“Tidak boleh
tidak, kita harus belajar, apa fitrah yang telah Allah tanamkan pada anak-anak
yang menyebabkan mereka tumbuh menjadi pejuang. Mereka dapat tumbuh menjadi
pejuang Islam yang tangguh, melawan penindasan. Sepatutnya sampai (tahap) yang
macam tu bila dikeluarkan potensi yang ada dalam diri anak,” tegasnya dalam
serial Cakna Umat bertajuk Bullying dan Solusi dalam Islam, Ahad
(17/08/2025).
Menurut Aishah, banyak orang memahami konsep fitrah
anak yang diibaratkan 'kain putih' yang dapat diwarnai sesuai cetakan orang
tuanya, tetapi pandangan ini sebenarnya perlu dipahami lebih dalam. Ia merujuk
pada penjelasan Ustad Harry Santosa yang membawa pendekatan berbeda terhadap
makna fitrah.
Jelasnya, “Kita selalu memahami bahwa kain putih
fitrah itu ibarat selembar kertas kosong yang dibentuk oleh orang tua. Namun,
Ustaz Harry Santosa membawa pemahaman bahwa anak dilahirkan seperti kain putih
fitrah, bukan seperti kertas kosong, melainkan diibaratkan seperti handphone.”
Analogi ‘handphone’ menurutnya menggambarkan
bahwa setiap anak sudah memiliki kemampuan dan kecenderungannya masing-masing
sejak lahir.
“Kita tahu bahwa handphone memiliki banyak
aplikasi yang bisa kita unduh. Jadi anak-anak diibaratkan seperti itu. Setiap
anak sudah memiliki fitrahnya masing-masing. Tugas orang tualah untuk menggali
potensi yang ada pada anak-anaknya,” jelasnya.
Aisyah menekankan bahwa ketika potensi ini gagal
dikembangkan, anak-anak akan menyimpang dari jalan Islam.
“Ketika potensi yang ada pada anak-anak tidak bisa
sepenuhnya digali, mereka menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi,” jelasnya.
Tambahnya, “Anak-anak itu sendiri lahir ketika mereka
masih kecil, ketika mereka masih bayi, mereka sebenarnya sudah memiliki Islam
di dalam diri mereka. Tugas orang tualah untuk mengeluarkan potensi Islam yang
ada dalam diri mereka.”
Aisyah berpendapat bahwa peran orang tua bukan hanya
untuk mengasuh, tetapi untuk membentuk sikap dan emosi anak agar stabil dan
berkualitas.
“Tugas orang tualah untuk melahirkan generasi yang
berkualitas, generasi yang berkepribadian Islam yang tangguh, artinya yang
boleh dikatakan hebat," sarannya.
Selain itu, ia menekankan bahwa keluarga merupakan
institusi pembentuk nilai-nilai yang saling mendidik.
"Ketika suami istri menikah dan memiliki anak,
bukan hanya orang tua yang perlu mendidik anak, tetapi sebenarnya anak juga
bisa mendidik orang tua," ujarnya, meluruskan persepsi yang selama ini
beredar di keluarga.
Selanjutnya, ia kembali menekankan pentingnya peran
orang tua dalam membekali anak dengan nilai-nilai Islam sebelum mereka terjun
ke kancah kehidupan bermasyarakat.
"Peran orang tua juga untuk membentuk sikap dan
perilaku anak dengan baik agar mereka dapat terjun ke masyarakat. Artinya,
mereka tidak hidup sendiri, melainkan justru memahami dan menyadari bahwa
tanggung jawab mereka di dunia ini adalah untuk memberi manfaat bagi
sesama," pungkasnya.[] Aliya Ab Aziz
