TintaSiyasi.id -- Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto mempertanyakan terkait program makan bergizi gratis (MBG) apakah memang sudah tepat dalam uoaya mengatasi stunting ataukah justru bermasalah.
“Apakah MBG ini sudah tepat? Tepat itu dalam arti begini, dia memang bisa mengatasi persoalan stunting. Nah ini yang saya kira menjadi problem,” ujar Ismail dalam kanal YouTube UIY Official: MBG, Sarat Masalah? Ahad (5/10/2025).
Ia menjelaskan, persoalan pertama terletak pada generalisasi penerima manfaat program. MBG diberlakukan untuk seluruh anak tanpa pengecualian, padahal tidak semua mengalami persoalan stunting.
“Betulkah seluruh anak itu memerlukan asupan makanan yang dipasok dari program MBG? Ini kan tanpa dikecualikan, untuk seluruhnya. Padahal faktanya tidak selalu begitu,” tuturnya.
Akibat generalisasi tersebut, menurutnya, anggaran yang diperlukan menjadi sangat besar. Akhirnya menimbulkan pembengkakan anggaran, tentu saja. Jadi anggaran sangat besar sudah disebut sampai ratusan triliun. Di sisi lain, masih banyak persoalan penting di sektor lain yang terabaikan.
“Sementara di saat yang sama itu ada persoalan pendidikan, ada sarana pendidikan, ada sekolah yang atapnya ambruk, ada yang belajar tanpa kursi, ada soal guru, ada soal gaji guru. Ada guru yang karena upah sangat rendah, dia juga mengalami persoalan ekonomi,” paparnya.
Ismail menyarankan, agar MBG diberikan hanya kepada mereka yang benar-benar membutuhkan. “MBG ini diberikan kepada mereka yang memerlukan saja,” tegasnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa ketidaksesuaian wilayah sasaran program dengan data stunting nasional. “Stunting ini terjadi di wilayah-wilayah seperti Papua, Maluku, Sulawesi Barat, dan Nusa Tenggara Timur yang hampir 40 persen. Sementara di Jawa relatif kecil, DKI cuma 14 persen, Jawa Barat dan Jawa Tengah 20 persen, Jogja malah 16 persen. Tapi MBG di sana (Papua) hanya beberapa saja, jadi tidak cocok,” jelasnya.
Akibatnya, lanjut Ismail, program tersebut membutuhkan volume kerja yang sangat besar karena dilakukan setiap hari dan tidak boleh berhenti. “Ini sebuah pekerjaan raksasa. Secara statistik memang yang keracunan itu sangat kecil, tetapi kita ini bicara bukan hanya angka, tetapi soal manusia, soal anak,” ujarnya.
Ia menyebut, adanya ironi dalam pelaksanaan MBG karena niat mengatasi stunting justru berujung pada kasus keracunan di sejumlah daerah. “Bagaimana kita akan menolong masa depan anak, menghilangkan stunting, kalau faktanya dia malah keracunan? Kan jadi ironi,” kata Ismail.
Selain soal efektivitas, ia menyoroti dampak beban fiskal akibat anggaran MBG yang besar. “Begitu besarnya anggaran akibatnya kemudian dia menggerus anggaran untuk sektor lain yang tidak kalah pentingnya seperti pendidikan, sarana sekolah, guru, dan buku,” terangnya.
Ia mengingatkan bahwa utang negara telah menembus lebih dari Rp8.000 triliun, sebagian jatuh tempo tahun ini.
“Cicilan dan bunganya disebut-sebut lebih dari Rp800 triliun. Ini pasti akan menimbulkan beban yang sangat besar,” ujarnya.
Menurutnya, kebijakan efisiensi yang dilakukan pemerintah seperti pengurangan transfer daerah dan kenaikan pajak merupakan dampak dari alokasi prioritas untuk MBG. “Kenapa untuk yang lainnya harus ada efisiensi, untuk MBG tidak perlu?” katanya.
Lebih lanjut, Ismail menyebut efisiensi bisa dilakukan pada sisi sasaran. “Efisiensi itu ada dua. Pertama efisiensi harga, yang mungkin sudah sulit dilakukan karena minim, hanya Rp10.000 per porsi. Kedua efisiensi pada sasaran lebih spesifik kepada mereka yang memang betul-betul mengalami problem stunting, bukan secara general,” jelasnya.
Ia juga menyinggung, adanya penolakan di sejumlah sekolah karena menu MBG dinilai tidak sesuai dengan kebiasaan anak-anak dari keluarga berkecukupan.
“Ini menunjukkan bahwa soal yang bagus untuk mengatasi masalah, tetapi digeneralisasi, justru menimbulkan implikasi yang tidak ringan,” pungkasnya.[] Nabila Zidane