajah. 

Ketiga, dampak hukum adalah lahirnya berbagai legitimasi untuk membenarkan aktivitas penambangan yang merusak lingkungan dan menimbulkan pencemaran di Papua. Melihat aktivitas penambahan PTFI telah menampakkan hal negatif terhadap lingkungan setempat. Dampak tambang Freeport meliputi dampak negatif seperti pencemaran sungai dan tanah akibat limbah tailing dan air asam tambang, kerusakan lingkungan fisik (erosi, hilangnya hutan), serta dampak sosial ekonomi terhadap masyarakat adat seperti penggusuran dan gangguan terhadap mata pencaharian. Tidak ada dampak positif terhadap ekonomi, karena kontribusi Freeport terhadap Indonesia sangat kecil. Justru negara dibodohi oleh kontrak kerjasama dengan Freeport. 

Setoran pajak dan royalti Freeport kepada negara, tidak sebanding dengan keuntungan ribuan triliun yang didapat Freeport dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan aktivitas penambangan ini. Selain itu, kesenjangan ekonomi di Freeport tampak nyata. Masyarakat Papua bagaikan ayam yang kelaparan dan mati di lumbung pagi. Kekayaan yang melimpah "dirampok" dan diangkut ke AS, tapi warga di Papua mayoritas miskin. Inilah kesenjangan sosial yang nyata diciptakan oleh kapitalisasi dan liberalisasi SDA oleh asing.

Strategi Ialam dalam Memutus Kontrak dengan Perusahaan Asing

Untuk mengembalikan kedaulatan negara tidak bisa hanya dengan meningkatkan saham 12% di Freeport. Pemerintah memang menyampaikan perpanjangan kontrak hingga 2061 dengan syarat saham pemerintah Indonesia di Freeport sebesar 63%. Namun apa arti itu semua jika keuntungan ribuan triliun hanya Freeport yang menguasai? Selain itu, pengelolaan SDA kepada asing jelas-jelas bertentangan dengan UUD 45 pasal 33 ayat 3, "Menegaskan bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat." Justru hanya AS saja yang makmur atas eksploitasi SDA di Papua, tapi rakyat Indonesia tetap miskin dan dibebani pajak yang tinggi. 

Satu-satunya cara untuk mengakhiri kezaliman akan kapitalisasi SDA ini adalah dengan memutus total kontrak terhadap Freeport. Pastinya mereka akan marah dan tidak terima, tapi kerusakan alam yang ditimbulkan begitu besar dan keuntungan yang mereka raup sudah ribuan triliun bahkan jutaan triliun mereka rampok dari bumi Indonesia. Padahal ini adalah bentuk kezaliman yang nyata. 

Dalam pandangan Islam, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan SDA kepada asing. SDA adalah sumber kepemilikan publik, harus dikelola oleh negara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bukan malah membiarkan dikuasai asing. Oleh karena itu, satu-satunya cara agar bangsa ini tidak disetir oleh asing adalah dengan hijrah total kepada sistem hukum Islam secara kafah dalam bingkai institusi negara khilafah. 

Tidak ada cara lain kecuali hijrah kepada hukum Islam secara sempurna. Apabila negara masih menerapkan sistem demokrasi kapitalisme sekuler, justru hukum inilah yang melindungi eksploitasi SDA dan pembodohan sistematis SDM Indonesia. Sistem demokrasi inilah yang menciptakan pejabat-pejabat korup yang berkhianat kepada amanah dan rakyatnya. Mereka menjual aset negara dan mengeksploitasi SDA berdasarkan kepentingan golongan bukan untuk kemaslahatan umat.

Untuk memutus kontrak perpanjangan Freeport dibutuhkan kekuatan politik Islam dan negara harus siap menghadapi segala konsekuensi, bahkan penyiapan militer untuk menjaga wilayah negeri ini yang sudah dijajah asing melalui perjanjian kerjasama untuk "merampok" kekayaan alam yang ada di negeri Indonesia. Jika pemerintah kuat memegang teguh prinsip politik Islam, tidak ada yang tidak mudah. Semua akan dimudahkan Allah SWT dalam hal ketundukan pada syariat-Nya. Ketika syariat Islam melarang keras penguasaan kafir penjajah terhadap SDA yang dimiliki publik.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

Neokolonialisme yang dibeking demokrasi kapitalisme sekuler tidak hanya melegitimasi eksploitasi SDA tetapi juga memperbudak sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki negeri ini. Sistem demokrasi dan penguasa yang dilahirkan dari sistem ini adalah penyokong neokolonialisme. Bahkan, kandidat penguasa yang tidak direstui negara penjajah mereka tidak akan mendapatkan dukungan baik secara moril maupun materiil. Untuk membebaskan dari neokolonialisme hanya dengan membebaskan negara dari sistem demokrasi kapitalisme sekuler menuju sistem Islam kafah.

Setoran pajak dan royalti Freeport kepada negara, tidak sebanding dengan keuntungan ribuan triliun yang didapat Freeport dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan aktivitas penambangan ini. Selain itu, kesenjangan ekonomi di Freeport tampak nyata. Masyarakat Papua bagaikan ayam yang kelaparan dan mati di lumbung pagi. Kekayaan yang melimpah "dirampok" dan diangkut ke AS, tapi warga di Papua mayoritas miskin. Inilah kesenjangan sosial yang nyata diciptakan oleh kapitalisasi dan liberalisasi SDA oleh asing.

Untuk memutus kontrak perpanjangan Freeport dibutuhkan kekuatan politik Islam dan negara harus siap menghadapi segala konsekuensi, bahkan penyiapan militer untuk menjaga wilayah negeri ini yang sudah dijajah asing melalui perjanjian kerjasama untuk "merampok" kekayaan alam yang ada di negeri Indonesia. Jika pemerintah kuat memegang teguh prinsip politik Islam, tidak ada yang tidak mudah. Semua akan dimudahkan Allah SWT dalam hal ketundukan pada syariat-Nya. Ketika syariat Islam melarang keras penguasaan kafir penjajah terhadap SDA yang dimiliki publik.[]


Oleh. Ika Mawarningtyas
#Lamrad #LiveOpperessedOrRiseAgainst

Opini

×
Berita Terbaru Update